Senin, 21 Mei 2012

Untuk Orang Tua Juga Untuk Diri Sendiri


UNTUK  ORANG  TUA
JUGA  UNTUK  DIRI  SENDIRI         

Seorang lelaki datang menghadap Rasulullah, lalu berkata,”Ya Rasulullah, wasiatkanlah kepadaku dengan suatu nasehat yang dapat bermanfaat kepadaku di dunia dan di akhirat. “Nabi bertanya,”Apakah kamu masih mempunyai ibu bapak ?” “Ya,”Jawab lelaki tersebut. Maka Nabi bersabda,”Apabila hak mereka berdua kamu penuhi dan kamu taati mereka, maka dari setiap suap makanan kamu mendapatkan sebuah gedung di surga.”

            Alangkah mudahnya membangun gedung di surga. Hanya dengan sesuap nasi untuk orang tua yang memang membutuhkan uluran tangan anak-anaknya, maka otomatis sudah terbangun satu rumah disana. Padahal sekali makan terdiri dari beberapa suapan, dan sehari pun makan tidak hanya sekali. Lalu berapa bangunan bisa berdiri di surga dalam sepekan ? Sebulan ? Setahun ?

            Nampaknya memang sangat mudah memperoleh surga lewat jalan ini, tapi apa betul demikian ? Ternayata tidak. Karena pada kenyataanya merobohkan gedung-gedung yang sudah terbangun itu lebih gampang daripada membangunnysa sendiri. Hanya dengan isyarat muka muram, apalagi sampai terucap lewat kata “ah”, lebih-lebih sampai pada sikap marah kepada orang tua, maka akan habis seluruh amal kebaikan yang telah ditumpuk sekian lama. Bukan saja gedung-gedung yang sudah terbangun di surga hancur berantakan, tapi malah dapat menyeret pelakunya ke neraka karena tak mampu menebus kerugiannya.

            Dari Anas ra diriwayatkan bahwa sesungguhnya Rasulullah pernah bersabda,”Tidak seorang hambapun yang oleh Allah dikaruniai harta, kemudian dia tidak menunaikan hak kedua ibu bapaknya, kecuali akan dibatalkan amalnya oleh Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Agung, dan dirasai-Nya ia siksa yang pedih.”

            Cerita tetang Alqamah - lepas dari lemah tidaknya hadits tersebut - yang sering kita dengar ditengah-tengah masyarakat adalah bukti betapa mudahnya seseorang menjadi terhalang kebaikannya, bahkan keislamannya, bila dia melakukan sesuatu yang menyakitkan hati orang tuanya. Sampai-sampai Alqamah yang ahli ibadah, yang selalu berasa di shaf pertama dalam jamaah sholat yang diimami oleh Rasulullah sendiri, ketika naza’pun, saat meregang nyawa, tidak bisa mengucapkan kalimah syahadat, yang setiap harinya menjadi bacaan rutin dalam dzikir dan sholatnya.

            Apakah dosa Alqamah ? Sebenarnya sederhana. Ketika mendapat rejeki dari Allah ibunya tahu dan sangat menyukainya. Akan tetapi karena sang istri juga begitu senang akan rejeki itu dan tidak rela bila diberikan kepada ibunya maka rejeki itu diberikan semuanya kepada istrinya. Si ibu tersinggung, marah dan mengutuk anaknya. Hanya itu yang dilakukannya. Tapi akibatnya luar biasa. Untung pada saat itu ada Rasulullah yang terus menerus menyadarkan ibunya agar rela dan mengampunkan kesalahan anaknya. Dengan kerelaan dan ampunan ibu itu, baru Alqamah dapat lancar membaca syahadat di akhir hayatnya.

            Masih dari Anas ra, diriwayatkan bahwasannya Rasulullah saw pernah menyampaikan. ”Tidak seorangpun yang ibu bapaknya meninggal dunia dalam keadaan tidak meridhainya, kecuali Allah akan mengeluarkan ruhnya dalam keadaan tidak bersyahadat, dan dia hanya akan keluar dari kubur sedang pada wajahnya tertera tulisan,’Inilah balasan orang yang durhaka terhadap kedua orang ibu bapaknya’.”

            Pada suatu hari datang kepada Rasulullah  seorang lelaki. Ia lantas berkata,”Ya Rasulullah, sesungguhnya saya mempunyai seorang ibu. Sebagai anaknya, saya telah memberikan nafkah kepadanya, tapi dia terus menyakiti saya dengan lidahnya, apakah yang mesti saya perbuat?” Rasulullah lantas menjawabnya dengan tegas,”Tunaikan haknya. Demi Allah sekiranya kamu potong dagingmu, kamu belum dapat melunasi seperempat haknya. Belum jugakah kamu mengerti bahwa surga berada ditelapak kaki ibu ?”

            Dalam keadaan normal mungkin berbuat baik kepada ibu bapak sangat mudah. Akan tetapi dalam kondisi-kondisi tertentu, apakah selalu seperti itu ?  Apalagi ketika orang tua sudah berusia lanjut, saat pikirannya sudah kembali seperti kanak-kanak ketika itulah ujian iman didatangkan oleh Allah kepada sang anak. Bila berhasil melalui ujian itu, Insya Allah jaminannya adalah syurga. Tapi alangkah banyak manusia yang gagal menerimanya.

            Terhadap bayi yang belum bisa berjalan sendiri yang jika buang kotoran masih semaunya sendiri, mungkin orang bisa bersabar. Karena masih ada harapan beberapa saat lagi ia akan bisa berjalan kemudian bisa mengatur pola buang air besar dan buang air kecilnya. Tapi bila yang tidak bisa melakukan apa-apa itu orang tua yang sudah berusia lanjut, buang air besar dan kecilnya di kasur, apakah anaknya bisa bersabar? Barangkali malah harapan anaknya hanya satu, kapan orang tuanya segera meninggal.

            Dalam teori, bersabar kepada orang tua yang sudah dalam kondisi seperti ini memang gampang. Akan tetapi kalau sudah merasakan sendiri mempraktekkan sehari-hari, baru tahu betapa beratnya. Sehari dua hari mungkin masih bisa bertahan. Tapi jika hitungannya sudah setahun dua tahun, mungkin anak sudah mulai berpikir, bagaimana kalau orang tuanya dimasukkan ke panti jompo saja, yang menampung orang-orang tua yang bernasib malang. Meskipun masih dengan landasan pikiran yang dilogis-logiskan, misalnya ketimbang tidak bisa merawat dengan baik atau ketimbang mengganggu pekerjaan atau malah agar tidak merepotkan.

            Terhadap orang yang berpikir seperti ini, bolehlah kita bertanya, apakah mereka juga tidak pernah membayangkan bahwa suatu saat nanti, mungkin akan mengalami nasib serupa ? Apakah tidak terbayang bahwa diusia tua memang segalanya akan menjadi serba sulit ? Siapa yang bisa menjamin fisik akan tetap sekuat dimasa muda ? Sudah merupakan sunnatullah bahwa setiap orang bakal menghadapi masa tua. Kecuali tentu mereka yang mati muda.

            Oleh karenanya menghormati orang tua menjadi mutlak, selain karena merupakan kewajiban, lebih dari itu sebenarnya merupakan kepentingan diri sendiri. Jika kita berani kepada orang tua maka esok hari anak kita bakal membalas kelak ketika usia kita sudah udzur. Balasan setimpal dari anak itu masih lumayan, tetapi juga ada balasan yang jauh lebih besar, yaitu siksa dari Allah di akhirat nanti.

            Berbuat baik kepada orang tua merupakan hal yang sudah semestinya. Artinya, andaikata Al-Qur’an tidak memerintahkan dan tak satupun hadist yang menyuruhnya, akal sehat kita sudah pasti mengajak kita untuk berbuat baik kepada orang tua. Hanya mereka yang tidak waras akalnya saja yang tega berbuat jahat kepada orang tuanya. Orang yang demikian memang pantas mendapat ganjaran siksa. Adapun orang yang beriman, yang menggunakan akal sehatnya, menjadikan perbuatan baik kepada orang tuanya sebagai hiasan kepribadiannya. Dan karena termasuk jenis amalan utama, maka apabila dilanggar akan mendatangkan dosa besar.

            Suatu kali Nabi ditanya tentang amalan apakah yang paling afdhal. Rasulullah menjawab,”Sholat tepat pada waktunya, kemudian berbuat baik kepada orang tua, seterusnya adalah jihad fii sabiilillah.”

            Pernyataan ini masih diperkuat dengan peristiwa lain, ketika lewat seorang pemuda gagah di depan masjid dan para sahabat melihatnya lantas berkomentar,”Andaikata kekuatan dan kesehatan yang telah diberikan kepada pemuda itu dimanfaatkan untuk berjihad di jalan Allah tentu akan lebih banyak manfaatnya.” Mendengar pernyataan itu rasulullah menukas,”Menjaga orang tua yang sudah lumpuh termasuk jihad juga.” Memang pemuda itu mempunyai ibu yang tua lagi lumpuh, tidak ada yang menjaga dan merawatnya, kecuali dia sendiri.

            Islam memang agama yang fitrah, sejalan dengan kehendak dan kebutuhan manusia yang suci dan bersih. Semua yang mempunyai hati nurani pasti merasa berkewajiban untuk menghormati dan berbuat baik kepada orang tuanya. Tapi jika hati sudah kotor, tertimbun oleh nafsu serakah yang selalu condong kepada kerusakan dan kemaksiatan, bisa jadi kewajiban yang amat fitri ini dilanggar.

            Pelanggaran terhadap kewajiban ini sama saja dengan durhaka kepada Allah swt. Seseorang yang tidak bisa berterima kasih kepada orang tuanya sama saja dengan tidak berterima kasih kepada Allah. Tidak berterima kasih kepada Allah berarti kufur nikmat. Barangsiapa yang kufur kepada Allah, maka perlu ingat bahwa adzab Allah itu sangat pedih.

            Karenanya sebagai anak, seseorang memiliki banyak kewajiban yang merupakan hak bagi orang tua :

·         Memberi makan jika dibutuhkan
·         Melayani jika dibutuhkan
·         Memenuhi jika dipanggil
·         Memenuhi perintahnya jika perintah itu tidak maksiat
·         Berbicara dengan lemah lembut
·         Sopan dihadapannya
·         Memenuhi kebutuhan sandangnya sesuai dengan kebutuhan
·         Merelakan untuknya apa yang disukainya
·         Menjauhkan apa yang dibenci
·         Berdo’a memintakan ampun baginya dalam setiap do’a yang setiap hari dipanjatkannya
·         Mendo’akan kesehatannya.
·         Memintakan restunya terlebih dahulu atas segala perbuatan penting yang akan dilakukan.
·         Memenuhi kebutuhan hidupnya bila telah tua.

            Disaat ibu bapak telah wafat :

·         Menyelenggarakan jenazahnya :

·         Memandikan
·         Mengkafankan
·         Mensholatkan
·         Mengebumikan dengan sesegera mungkin

·         Memohonkan ampun atas segala dosanya
·         Memenuhi segala janjinya yang semasa hidupnya belum terpenuhi ( misalnya : wasiatnya, pesan-pesan khusus yang mampu dilaksanakan dan tidak bertentangan dengan agama )
·         Melunasi hutang piutangnya
·         Menghormati terhadap sahabat-sahabatnya semasa keduanya masih hidup
·         Dengan segala pengertian, berbuat baik terhadap kedua ibu bapak berdasarkan firman Allah swt dalam surat Luqman ayat 14 : “Dan kami perintahkan kepada manusia berbuat baik kepada kedua orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah, bahkan menyusukan pula selama kurang lebih 2 tahun. Maka dari itu bersyukurlah kepada-Ku dan kepada orang tuamu, dan hanya kepada-Ku sajalah tempat kembali.”


Source : Suara Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar