Allah swt menyediakan tiga pahala
bagi mereka yang bersabar: kesejahteraan di dunia dan akhirat, rahmat
dan kasih sayang Allah, dan petunjuk dalam menghadapi berbagai
kesulitan yang dihadapinya. (lihat QS. Al-Baqarah 155-157).
“…Dan para malaikat masuk kepada
tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan); keselamatan atas
kalian berkat kesabaran kalian. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.”
(QS. Ar-Ra’d [13]:23-24)
Sabar termasuk akhlak yang paling
utama yang banyak mendapat perhatian Al-Qur’an dalam surat-suratnya. Imam
al-Ghazali berkata, “Allah swt menyebutkan sabar di dalam al-Qur’an lebih dari
70 tempat.”
Ibnul Qoyyim mengutip perkataan Imam Ahmad: “Sabar di dalam al-Qur’an terdapat
di sekitar 90 tempat.”
Abu Thalib al-Makky mengutip sebagian perkataan sebagian ulama: “Adakah yang
lebih utama daripada sabar, Allah telah menyebutkannya di dalam kitab-Nya lebih
dari 90 tempat. Kami tidak mengetahui sesuatu yang disebutkan Allah sebanyak
ini kecuali sabar.”
Sabar menurut bahasa berarti menahan dan mengekang.
Di antaranya disebutkan pada
QS.Al-Kahfi [18]: 28 “Dan tahanlah dirimu bersama dengan orang-orang yang
menyeru Rabbnya di pagi dan di senja hari dengan mengharap keridhaanNya, dan
janganlah kedua matamu berpaling dari mereka.”
Kebalikan sabar adalah jaza’u (sedih
dan keluh kesah), sebagaimana di dalam firman Allah QS. Ibrahim [14]: 21,
“…sama saja bagi kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak
mempunyai tempat untuk melarikan diri.”
Macam-macam Sabar Dalam al-Qur’an
Aspek kesabaran sangat luas, lebih luas dari apa yang selama ini dipahami oleh
orang mengenai kata sabar.
Imam al-Ghazali berkata, “Bahwa
sabar itu ada dua;
Pertama bersifat badani (fisik), seperti menanggung beban dengan
badan, berupa pukulan yang berat atau sakit yang kronis.
Kedua adalah al-shabru al-Nafsi (kesabaran moral) dari
syahwat-syahwat naluri dan tuntutan-tuntutan hawa nafsu.
Bentuk kesabaran ini (non fisik) beraneka macam ;
Jika berbentuk sabar (menahan) dari
syahwat perut dan kemaluan disebut iffah
Jika di dalam musibah, secara
singkat disebut sabar, kebalikannya adalah keluh kesah.
Jika sabar di dalam kondisi serba berkucukupan disebut mengendalikan nafsu,
kebalikannya adalah kondisi yang disebut sombong (al-bathr)
Jika sabar di dalam peperangan dan
pertempuran disebut syaja’ah (berani), kebalikannya adalah al-jubnu (pengecut)
Jika sabar di dalam mengekang
kemarahan disebut lemah lembut (al-hilmu), kebalikannya adalah tadzammur
(emosional)
Jika sabar dalam menyimpan perkataan
disebut katum (penyimpan rahasia)
Jika sabar dari kelebihan disebut
zuhud, kebalikannya adalah al-hirshu (serakah)
Kebanyakan akhlak keimanan masuk ke
dalam sabar, ketika pada suatu hari Rasulullah saw ditanya tentang iman, beliau
menjawab: Iman adalah sabar.
Sebab kesabaran merupakan
pelaksanaan keimanan yang paling banyak dan paling penting. “Dan orang-orang
yang sabar dalam musibah, penderitaan dan dalam peperangan mereka itulah
orang-orang yang benar imannya, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”
(QS. Al-Baqarah [2]: 177)
Dari itu kita dapat memahami mengapa
al-Qur’an menjadikan masalah sabar sebagai kebahagiaan di akhirat, tiket masuk
ke surga dan sarana untuk mendapatkan sambutan para malaikat.
Dalam surat Al-Insan [72]: 12 “Dan
Dia memberi balasan kepada mereka atas kesabaran mereka dengan surga dan
(pakaian) sutera”.
Dalam surat Ar-Ra’d [13]:23-24 “…Dan
para malaikat masuk kepada tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil
mengucapkan); keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian. Maka alangkah
baiknya tempat kesudahan itu.”
Sabar, Suatu Kekhasan Manusia
Sabar adalah kekhasan manusia, sesuatu yang tidak terdapat di dalam binatang
sebagai faktor kekurangannya, dan di dalam malaikat sebagai faktor kesempurnaannya.
Binatang telah dikuasai penuh oleh
syahwat. Karena itu, satu-satunya pembangkit gerak dan diamnya hanyalah
syahwat. Juga tidak memiliki “kekuatan” untuk melawan syahwat dan menolak
tuntutannya, sehingga kekuatan menolak tersebut bisa disebut sabar.
Sebaliknya, malaikat dibersihkan
dari syahwat sehingga selalu cenderung kepada kesucian ilahi dan mendekat
kepada-Nya. Karena itu tidak memerlukan “kekuatan” yang berfungsi melawan
setiap kecenderungan kepada arah yang tidak sesuai dengan kesucian tersebut.
Tetapi manusia adalah makhluk yang
dicipta dalam suatu proses perkembangan; merupakan makhluk yang berakal,
mukallaf (dibebani) dan diberi cobaan, maka sabar adalah “kekuatan” yang
diperlukan untuk melawan “kekuatan” yang lainnya. Sehingga terjadilah
“pertempuran” antara yang baik dengan yang buruk. Yang baik dapat juga disebut
dorongan keagamaan dan yang buruk disebut dorongan syahwat.
Pentingnya Kesabaran
Agama tidak akan tegak, dan dunia
tidak akan bangkit kecuali dengan sabar. Sabar adalah kebutuhan duniawi
keagamaan. Tidak akan tercapai kemenangan di dunia dan kebahagaiaan di akhirat
kecuali dengan sabar.
Al-Qur’an telah mengisyaratkan
pentingnya kesabaran ini. Ketika mengyinggung masalah penciptaan manusia dan
cobaan penderitaan yang akan dihadapinya.
Dalam surat Al-Insaan [76]: 2
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang tercampur
yang Kami hendak mengujinya dengan perintah dan larangan”.
Pentingnya Kesabaran Bagi Orang
Beriman.
Sudah menjadi sunnatulah bahwa kaum
muslimin harus berhadapan dengan para musuhnya yang jahat yang membuat makar
dan tipu daya. Seperti Allah menciptakan Iblis untuk Adam; Namrud untuk
Ibrahim; Fir’aun untuk Musa dan Abu Jahal untuk Muhammad saw.
Dalam Surat al-Ankabut [29]]: 1-3
“Ali Laam Miim. Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan; kami telah beriman, padahal mereka belum diuji lagi? Dan
sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka
sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya dia
mengetahui orang-orang yang dusta.”
“Hai orang-orang yang beriman,
mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat,sesungguhnya
Allah beserta orang-orang yang sabar” (Q.s. al-Baqarah [2]: 153).
Tuntunan
Dalam Islam
Manusia
mempunyai dua dimensi kepribadian.
Dimensi
pertama, yang disebut dengan;dul malakuti
atau dimensi kemalaikatan yang berasal dari alam malakut. Ada satu bagian dalam
diri kita yang membawa kita ke arah kesucian, yang mendekatkan diri kita kepada
Allah.
Dimensi ini mendorong kita untuk
berbuat baik, mem-buat kita tersentuh oleh penderitaan orang lain, dan mengajak
kita untuk membantu mereka yang memerlukan bantuan.
Dengan kata lain, dimensi ini adalah sisi kebaikan yang ada dalam diri manusia.
Dimensi kedua, adalah dimensi kebinatangan atau dul bahimi.
Dimensi inilah yang mendorong manusia untuk berbuat buruk, membuat hati kita
keras ketika melihat penderitaan orang lain, dan menimbulkan rasa iri kepada
orang lain yang lebih beruntung.
Dimensi ini juga menggerak-kan
kita untuk marah dan dendam kepada sesama manusia. Inilah sisi buruk dalam diri
manusia.
Jika dimensi kemalaikatan membawa manusia dekat kepada Allah, dimensi
kebinatangan membawa manusia dekat dengan setan.
Setan sebenarnya tidak mempunyai kemampuan
untuk menyesatkan manusia, kecuali kalau manusia membantunya dengan membuka
sisi kebinatangannya. Karena itulah setan pernah berjanji di hadapan Allah,
Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semua.
Kecuali hambahamba- Mu yang ikhlas.
(QS. Shad 82-83).
Ada dua hal yang harus dilakukan manusia agar ia dapat memenangkan per-tempuran
agung itu, yaitu shalat dan sabar.
Minta tolonglah kamu (dalam jihad
akbar ini) dengan melakukan shalat dan sabar, sesungguhnya itu berat kecuali
bagi orang-orang yang khusyuk. (QS Al-Baqarah 45).
Dari hasil penelitian, ia menemukan situasi yang disebut dengan when smart
is dumb, ketika orang cerdas jadi bodoh. Ia menemukan bahwa orang Amerika
yang memiliki kecerdasan atau IQ di atas 125 umumnya bekerja kepada orang yang
memiliki kecerdasan rata-rata 100.
Artinya, orang yang cerdas umumnya
menjadi pegawai kepada orang yang lebih bodoh dari dia. Jarang sekali orang
yang cerdas secara intelektual sukses dalam kehidupan. Malahan orang-orang
biasalah yang sukses dalam kehidupan.
Lalu apa yang menentukan sukses dalam kehidupan ini? Bukan kecerdasan
intelektual tapi kecerdasan emosional.
Kecerdasan emosional diukur dari
kemampuan mengendalikan emosi dan menahan diri. Dalam Islam, kemampuan
mengendalikan emosi dan menahan diri disebut sabar.
Orang yang paling sabar adalah orang
yang paling tinggi dalam kecerdasan emosionalnya. Ia biasanya tabah dalam
menghadapi kesulitan. Ketika belajar orang ini tekun. Ia berhasil mengatasi
berbagai gangguan dan tidak memperturutkan emosi-nya. Ia dapat mengendalikan
emosinya.
Diceritakan betapa fatalnya orang
yang tidak memiliki kecerdasan emosional.
Hal ini bisa dikaitkan bahwa orang yang sukses dalam hidupnya adalah orang yang
memiliki kecerdasan emosional tinggi atau orang-orang yang sabar.
Keadaan ini menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan antara sukses dengan kecerdasan.
Kecerdasan emosional bisa dibentuk
dengan melatih kesabaran dan tekun dalam menempuh perjalanan sabar.
Seperti itulah seorang sufi yang
menempuh perjalanan menuju Allah. Ia tempuh berbagai bencana tetapi ia tetap
sabar. Itulah cara mengembangkan kecerdasan emosional.
Orang-orang yang cerdas secara
emosional adalah orang yang sabar dan tabah dalam
menghadapi berbagai cobaan. Ia tabah dalam mengejar tujuannya.
Orang-orang yang bersabar menurut
Al-Quran akan diberi pahala berlipat ganda di dunia dan akhirat: Mereka itulah
yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan
mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. Al-Baqarah 157).
Ada beberapa pahala yang akan
diperoleh bagi orang yang bersabar yaitu shalawat (keberkatan yang
sempurna), rahmat, dan hidayat.
Ada tiga jenis kesabaran;
Pertama, sabar dalam menghadapi musibah.
Kedua, sabar dalam melakukan ibadah.
Ketiga, sabar dalam menahan diri untuk tidak melakukan maksiat.
Sabar dalam menghadapi musibah
pahalanya lebih besar. Bahkan menurut Al-Quran, pahalanya diberikan tanpa
perhitungan: Allah beri pahala kepadanya tanpa perhitungan (Az-Zumar 10).
Sabar dalam menjalankan ibadah
pahalanya lebih besar daripada sabar dalam menghadapi musibah.
Sabar dalam menahan diri akan
melakukan maksiat pahalanya jauh lebih besar daripada dua jenis sabar yang
lainnya.
Dalam istilah modern, kedua suami
istri itu memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Biasanya keluarga seperti
ini bisa bertahan lama.
Aku mendengar Nabi yang mulia bersabda: Iman itu setengahnya adalah kesabaran
dan setengahnya lagi adalah syukur.
Aku bersyukur kepada Allah karena Ia telah menganugerahkan kepadaku kemudaan,
kecantikan, dan akhlak yang baik. Aku ingin menyempurnakan setengah imanku lagi
dengan kesabaran dalam berkhidmat kepada suamiku.
Jadi, perempuan di atas ingin menyempurnakan setengah keimanannya dengan
kesabaran setelah ia bersyukur akan kemudaan, kecantikan, dan kebaikan
akhlak-nya. Ia bersabar dengan jalan mengabdikan seluruh hidupnya kepada
suaminya. Jika ada orang yang bersyukur tapi ia tidak bisa bersabar, imannya
tidak sempurna. Karena ia kehilangan setengah imannya yang lain. Hadis ini
jangan dipandang dalam perspektif kaum feminis.
Carilah perspektif lain dalam
memandang berbagai masalah itu. Karena itu akan membawa kita kepada kondisi
yang lebih kuat dalam menghadapi musibah.