Selasa, 27 Maret 2012

Washiyat Luqman Untuk Sibuah Hati

Mendidik Islami Ala Luqman Al-Hakim
Dan (Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi nasehat kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar ….. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”. (Luqman: 13-19)

Surat Luqman secara umum, terutama ayat 13-19 difahami sebagai surat yang harus dibaca saat prosesi aqiqah atau kesyukuran atas kelahiran seorang anak, dengan harapan bahwa sang ayah nantinya dapat meneladani tokoh Luqman yang diabadikan wasiatnya dan sang anak juga dapat mengikuti petuah dan nasehat seperti halnya anak Luqman. Tentu pemahaman ini dapat diterima, mengingat secara tekstual ayat-ayat ini memang berbicara secara khusus tentang pesan Luqman dalam konteks mendidik anak sesuai dengan pesan Al-Qur’an. Apalagi pesan Luqman dalam surat ini sebenarnya adalah pesan Allah yang dibahasakan melalui lisan Luqman Al-Hakim sehingga sifatnya mutlak dan mengikat; pesan Luqman dalam bentuk perintah berarti perintah Allah, demikian juga nasehatnya dalam bentuk larangan pada masa yang sama adalah juga larangan Allah yang harus dihindari.

Luqman yang dimaksud dalam ayat-ayat ini menurut Ibnu Katsir adalah Luqman bin Anqa’ bin Sadun. Ia adalah anak dari seorang bapak yang Tsaaran. Pengabadian kisah Luqman memang berbeda dengan pengabdian tokoh lain yang lebih komprehensif. Pengabadian Luqman hanya berkisar seputar nasehat dan petuahnya yang sangat layak dijadikan acuan dalam mendidik anak secara Islami.

Tentu masih banyak lagi cara Islami dalam mendidik anak berdasarkan ayat-ayat atau hadits Rasulullah saw yang lain. Namun paling tidak, pesan Luqman ini bukan sekedar pesan biasa umumnya seorang bapak kepada anaknya, namun merupakan pesan yang penuh dengan sentuhan kasih sayang dan sarat dengan muatan ideologis serta tersusun berdasarkan skala prioritas dari pesan agar mengesakan Allah dan tidak menmpersekutukannya sampai pada pesan untuk bersikap tawadu’ dan santun yang tercermin dalam cara berjalan dan berbicara. Kedua jenis pesan dan nasehat tersebut ternyata tidak keluar dari dua prinsip utama dalam ajaran Islam yaitu ajaran tentang akidah dan akhlak.

Menurut Sayid Quthb, rangkaian ayat-ayat berbicara tentang Luqman dan nasihatnya yang diawali dengan anugerah hikmah kepada Luqman di ayat 12 merupakan pembahasan kedua dari pembahasan surat Luqman yang masih sangat terkait dengan pembahasan episode pertama, yaitu persoalan akidah. Pesan Luqman sendiri pada intinya adalah pesan akidah yang memiliki beberapa konsekuensi; di antaranya berbakti dan berbuat ma’ruf kepada kedua orang tua sebagai bukti rasa syukur atas kasih sayang dan pengorbanan mereka merupakan tuntutan atas akidah yang benar kepada Allah swt. Senantiasa merasakan kehadiran dan pengawasan Allah dalam setiap langkah dan perbuatan merupakan aktualisasi dari keyakinan akan sifat Allah Yang Mengetahui, Maha Mendengar dan Maha Mengawasi. Serta menjalankan aktifitas amar ma’ruf dan nahi munkar yang disertai dengan sikap sabar dalam menghadapi segala rintangan dan tantangan merupakan bukti akan keluatan iman yang bersemayam di dalam hati sanubari, hingga pada pesan untuk senantiasa bersikap tawadu’ dan tidak sombong, baik dalam bersikap maupun dalam berbicara. Semuanya tidak lepas dari ikatan dan tuntutan akidah yang benar.

Dominasi pembahasan seputar akidah dalam surat ini memang wajar karena surat Luqman termasuk surat Makkiyyah yang notabene memberi fokus pada penanaman dan penguatan akidah secara prioritas..

Terlepas dari pro kontra siapa Luqman sesungguhnya; apakah ia seorang nabi ataukah ia hanya seorang lelaki shalih yang diberi ilmu dan hikmah, yang jelas jumhur ulama lebih cenderung memilih pendapat yang mengatakan bahwa ia hanya seorang hamba yang shalih dan ahli hikmah, bukan seorang nabi seperti yang diperkatakan oleh sebagian ulama. Gelar Al-Hakim di akhir nama Luqman tentu gelar yang tepat untuknya sesuai dengan ucapannya, perbuatan dan sikapnya yang memang menunjukkan sikap yang bijaksana. Allah sendiri telah menganugerahinya hikmah seperti yang ditegaskan dalam ayat sebelumnya:

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji“. (Luqman: 12)

Yang menarik disini bahwa ternyata sosok Luqman bukanlah seorang yang terpandang atau memiliki pengaruh. Ia hanya seorang hamba Habasyah yang berkulit hitam dan tidak punya kedudukan sosial yang tinggi di masyarakat. Namun hikmah yang diterimanya menjadikan ucapannya dalam bentuk pesan dan nasehat layak untuk diikuti oleh seluruh orang tua tanpa terkecuali. Hal ini terungkap dalam riwayat Ibnu Jarir bahwa seseorang yang berkulit hitam pernah mengadu kepada Sa’id bin Musayyib. Maka Sa’id menenangkannya dengan mengatakan: “Janganlah engkau bersedih (berkecil hati) karena warna kulitmu hitam. Sesungguhnya terdapat tiga orang pilihan yang kesemuanya berkulit hitam, yaitu Bilal, Mahja’ maula Umar bin Khattab dan Luqman Al-Hakim”.

Rangkaian pesan dan nasehat Luqman yang tersebut dalam 7 ayat di atas secara redaksional dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu bentuk larangan yang berjumlah 3 ayat dan redaksi perintah yang berjumlah 3 ayat. Sedangkan yang mengapit antara keduanya adalah pesan untuk senantiasa muraqabtuLlah karena Allah Maha Mengetahui apa yang dilakukan oleh setiap hambaNya tanpa terkecuali meskipun hanya sebesar biji zarrah dan dilakukan di tempat yang sangat mustahil diketahui oleh siapapun melainkan oleh Allah swt. Tiga larangan yang dimaksud adalah larangan mempersekutukan Allah, larangan menta’ati perintah kedua orang tua dalam konteks kemaksiatan, serta larangan bersikap sombong. Sedangkan nasehat dalam bentuk perintah diawali dengan perintah berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tua dalam keadaan apapun mereka yang diringi dengan mensyukuri Allah atas segala anugerah dan limpahan rahmatNya dalam beragam bentuk, perintah untuk mendirikan shalat, memerintah yang ma’ruf dan mencegah yang munkar serta perintah bersikap sederhana dalam berjalan dan bersuara (berbicara).

Dalam menjelaskan secara aplikatif tafsir ayat 15 dari surat Luqman ini, Ibnul Atsir dalam kitab Usudul Ghabah ( 2: 216) menukil riwayat Thabrani yang mengetengahkan kisah seorang anak yang bernama Sa’ad bin Malik yang tetap berbakti menghadapi ibundanya yang menentang keras keislamannya dengan melakukan aksi mogok makan beberapa hari lamanya sehingga terlihat kepenatan menimpa ibundanya. Namun dengan tegas dan tetap menunjukkan baktinya Sa’ad berkata dengan bijak kepada ibundanya: “Wahai ibu, sekiranya engkau memiliki seratus nyawa. Lalu satu persatu nyawa itu keluar dari jasadmu agar aku meninggalkan agama (Islam) ini maka aku tidak akan pernah menuruti keinginanmu. Jika engkau sudi silahkan makan makanan yang telah aku sediakan. Namun jika engkau tidak berkenan, maka tidak masalah.”

Akhirnya ibu Sa’ad pun memakan makanan yang dihidangkannya, karena merasa bahwa upaya yang cukup ekstrim itu tidak akan meluluhkan keteguhan hati anaknya dalam agama Islam. Tentu sikap yang bijak yang ditunjukkan oleh seorang anak terhadap sikap memaksa kedua orang tuanya yang digambarkan dalam ayat ke 15 tidak akan hadir secara instan tanpa didahului oleh pemahaman yang benar akan akidah Islam, terutama akidah kepada Allah.

Kisah di atas jelas merupakan sebuah kisah yang sangat menarik dan berat untuk difahami dalam konteks kekinian. Bagaimana secara sinergis seorang anak tetap mampu menghadirkan sikap bakti kepada orang tua dengan tetap mempertahankan ideologi dan keyakinan yang dianutnya yang berbeda dengan keyakinan kedua orang tuanya. Pada ghalibnya seorang anak akan merasakan kesukaran dan keberatan untuk menimbang antara ketaatan kepada perintah orang tua dan bersikap ihsan serta berbakti kepada keduanya. Menurut Ibnu Katsir berbakti kepada kedua orang tua adalah dalam konteks bersilaturahim, mendoakan dan memberikan bantuan yang semestinya yang harus dibedakan dengan ketaatan yang berujung kepada bermaksiat kepada Allah. Tentang hal ini, Sufyan bin Uyainah pernah berkata :

“Barangsiapa yang menegakkan shalat lima waktu berarti ia telah mensyukuri Allah dan barangsiapa yang senantiasa berdoa untuk kedua orang tuanya setiap selesai shalat, maka berarti ia telah mensyukuri kedua orang tuanya.”

Sungguh sebuah sikap yang matang dan bijak yang tentu berawal dari model pendidikan yang bernuansa ‘akidi dan akhlaqi’ dengan tetap memperhatikan kebutuhan dan tuntutan kekinian yang seimbang dengan landasan prinsip dalam berIslam secara baik dan benar. Anak-anak sekarang sangat mendambakan nasehat orang tua yang memperkuat, bukan memanjakan karena memang mereka hidup untuk zaman yang berbeda dengan zaman kedua orang tuanya seperti yang diisyaratkan oleh Rasulullah dalam haditsnya:

“Pilihlah tempat nuthfahmu untuk dibuahkan. Karena sesungguhnya anak-anakmu dilahirkan untuk zaman mereka yang berbeda dengan zamanmu.”

Demikian nasehat dan pesan Luqman dalam mendidik anaknya yang didahului oleh pendidikan akidah tentang keEsaan Allah dan pengetahuanNya yang absolut yang akan melahirkan sikap mawas diri, hati-hati dan muraqabatuLlah dalam bersikap dan bertindak. Kekuatan dan kemantapan akidah tersebut akan terespon dan termanifestasikan dalam berakhlak dan berperilaku kepada orang lain, terutama sekali terhadap kedua orang tua. Sungguh satu upaya yang serius dari seorang Luqman yang bijak untuk mendekatkan dan memperkenalkan seorang anak sejak dini dengan RabbNya yang berdampak pada kebaikan dan kesejahteraan lahir dan bathin, serta menjadikannya memiliki tingkat imunitas dan pertahanan diri yang kokoh menghadapi beragam godaan kehidupan yang dirasa kian melalaikan dan menjerumuskan. Allahu a’lam


Sumber :
http://www.dakwatuna.com/2009/mendidik-islami-ala-luqman-al-hakim/

Sombong Bukan Milikmu


Sombong terhadap orang lain adalah termasuk perkara yang dibenci Syari’at. Banyak ayat dan hadits yang memerintahkan manusia agar menjauhi sikap yang tercela ini. Jika seorang muslim saja wajib menjauhi sikap sombong kepada seseorang, apalagi jika dia seorang Salafi? Dimana dia dituntut untuk mengikuti manhajnya para Salafush Shalih dalam beragama, termasuk aqidah maupun adab dan akhlaqnya. Begitu halnya sikap kepada seekor anjing, hendaknya seorang Salafi menghindari sikap sombong walaupun kepada seekor anjing.
Salah satu sifat rendah diri seorang imam yang pantas dicontoh adalah apa yang dilakukan oleh tokoh pembesar madzhab syafi’i Abu Ishaq asy-Syirazi -rahimahullah-. Pada suatu hari beliau berjalan di suatu jalan umum bersama para sahabatnya. Ketika sedang berjalan, tiba-tiba beliau berpapasan dengan seekor anjing. Lalu pemiliknya mengusir anjing itu (sebagai bentuk penghormatan untuk beliau). Melihat perlakuan orang itu, beliau melarangnya dan mengatakan: ”Biarkanlah anjing itu, tidakkah engkau mengerti bahwa jalan ini adalah milik bersama, untukku dan untuk anjing itu ?!” (Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, jilid 1, hlm. 6).

Ada sebuah ungkapan yang berbunyi :
مَنْ ظَنَّ أَنَّهُ خَيْرٌ مِنَ الْكَلْبِ فَالْكَلْبُ خَيْرٌ مِنْهُ
Artinya : "Barangsiapa yang menyangka bahwa dia lebih baik daripada anjing, maka anjing lebih baik daripada orang itu".

Ungkapan tersebut biasa dipakai oleh orang-orang Shufi. Makna ungkapan tersebut adalah:
Al-’Allâmah Zakariya bin Muhammad al-Anshari asy-Syafi’i t (wafat 926 H) pernah ditanya tentang perkataan sebagian orang sufi:
Barangsiapa yang menyangka bahwa dia lebih baik daripada anjing, maka anjing lebih baik daripada orang itu.
Kemudian beliau menjawab: ”Maknanya yaitu, tidak sepantasnya bagi siapapun menyangka bahwa ia lebih baik daripada anjing, dan tidak pula sepadan dengannya, karena akhir dari urusan kehidupan orang itu tidak diketahui, apakah ia akan tinggal selamanya di neraka ataukah tidak? Sekiranya tidak kekal di neraka, apakah ia akan diadzab ataukah tidak? Kapan saja orang itu menyangka demikian (yaitu merasa lebih tinggi, lebih baik dan utama dari anjing secara mutlak, pen), maka anjinglah yang lebih baik darinya. Hal itu karena anjing itu tidak mukallaf (tidak terbebani untuk menjalankan syari’at) dan tidak mendapatkan adzab. Allâhu a’lam”. (al-I’lâm wa al-Ihtimâm bi Jam’ Fatâwâ Syaikh al-Islam Abu Yahya Zakariya al-Anshari, dikumpulkan oleh Ahmad Ubaid).
Masih seputar tentang anjing. Ada seorang kafir yang menghina seorang muslim yang berjenggot. Orang kafir itu berkata ”Mana yang lebih utama, jenggot itu ataukah ekor anjing?”
Orang muslim yang bijak dan sabar tersebut menjawab: ”Apabila jenggot ini akan berada di surga, maka ia lebih baik daripada ekor seekor anjing. Akan tetapi apabila jenggot ini akan berada di neraka, maka ekor seekor anjing lebih utama dari jenggot ini.”
Orang kafir itu pun segera mengatakan: ”Asyhadu alla ilâha illallah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullâh (Saya bersaksi bahwa tiada ilâh yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah).”
Segala puji bagi Allah, akhirnya ia memeluk agama Islam dan termasuk orang-orang yang komitmen dalam menjalankannya. Semoga Allah memberi kita semua ketegaran dan istiqamah dalam memegang satu-satunya agama yang haq dan mulia ini. (Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Ed 48, hal. 55-58).
- Sahabat Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي فَاشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطْشُ فَنَزَلَ بِئْرًا فَشَرِبَ مِنْهَا ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا هُوَ بِكَلْبٍ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ الْعَطْشِ فَقَالَ: لَقَدْ بَلَغَ هَذَا مِثْلُ الَّذِي بَلَغَ بِـي. فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ ثُمَّ رَقى فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ لَنَـا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا؟ قَالَ: فِي كُلِّ كَبِدٍ رَطبَةٍ أَجْرٌ
Ketika tengah berjalan, seorang laki-laki mengalami kehausan yang sangat. Dia turun ke suatu sumur dan meminum darinya. Tatkala ia keluar tiba-tiba ia melihat seeokor anjing yang sedang kehausan sehingga menjulurkan lidahnya menjilat-jilat tanah yang basah. Orang itu berkata: “Sungguh anjing ini telah tertimpa (dahaga) seperti yang telah menimpaku.” Ia (turun lagi ke sumur) untuk memenuhi sepatu kulitnya (dengan air) kemudian memegang sepatu itu dengan mulutnya lalu naik dan memberi minum anjing tersebut. Maka Allah berterima kasih terhadap perbuatannya dan memberikan ampunan kepadanya.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasullulah, apakah kita mendapat pahala (bila berbuat baik) pada binatang?” Beliau bersabda: “Pada setiap yang memiliki hati yang basah maka ada pahala.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

- Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Dahulu ada seekor anjing yang berputar-putar mengelilingi sumur, anjing tersebut hampir-hampir mati karena kehausan, kemudian hal tersebut dilihat oleh salah seorang pelacur dari bani israil, ia pun mengisi sepatunya dengan air dari sumur dan memberikan minum kepada anjing tersebut, maka Allah pun mengampuni dosanya.” (HR Bukhari Muslim).
-     عُذِّبَتِ امْرَأَةٌ فِى هِرَّةٍ سَجَنَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ ، فَدَخَلَتْ فِيهَا النَّارَ ، لاَ هِىَ أَطْعَمَتْهَا وَلاَ سَقَتْهَا إِذْ حَبَسَتْهَا ، وَلاَ هِىَ تَرَكَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الأَرْضِ متفق عليه
“Ada seorang wanita yang disiksa karena seekor kucing, wanita itu mengurung seekor kucing hingga mati, akibatnya wanita itupun masuk ke neraka. Tatkala wanita itu mengurung kucing, ia tidak memberinya makan, tidak juga memberinya minum, tidak juga ia membiarkannya pergi mencari makanan sendiri dengan menangkap serangga.” (Muttafaqun ‘alaih).
- “Barangsiapa yang tidak belas kasih niscaya tidak dibelaskasihi” [HR Al-Bukhari ; 5997, Muslim : 2318].
- ارحموا من فى الاض ير حمكم من فى السماء
“Kasihanilah siapa yang ada di bumi ini, niscaya kalian dikasihani oleh yang ada di langit” [HR At-Tirmdzi : 1924].

- Dari sahabat Abdullah bin Ja’far, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk pada suatu kebun dari kebun-kebun milik orang Anshar untuk suatu keperluan. Tiba-tiba di sana ada seekor unta. Ketika unta itu melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia datang dan duduk di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berlinang air matanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Siapa pemilik unta ini?” Maka datang (pemiliknya) seorang pemuda dari Anshar. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidakkah kamu takut kepada Allah dalam (memperlakukan) binatang ini yang Allah menjadikanmu memilikinya?! Sesungguhnya unta ini mengeluh kepadaku bahwa kamu meletihkannya dengan banyak bekerja.” (HR. Abu Dawud dll, Asy-Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Ash-Shahihah no. 20).
- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah bersabda berkenaan dengan kuda : “Kuda itu ada tiga macam. Kuda bagi seseorang menjadi pahala, kuda bagi seseorang menjadi pelindung dan kuda bagi seseorang menjadi dosa. Adapun kuda yang mendatangkan pahala adalah kuda seseorang yang dipangkal untuk fisabilillah, ia banyak berdiam di padang rumput atau di taman. Maka apa saja yang dimakan oleh kuda itu selama dipangkal di padang rumput atau di taman itu, maka pemiliknya mendapat pahala-pahala kebajikan. Dan sekiranya ia meninggalkannya lalu mendaki satu atau dua tempat tinggi, maka jejak dan kotorannya menjadi pahala-pahala kebajikan baginya. Maka dari itu kuda seperti itu menjadi pahala bagi pemiliknya. Kuda yang diikat oleh seseorang karena ingin menjaga kehormatan diri (tidak minta-minta) dan ia tidak lupa akan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala pada leher ataupun punggung kuda itu, maka kuda itu menjadi pelindung baginya. Dan kuda yang diikat (dipangkal) oleh seseorang karena kebanggaan, riya dan memusuhi orang-orang Islam, maka kuda itu mendatangkan dosa baginya” [HR Al-Bukhari : 2371]
- Adalah sahabat Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu ketika beliau mengetahui ada seorang mengangkut barang menggunakan unta yang melebihi kemampuan binatang tersebut, maka Umar sebagai penguasa memukul orang tersebut sebagai bentuk hukuman. Beliau menegurnya dengan mengatakan, “Mengapa kamu mengangkut barang di atas untamu sesuatu yang dia tidak mampu?” (Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d).
- Adalah sahabat Abud Darda radhiyallahu anhu dahulu punya unta yang dipanggil Dimun. Apabila orang-orang hendak meminjamnya, maka ia berpesan untuk tidak membebaninya kecuali sekian dan sekian (yakni batas kemampuan unta) karena unta itu tidak mampu membawa yang lebih dari itu. Maka ketika kematian telah datang menjemput Abud Darda, beliau berkata: “Wahai Dimun, janganlah kamu mengadukanku besok (di hari kiamat) di sisi Rabbku, karena aku tidaklah membebanimu kecuali apa yang kamu mampu.” (Lihat Ash-Shahihah, 1/67-69).
- Al-Imam Ibnu Muflih dalam kitabnya ‘Al-Adab Asy-Syar’iyah (jilid 3) menyebutkan pembahasan tentang makruhnya berlama-lama memberdirikan binatang tunggangan dan binatang pengangkut barang melampaui kebutuhannya. Hal ini berdasarkan hadits Nabi (yang artinya): “Naikilah binatang itu dalam keadaan baik dan biarkanlah ia dalam keadaan bagus, serta janganlah kamu jadikan binatang itu sebagai kursi.” (HR. Ahmad dll, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Al-Jami’).
Maksudnya, janganlah salah seorang dari kalian duduk di atas punggung binatang tunggangan untuk berbincang-bincang bersama temannya, dalam keadaan kendaraan itu berdiri seperti kalian berbincang-bincang di atas kursi. Namun larangan dari berlama-lama di atas punggung binatang ini bila tidak ada keperluan. Sedangkan bila diperlukan seperti di saat perang atau wukuf di padang Arafah ketika haji maka tidak mengapa. (Faidhul Qadir 1/611).
- Mar’i Al-Hanbali berkata: “Wajib atas pemilik binatang untuk memberi makanan dan minumannya. Jika dia tidak mau memberinya maka dipaksa (oleh penguasa) untuk memberinya. Bila dia tetap menolak atau sudah tidak mampu lagi memberikan hak binatangnya maka ia dipaksa untuk menjualnya, menyewakannya, atau menyembelihnya bila binatang tersebut termasuk yang halal dagingnya. Diharamkan untuk mengutuk binatang, membebaninya dengan sesuatu yang memberatkan, memerah susunya sampai pada tingkatan memudharati anaknya, memukul dan memberi cap pada wajah, serta diharamkan menyembelihnya bila tidak untuk dimakan.”
- Sebagian ahli fiqih menyebutkan bahwa apabila ada kucing buta berlindung di rumah seseorang, maka wajib atas pemilik rumah itu untuk menafkahi kucing itu karena ia tidak mampu pergi.
- Ibnu As-Subki berkata ketika menyebutkan tukang bangunan yang biasa menembok dengan tanah dan semisalnya: “Termasuk kewajiban tukang bangunan untuk tidak menembok suatu tempat kecuali setelah memeriksanya apakah padanya ada binatang atau tidak. Karena kamu sering melihat kebanyakan pekerja bangunan itu terburu-buru menembok, padahal terkadang mengenai sesuatu yang tidak boleh dibunuh kecuali untuk dimakan, seperti burung kecil dan semisalnya. Dia membunuh binatang tadi dan memasukannya ke dalam lumpur tembok. Dengan ini ia telah berkhianat kepada Allah l dari sisi membunuh binatang ini.”
- Asy-Syaikh Abu Ali bin Ar-Rabbal berkata: “Apa yang disebutkan tentang (bolehnya mengurung burung dan semisalnya) hanyalah bila padanya tidak ada bentuk menyiksa, membikin lapar dan haus meski tanpa sengaja. Atau mengurungnya dengan burung lain yang akan mematuk kepala burung yang sekandang, seperti yang dilakukan oleh ayam-ayam jantan (bila) berada di kurungan, sebagiannya mematuk sebagian yang lain sampai terkadang yang dipatuk mati. Ini semua, menurut kesepakatan ulama, adalah haram.” (Lihat Arba’un Haditsan fit Tarbiyati wal Manhaj hal. 32-33 karya Dr. Abdul Aziz As-Sadhan).
Referensi :
- Lima Faidah Penting Seputar Anjing, oleh Abu Ashim Muhtar Arifin Lc.
- Kitab Minhajul Muslim, Edisi Indonesia Konsep Hidup Ideal Dalam Islam, Penulis Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, Penerjemah Musthofa Aini, Amir Hamzah, Penerbit Darul Haq
- Menyayangi Binatang, oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Abdulmu’thi, Lc.
- dan lainnya.

Sabtu, 10 Maret 2012

Pelembut Hati

PELEMBUT HATI 
Ujian Dengan Kenikmatan
Dari Ibnu Abbas Radiallahu Anhuma berkata Rasulullah saw bersabda “ Ada dua nikmat yang sering dilupakan oleh manusia adalah nikmat sehat dan nikmat waktu lapang (HR.Bukhari).
Hakekat Kehidupan.
Allah telah menciptakan manusia didunia dalam rangka untuk diuji, hal tersebut Allah ungkapkan dalam surah Tabarak  ayat 2 “ Dialah yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian, siapakah yang paling baik amalnya,Dia maha mulia dan maha pengampun”. Dan manusia semua dalam ruangan ujian yang mencakup semua alam semesta ini.
Dan di sana ada pengawas yang selalu mencatat seluruh prilaku manusia baik yang kecil maupun yang besar. “ Tidak terucap sebuah perkataan kecuali akan di catat oleh Raqib dan Atid (QS.Qof:18). Dan semua akan menjadi saksi,tubuh kita,bumi yang kita pijak,sesama manusia dan Allah pun akan menjadi saksi atas semua perbuatan yang kita lakukan.
Waktu Ujian.
Sedangkan waktunya, dilaksanakan sejak manusia mencapai umur akil baligh hingga kematian menjemputnya. Kalau seorang murid tahu berapa lama dia akan diuji karena ada batasan yang jelas. Sebaliknya manusia sama sekali tidak tahu kapan ujian tersebut berakhir. Seandainya seorang murid tdk diberitahu berapa lama pelaksanaan ujian tersebut dan kertas jawabannya akan diambil secara tiba-tiba maka pasti ia akan menggunakan seluruh kemampuannya untuk menjawab seluruh pertanyaan tanpa membuang-buang waktu. Begitu pula seorang muslim sudah seharusnya menggunakan setiap jenak waktunya untuk meraih kesuksesan dalam ujian di Dunia ini.
Sarana Ujian.
Seorang murid mengikuti ujian dengan menggunakan sarana pena dan kertas khusus ujian, sedangkan manusia di Dunia ini melaksanakan ujian dengan tubuhnya,waktunya,hartanya,pekerjaannya,ilmunya dan segala kemampuan dan kelebihan yang diberikan Allah kepada dia. Dan ujian tersebut akan mencakup pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1.      Perintah dan kewajiban yang harus dilaksanakan.
2.      Larangan  dan hal-hal yang haram yang harus di jauhkan.
3.      Kenikmatan yang harus di syukuri
4.      Musibah yang harus dia bersabar menghadapinya.
Hadits yang diatas mengingatkan kita akan ujian kenikmatan yang wajib disyukuri oleh manusia. Ketika berbicara tentang nikmat ada dua hal penting yang harus kita perhatikan:
1.      Bahwa nikmat yang Allah berikan kepada manusia sangat banyak, yang tidak mungkin manusia mampu menghitungnya. “ Apabila kalian mencoba menghitung nikmat Allah maka kalian tidak akan bias menghitungnya”(QS.16:18).
Seperti nikmat Iman,aqal,pendengaran,penglihatan,kesehatan,keturunan, harta, bahkan disetiap ruas mili tubuh kita ada nikmat Allah yang begitu banyak. SUBHANALLAH.
Diceritakan ada seorang fakir yang menadu kepada seorang ulama tentang kefakirannya,dia berkata bahwa Allah belum memberikan kepadanya nikmat sedikitpun. Maka Alim tersebut menjawab “ Maukah kamu menjual matamu dengan harga seratus juta? Orang itu menjawab: tidak ! maukah kamu menjual telingamu dengan seratus juta? Jwbannya: Tidak, maukah kamu menjual tanganmu dengan seratus juta? Tidak ! kembali org tersebut menjawab. Maukah kamu menjual kakimu dengan seratus juta ? tidak! Menjual akal mu denga harga yang sama? Tidak! , kemudian Alim tersebut berkata “ Kamu mengeluh tidak punya apa-apa??? Sedang kamu memiliki milyaran..?. maka orang tersebut jadi tahu bahwa nikmat yang bukan dalam harta lebih banyak. Dan nikmat Allah tidak bisa dihitung.
2.      Bahwa nikmat adalah ujian,walaupun dalam tampilannya nampak sebagai pemuliaan dan balasan,namun pada hakekatnya itu adalah ujian. “ Dan manusia apabila diuji oleh Rabnya dengan dimuliakan dan diberi nikmat maka ia akan berkata Tuhanku telah memuliakanku. Dan apabila diuji dengan kesusahan maka ia akan berkata Tuhanku telah menghinakanku, Sungguh tidak..” (QS.Al-Fajr 15-17). Dan QS.Zhukhruf :33-35.
Seandainya nikmat adalah bentuk pemuliaan Allah kepada manusia maka para Nabi dan Rasul tentunya akan menjadi manusia yang paling banyak mendapat nikmat,dan menjadi manusia paling kaya. Dan sebaliknya orang – orang kafir sama sekali tidak akan mempunyai apa-apa di Dunia ini. Dan hal itu bisa di analogikan seperti seorang guru yang membagikan buku kepada para muridnya, diantara para murid ada yang diberikan buku yang tebal,sedang dan tipis. Maka bergenbiralah murid yang diberikan buku yang besar sedangkan yang diberikan buku yang kecil bersedih. Setelah  pembagian selesai sang guru berkata “ Materi Ujian akan disesuaikan  dengan bobot buku yang diberikan kepada masing-masing murid”. Maka bergembirlah murid yang menerima buku yang kecil sebalik yang menerima buku yang besar sangat bersedih. Begitulah kenikmatan yang ada di dunia ini. Nikmat bukanlah pemuliaan tetapi dia adalah sebuah ujian maka itu nikmat tidak bisa dijadikan sebagai ukuran  untuk mengukur kedudukan manusia di sisi Allah SWT, namun ukuran yang tepat adalah iman dan amal shaleh. (QS.Al-Hujurat:13).

3.      Keberhasilan seseorang dalam menjalani ujian ini adalah dengan bersyukur  atas segala nikmat yang diberikan kepadanya. Dan syukur direalisasikan dalam beberapa macam:
a.       Syukur dengan hati. Yaitu dengan meyakini di dalam hati bahwa setiap nikmat yang ada adalah karunia dari Allah SWT.(QS.16:53). Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda :“ Ketahuilah apabila seluruh umat berkumpul untuk memberikan manfaat (kenikmatan) kepadamu maka mereka tidak akan memberikan manfaat kecuali apa yang Allah telah tetapkan untuk mu” (HR.Turmudzi).
b.      Sykur dengan Lisan, yaitu dengan memperbanyak ungkapan Alhamdulillah dan membicarakan banyaknya nikmat yang telah Allah berikan kepadanya “ Dan dengan nikmat tuhanmu maka perbanyaklah menyebutnya” (QS.Dhuha:..) dengan tetap mewaspadai sikap riya, dan denga tujuan memberikan contoh kepada orang lain dalam melakukan amal khair. Dan bagian dari syukur dengan lisan juga adalah  dengan memperbanyak dzikir,tilawah,melakukan amar ma’ruf nahyi mungkar dan mengajarkan ilimu.
c.       Syukur dengan Amal.Allah SWT berfirman “ Wahai keluarga Daud beramalah sebagai ungkapan rasa syukur,dan sangat sedikit  hamab-Ku yang mampu bersyukur”.(QS.Saba:15). Bersyukur dengan amal akan berbeda seiring dengan nikmat yang diberikan Allah kepada orang tersebut,apabila ia diberikan hidayah maka ia harus mengajak manusia untuk mendapatkan hidayah dengan segala kukatan yang dimiliki. Baransiapa diberikan akal yagn cerdas maka ia harus gunakan untuk belajar dan mengajar,dan memanfaatkannya untuk membantu menyelesaikan problematika kaum muslimin. Barangsiapa diberikan badan yang sehat dan kuat maka harus ia gunakan untuk menolong sesama dan berjuang dalam di jalan Allah. Dan barangsiapa diberikan harta maka ia harus gunakan dalam memperjuangkan agama Allah baik secara terang-terangan ataupu secara sembunyi. Inilah yang dinamakan dengan syukur dengan amal.
Ketiga jenis Syukur ini akan menyebabkan ditambahkannya nikmat dari Allah SWT. (QS.14:7). Dan sikap syukur juga akan menjadi sebab keselamatan seseorang di dunia ini, sebagaimana Allah SWT menyelamatkan Nabi Luth as dan orang-orang yang bersama dengan dia, hal itu karena mereka ternasuk orang yang banyak bersyukur kepada Allah SWT, (QS.Al-Qomar:34-35). Sedangkan di Akherat Allah katakana (QS.Ali Imran:135).

Pelajaran dari Kematian

Pernahkah kita membayangkan kalau diri kita sedang berada di atas ranjang kematian, apa yang kita perbuat kala itu? Sebuah pertanyaan yang harus dijawab oleh semua manusia yang masih hidup. Lalu bagaimanakah keadaan detik-detik terakhir dari nafas kita yang akan berlalu itu? Apakah kita termasuk orang yang senang untuk bertemu Allah, ataukah sebaliknya seperti budak yang melarikan diri dan takut bertemu tuannya karena kesalahan yang dilakukannya?
Belajar dari akhir kehidupan para salaf adalah sangat perlu bagi kita semua, mereka adalah orang-orang terdepan dari umat ini, para pemimpin dan ulama kaum muslimin. Sungguh mereka sangat takut kalau menghadap Allah dalam keadaan membawa dosa dan kemaksiatan.
Marilah kita simak beberapa pelajaran berharga dari mereka:
Aisyah Radhiallaahu anha menceritakan bahwa Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam tatkala menjelang wafat disediakan untuk beliau satu wadah air, beliau memasukkan tangannya ke dalam air lalu mengusapkan ke wajahnya seraya bersabda, "La ilaha illallah, sesungguhnya di dalam kematian ada sakaratul maut." Kemudian beliau menengadahkan kedua tangan-nya lalu mengatakan, "Fir Rafiqil A'la" lalu beliau wafat dan tangannya tergeletak lemas.
Ketika Umar al Faruq menjelang ajal, beliau berkata kepada putranya Abdullah, "Letakkan pipiku di atas tanah”, namun Abdullah enggan untuk melakukan itu. Beliau berkata hingga untuk ketiga kalinya, "Letakkan pipiku di atas tanah, semoga Allah melihatku dalam keadaan demikian, kemudian Dia merahmatiku. "Diriwayatkan, bahwa beliau terus menangis sehingga pasir-pasir menempel di kedua mata beliau seraya mengatakan, "Celakalah Umar, celaka juga ibunya, jika Allah tidak memaafkannya."
Ketika Abu Hurairah sakit parah beliau menangis, lalu ditanya, "Apa yang membuat anda menangis? Beliau menjawab, "Saya menangis bukan karena dunia ini, namun saya mena-ngisi perjalanan setelah ini (dunia), bekalku yang sedikit, lalu saya akan menapaki tempat yang menanjak lagi amat luas, sementara saya tidak tahu akan dimasukkan ke neraka atau ke surga."
Utsman Radhiallaahu anhu berkata di akhir hayatnya, "Tidak ada ilah selain Engkau, Maha Suci Engkau ya Allah, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang berbuat aniaya. Ya Allah aku mohon pertolongan dalam seluruh urusanku, dan aku memohon kesabaran dalam menghadapi ujian yang menimpaku."
Wahai manusia! Kini saatnya orang-orang yang tertidur untuk bangun dari tidurnya, sudah saatnya orang yang lalai sadar dari keterlenaannya, sebelum datang maut dengan membawa kegetiran dan kepahitan, sebelum tubuh berhenti bergerak dan sebelum nafas terputus. Mumpung belum memasuki perjalanan menuju alam kubur dan kehidupan akhirat yang kekal abadi.
Abu Darda' ketika menjelang wafat mengatakan, "Apakah seseorang tidak mau beramal untuk mempersiapkan panggung pergulatan ini? Mengapa orang tidak beramal untuk menghadapi waktu ini? Mengapa orang tidak beramal untuk menyongsong hariku ini? Kemudian beliau menangis, maka istri beliau bertanya,"Mengapa engkau menangis, bukankah engkau telah menemani Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam ? Beliau menjawab, "Bagaimana aku tidak menangis sementara aku tidak mengetahui bagaimana dosa-dosa telah menyerangku."
Dan berkata Abu Sulaiman ad-Darani, "Aku berkata kepada Ummu Harun seorang wanita yang rajin beribadah, "Apakah anda senang dengan kematian? Maka dia menjawab, "Tidak! Aku bertanya, "Mengapa? Maka dia mejawab, "Demi Allah, andaikan aku berbuat kesalahan kepada makhluk saja, maka aku takut untuk bertemu dengannya, maka bagaimana lagi jika aku bermaksiat kepada Khaliq Yang Maha Agung?
Atha' as Sulami ditanya tatkala sakit yang mengantarkan pada ajalnya, "Bagaimanakah keadaan anda? Beliau menjawab," Kematian berada di leherku, kuburan ada di hadapanku, kiamat adalah akhir perjalananku, jembatan Jahannam adalah jalanku, dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada diriku. Kemudian beliau menangis dan terus menangis sehingga pingsan. Ketika sadar kembali beliau mengucapkan, "Ya Allah kasihanilah aku, hilangakanlah kesedihan di dalam kuburku, mudahkan kesulitanku ketika menjelang kematian, rahmatilah kedudukanku di hadapan-Mu wahai Dzat Yang Paling Pengasih di antara para pengasih.”
Sementara itu ketika Sulaiman at Taimi telah dekat wafatnya, dikatakan kepada beliau, "Kabar gembira buat anda, karena anda adalah orang yang sangat bersungguh-sungguh di dalam ketaatan kepada Allah." Maka beliau menjawab, "Janganlah kalian mengatakan demikian, sesungguhnya aku tidak mengetahui apa yang tampak di hadapan Allah Azza wa Jalla, karena Dia telah berfirman, "Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.” (QS. 39:47)
Disebutkan, bahwa Abu Darda'z apabila ada seseorang yang meninggal dalam keadaan yang baik, maka beliau berkata, "Berbahagialah engkau, andaikan aku dapat menggantikan dirimu. " Maka Ummu Darda' bertanya kepadanya tentang hal itu, lalu beliau menjawab, “Betapa bodohnya engkau, bukankah engkau tahu, bahwa ada seseorang yang pagi-pagi dia beriman, namun di sore hari telah menjadi munafik, ia lepaskan keimanannya tanpa dia menyadari hal itu."
Muhammad al Munkadir menangis tatkala menjelang wafatnya, lalu ia ditanya, "Apa yang membuat anda menangis? Beliau menjawab, "Demi Allah aku menangis bukan karena dosa yang aku ketahui telah aku lakukan, namun aku takut jika telah melakukan sesuatu yang aku anggap sepele namun dihadapan Allah ternyata itu adalah sesuatu yang amat besar."
Sufyan ats Tsauri berkata, "Tidak ada tempat yang lebih dahsyat bagiku daripada (tempat) terjadinya sakaratul maut, aku sangat takut kalau dia (sakarat) terus menerus menekanku, aku telah meminta keringanan, namun dia tidak menghiraukan, sehingga aku terkena fitnahnya." Kemudian beliau menangis semalaman hingga menjelang pagi, ketika beliau ditanya, "Apakah tangis tersebut karena dosa? Maka beliau mengambil segenggam tanah dan berkata, "Dosa lebih ringan dari pada ini (tanah, maksudnya adalah maut- pen), aku menangis karena takut terhadap su'ul khatimah (akhir hidup yang buruk).
Shofwan bin Sulaim mengatakan, "Di dalam kematian ada rahah (istira-hat) bagi seorang mukmin dari huru hara dan hiruk pikuk dunia, walaupun harus merasakan putusnya nafas dan kepedihan. Kemudian beliau mengu-curkan air mata.
Wahai saudaraku! Marilah kita mengumpamakan diri kita masing masing sebagai seorang yang sedang berbaring menunggu ajal. Saudara dan tetangga sedang mengerumuni kita, lalu di antara mereka ada yang berkata, "Si Fulan telah berwasiat, sedangkan hartanya telah dihitung." Ada lagi yang berkata, "Si fulan sudah tidak dapat berbicara, sudah tidak mengenali para tetangganya dan mulutnya tertutup rapat. Orang-orang memandangi kita, kita mendengar apa yang mereka perbincangkan, namun tidak kuasa untuk menjawabnya. Lalu kita lihat anak kita yang masih kecil menangis seseng-gukan di sisi kita seraya mengatakan, "Wahai ayah tercinta siapakah yang akan mengasuhku nanti setelah ayah pergi? Siapakah yang akan memenuhi kebutuhanku nanti? Kita mendengarkan semua itu, namun demi Allah kita sudah tidak mampu manjawab lagi.
Syafiq bin Ibrahim berkata, "Bersiap-siaplah kalian semua di dalam menghadapi kematian, jangan sampai ketika ia datang lalu kalian minta di kembalikan lagi ke dunia (karena belum beramal)."
Al 'Alla' bin Ziyad mengatakan juga, "Hendaknya setiap orang dari kalian merasakan, bahwa dirinya telah meninggal, lalu memohon kepada Allah untuk dikembalikan ke dunia, kemudian Allah memenuhinya, maka hendaklah kalian beramal ketaatan kepada Allah."
Syamith bin 'Ajlan menuturkan, "Manusia itu ada dua macam, pertama orang yang terus mencari bekal di dunia, dan ke dua orang yang terus bersenang-senang di dunia. Maka lihatlah, termasuk golongan yang manakah dirimu?”
Dikisahkan, bahwa suatu hari al Hasan al Bashri melewati sekelompok pemuda yang sedang tertawa terbahak-bahak, maka beliau bertanya, "Wahai anak saudaraku, apakah kalian pernah menyebrangi ash Shirath(jembatan Jahannam)? Para pemuda itu menjawab, "Belum." Beliau bertanya lagi, "Apakah kalian tahu ke surga ataukah ke neraka kalian akan dimasukkan?" Mereka menjawab, “Tidak." Kemudian beliau berkata, "Lalu untuk apakah tawamu yang demikian itu?" Semoga Allah memberi maaf kepada kalian semua. Dan ketika beliau menjelang wafat beliau menangis seraya mengatakan, "Jiwa yang lemah, sedang urusan sangat dahsyat dan besar, sesungguhnya kita adalah milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kita akan kembali."
Wahai saudaraku! Kita semua tidak dapat membayangkan bagaimanakah keadaan malam pertama di alam kubur itu. Anas Radhiallaahu anhu pernah berkata, "Maukah kalian kuberi tahu dua hari dan dua malam yang belum pernah diketahui dan didengar oleh manusia (yang masih hidup)? Hari yang pertama adalah hari di mana datang kepadamu pembawa berita dari Allah, baik dengan membawa keridhaan-Nya maupun murka-Nya (waktu meninggal-pen), dan kedua yaitu hari dimana kalian dihadapkan kepada Allah untuk mengambil buku catatan amal, dengan tangan kiri ataukah dengan tangan kanan. Sedangkan dua malam, adalah malam pertama kali di dalam kubur dan malam dimana pagi harinya dilenyapkan tatkala terjadinya Hari Kiamat.
Kematian adalah perkara yang mengerikan, urusan yang sangat dahsyat, suguhan yang rasanya paling pahit dan tidak disukai. Dia adalah peristiwa yang menghancurkan seluruh kelezatan dunia, memutuskan ketenangan, serta pembawa duka dan kesedihan. Dia memutuskan segala yang telah tersambung, memisahkan anggota badan dan menghancurkan seluruh tubuh, sungguh dia adalah perkara yang sangat besar dan mengerikan.
Kita bayangkan bagaimana keada-an kita tatkala kita diangkat dari tempat tidur kita, dibawa ke suatu tempat untuk dimandikan, lalu kita dibungkus dengan kain kafan, keluarga dan tetangga bersedih, saudara dan teman menangis. Orang yang memandikan kita berkata, "Dimanakah istri si fulan, dia akan melepas kepergian suaminya, dan dimanakah anak-anak yatim si fulan, "Kalian semua akan ditinggalkan oleh ayah, kalian tidak akan bertemu lagi dengannya setelah ini."
Jika para Nabi dan Rasul, shalihin dan muttaqin semuanya mengalami hal itu, maka apakah kita akan terlena dari mengingatnya? Wallahu a'lam bish shawab.

Sumber: Buletin Dar Ibnu Khuzaimah, judul " 'Ala Firasyil Maut."