Syar’u Man Qablana
Dalil-dalil hukum (adillat al-ahkam) sering pula
disebut dengan sumber-sumber hukum (mashadir al-ahkam). Sepanjang yang
dimaksud adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah maka kedua istilah tersebut absah.
Namun jika yang dimaksud adalah hal-hal yang kemudian dipahami oleh ushuliyyun
sebagai dalil-dalil hukum, yang jenisnya amat banyak, maka istilah adillat
al-ahkam merupakan istilah yang lebih tepat. Alasannya, banyak hal memang
bisa berfungsi sebagai dalil (penunjuk) hukum, tidak terbatas pada Al-Qur’an
dan Al-Sunnah saja – meskipun asalnya juga dari keduanya. Lain halnya dengan
istilah mashadir al-ahkam. Istilah mashadir (sumber) hanya
tepat jika dipakai untuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah, karena hanya kedua hal itulah
yang menjadi sumber dalam syariat.
Para ulama ushul berbeda pendapat dalam masalah dalil-dalil
hukum. Mereka berselisih tentang apa sajakah yang absah untuk dijadikan sebagai
dalil hukum. Kalau diamati dengan teliti, akan tampak bahwa sebagian besar
perbedaan pendapat ini disebabkan oleh perbedaan definisi terminologis, dan
bukan disebabkan oleh perbedaan esensi. Namun perbedaan definisi terminologis
bukanlah satu-satunya penyebab perbedaan pendapat ini, karena ada hal-hal
lainnya yang juga turut berperan bagi timbulnya perbedaan pendapat ini.
Dalil-dalil hukum yang dimaksud antara lain Al-Qur’an,
Al-Sunnah, ijma’, qiyas, madzhab al-shahabiy, istihsan, maslahat
al-mursalah, istish-hab, ‘urf, dan syar’u man qablana qablana.
Metode berdalil dengan berbagai dalil hukum selain Al-Qur’an dan Al-Sunnah
biasanya disebut sebagai istidlal. Ijtihad, dalam pengertian sebagai
usaha optimal untuk memutuskan perkara yang tidak di-nash-kan dalam Al-Qur’an
dan Al-Sunnah, tidak lain adalah istidlal itu sendiri.
Diantara dalil-dalil hukum diatas, Al-Qur’an dan Al-Sunnah
sajalah yang tidak diperselisihkan otoritasnya. Dalil-dalil hukum yang lain
tidak ada yang lepas dari perbedaan pendapat para ulama.
Keberadaan ijma’(konsensus) diperselisihkan oleh para ulama.
Mungkinkah segenap mujtahid pada satu masa bersepakat atas satu hal tanpa ada
satupun yang menyalahinya? Mereka yang menjawab “mungkin” kemudian mengemukakan
klasifikasi ijma’ atas ijma’ sharih dan ijma’ sukuti.
Betapapun serunya perbedaan pendapat dalam masalah ini, paling tidak para
ulama bersepakat atas otoritas ijma’ para sahabat Nabi.
Permasalahan lain yang juga muncul dalam masalah ijma’ ialah
apakah ijma’ yang lama akan bisa digantikan oleh suatu ijma’ yang baru ?
Golongan yang amat liberal mengatakan bahwa ijma’ tidak pernah mengenal kata
putus. Setiap generasi berhak melakukan suatu kesepakatan, yang bisa menjelma
menjadi ijma’, atas jaminan Nabi bahwa umat Islam tidak akan mungkin bersepakat
dalam suatu kesesatan. Dalam hal ini, ijma’ diposisikan sebagai produk ijtihad
dan bukan sebaliknya, menghalangi gerak ijtihad. Bagaimanapun juga, ide yang
amat liberal inipun hanya bisa diterima apabila ijma’ didefinisikan tidak
terlampau sempit (hanya terbatas di kalangan sahabat Nabi saja) dan juga tidak
terlalu luas (meliputi segenap ulama mujtahidin). Apabila ijma’
didefinisikan terlalu luas, maka sebagaimana diketahui, kesepakatan seluruh
ulama mujtahidin tanpa kecuali merupakan suatu hal yang amat sulit untuk
diwujudkan.
Qiyas (analogi) termasuk dalil hukum yang disepakati oleh
hampir sebagian besar ulama ushul. Hanya golongan zhahiriyah sajalah
yang tidak mengakui otoritas qiyas. Imam Syafi’i merupakan ulama yang paling
getol dalam memperjuangkan otoritas qiyas. Beliau bahkan berpendapat bahwa
ijtihad itu tidak lain adalah qiyas. Sebetulnya pembatasan ini beliau lakukan
karena beliau mendefinisikan qiyas dalam pengertian yang amat luas, yang tidak
lain adalah pengertian ijtihad itu sendiri.
Bentuk qiyas yang paling populer ialah qiyas ‘illatiy,
yaitu qiyas yang dilakukan atas dasar kesamaan ‘illat. Disamping itu,
terdapat pula qiyas aulawiy dan qiyas maslahatiy. Qiyas
aulawiy didasarkan pada keserupaan dalam intensitas yang lebih besar.
Sementara qiyas maslahatiy ialah qiyas yang dilakukan atas dasar
kesamaan maslahat. Qiyas ini merupakan bentuk qiyas yang terjauh karena
persamaan yang muncul adalah persamaan pada kaidah umum (al-qa’idat
al-kulliyyat).
Khusus untuk qiyas ‘illatiy, terdapat beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi. Apabila persyaratan-persyaratan tersebut
dilanggar maka qiyas yang dilakukan akan menjadi batal (tidak absah). ‘Illat,
sebagai esensi persoalan, dibedakan atas ‘illat manshushat dan ‘illat
muktasabat (mustanbathat). ‘Illat harus dibedakan dengan sabab dan
hikmah. Ketiganya mempunyai fungsi dan kedudukannya masing-masing.
Selain dalil-dalil hukum yang telah tersebut diatas, terdapat
pula berbagai dalil hukum yang lain, yang masih diperdebatkan secara sengit
diantara para ulama ushul. Kita mulai dari istihsan (preferensi). Istihsan
sangat dominan dipakai oleh Abu Hanifah namun ditentang dengan sangat keras
oleh Imam Syafi’i. Sikap Imam Syafi’i ini pada dasarnya muncul karena beliau
mendefinisikan istihsan dalam pengertian yang terlalu luas, sehingga
terkesan bahwa istihsan itu tidak lain adalah semata-mata rasio atau
hawa nafsu. Istihsan bisa dibedakan atas dua macam. Pertama, istihsan
yang merupakan peralihan dari qiyas jaliy menuju qiyas khafiy
karena adanya maslahah. Kedua, istihsan yang merupakan peralihan
meninggalkan qiyas karena adanya maslahah.
Dalil hukum yang serupa dengan istihsan, dari sisi bahwa
keduanya melibatkan rasio secara dominan, adalah maslahah mursalah.
Disebut demikian, karena maslahah yang dijadikan landasan merupakan maslahah
yang tidak disebutkan dalam nash secara spesifik. Maslahah yang dimaksud disini
tidak melanggar nash dan tidak pula secara spesifik dinyatakan oleh nash.
Sebaliknya, maslahah ini hanya ditunjukkan oleh makna umum yang dikandung oleh
nash. Konsep al-maqasid al-syar’iyyat merupakan konsep yang amat
berkaitan dengan maslahah mursalah. Imam Syathibiy termasuk ahli ushul
yang cukup getol menganjurkan pemakaian maslahah mursalah sebagai
dalil hukum. Sebetulnya, maslahah mursalah merupakan suatu
keniscayaan, karena tanpa itu kehidupan manusia akan menjadi statis dan jumud.
Madzhab al-shahabiy berarti praktek dan pendapat
para sahabat Nabi. Imam Ahmad amat menghargai atsar para sahabat. Apabila para
sahabat telah bersepakat dalam suatu hal, maka beliau akan menetapkannya
sebagai hukum. Apabila para sahabat berbeda pendapat, maka beliau akan
mengambil salah satunya dan tidak akan keluar dari pendapat mereka. Landasan
berpikirnya adalah karena sahabat Nabi merupakan generasi yang paling mengerti
tentang syariat dan maksud-maksudnya. Sementara itu, Imam Malik amat menjunjung
tinggi otoritas amalan ahli Madinah, yakni praktek yang hidup di kalangan ahli
(penduduk) Madinah. Hal ini tidak lain didasarkan pada anggapan bahwa Madinah
adalah kota Nabi, yang telah mewarisi tradisi Nabi secara lengkap dan orisinil.
Istish-hab (kontinuitas) merupakan dalil hukum yang
didasarkan atas prinsip bahwa dalam Islam, segala hal pasti ada hukumnya. Hal
ini tidak lain karena syariat Islam bersifat sempurna dan final, semenjak wahyu
telah turun secara tuntas. Konsep bara-at al-dzimmah dan al-ibahat
al-ashliyyat dalam aspek muamalah, al-tahrim wa al-tauqif al-ashliyyat
dalam aspek ta’abbud, merupakan beberapa bentuk istish-hab.Di samping
itu, istish-hab juga dipakai dalam pengertiannya yang mendasar pada
segenap relung-relung syariat.
Syar’u man qablana (syariat
sebelum kita, syariat Nabi-nabi terdahulu) juga merupakan dalil hukum yang
diperselisihkan. Bagi yang mengakui otoritas dalil hukum ini, syariat umat
terdahulu masih absah berlaku hingga kini sepanjang tidak ada nash yang
menghapuskan atau mengubahnya. Dalam hal ini, otoritasnya tidak memerlukan
adanya penetapan ulang dalam syari’at sekarang (syari’at Muhammad). Sementara
bagi yang menentang otoritas Syar’u man qablana,
syariat Muhammad telah menghapus seluruh syariat umat terdahulu, kecuali kalau
ditetapkan lagi dengan nash.
Al-‘urf atau al-‘adat, yang berarti
kebiasaan atau tradisi yang hidup dalam masyarakat, bisa dibedakan atas dua : al-‘urf
al-shahih (kebiasaan yang selaras dengan syariat) dan al-‘urf al-fasid
(kebiasaan yang bertentangan dengan syariat). Al-‘urf, dalam
pengertian al-‘urf al-shahih, oleh sebagian besar ulama dianggap absah
sebagai dalil hukum. Oleh karena itu, terdapat kaidah fiqh asasi yang berbunyi al-‘adat
muhakkamat.
Mengenai tradisi bahasa (‘urf lughawiy) yang fasid
(khathi’), Imam Hasan Al-Banna mengemukakan dalam Ushul ‘Isyrun
bahwa ‘urf yang demikian itu tidak bisa mengubah hakikat teks-teks syar’i.
Ibrah hendaknya diambil dari esensi dan bukan dari teks-teks yang fasid
tersebut.
Kalau kita amati, betapa banyak dalil-dalil hukum yang masih
menjadi bahan perdebatan diantara para ulama. Oleh karena itu, studi dan
penelitian yang intensif terhadap dalil-dalil hukum, dan ushul fiqh pada
umumnya, merupakan tugas berat yang harus digarap. Ushul fiqh hanyalah suatu
bentuk sistemasisasi prinsip-prinsip syariat, yang berarti merupakan produk
pemikiran manusia, sehingga tidak menutup kemungkinan untuk direkonstruksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar