Pembicaraan tentang ikhlas adalah pembicaraan yang tak kenal
henti, artinya selagi kita masih hidup dan menyadari posisi kita sebagai hamba
Allah, maka keikhlasan senantiasa masih terus di tuntut dan dibutuhkan. Allah
Subhannahu wa Ta'ala telah memberitahukan, bahwa manusia itu tidak diperintah,
kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan di dalam
menjalankan ajaran agama.
Kita semua, bahkan para salaf mengakui, bahwa merealisasikan
ikhlas dan membaikkan niat adalah perkara yang sangat sulit. Ini dikarena-kan
hati kita memiliki sifat suka berubah dan berbolak-balik, sesuai dengan namanya
"qalb", sehingga bisa jadi seseorang pada mulanya telah ber-niat
secara ikhlas, namun di tengah jalan niatnya ternodai atau bahkan berubah.
Demikian pula sebaliknya ada yang tadinya salah dalam niat, namun akhirnya
menyadari dan tahu akan kekeliruannya, lalu memperbaiki niat tersebut.
Maka mengetahui berbagai persoalan yang berkaitan dengan
keikhlasan amat perlu bagi kita, sebagai salah satu upaya menjaga hati, agar
senantiasa lurus tertuju kepada Allah. Tidak goyah oleh segala gang-guan dan
godaan, baik was-was syetan maupun segala yang dicenderungi oleh hawa nafsu.
A. Beratnya Meraih Kesempurnaan Ikhlas
Keikhlasan yang sempurna amat-lah
sulit digambarkan, kecuali oleh orang yang telah menyerahkan cinta-nya secara
utuh kepada Allah dan mengutamakan akhirat. Apalagi mengingat, bahwa manusia
memiliki sifat banyak lupa dan mempunyai kecende-rungan yang besar terhadap
kehidupan duniawi, bahkan banyak pula yang terpedaya olehnya.
Biasanya keikhlasan akan sulit untuk
menembus hati orang yang telah terpesona dan tergantung dengan kehidupan dunia,
kecuali atas taufik dari Allah. Jangan jauh-jauh, kita tengok dalam hati kita
masing-masing dalam hal yang ringan saja, seperti makan atau tidur misalnya,
kita mela-kukan itu biasanya karena memang kita menginginkannya. Jarang
terbetik di dalam pikiran kita ketika melakukan itu adalah agar badan kita kuat
dan sehat, sehingga dapat melakukan ibadah kepada Allah dengan baik. Demikian
pula dalam melakukan berbagai amal yang lain, kita sering merasakan adanya
berbagai bisikan dan gangguan yang menggerogoti kemurnian niat ikhlas kita
kepada Allah.
Maka selayaknya masing-masing kita
bersikap waspada, membentengi diri, memusatkan niat dan tujuan pada keikhlasan
yang sempurna, jangan hiraukan was-was syetan, sebab was-was dan bisikan syetan
akan menghancurkan dan melemahkan kita. Dan ketika amal-amal shaleh yang kita
kerjakan terkena polusi, maka janganlah merasa lemah, sebab kotoran-kotoran
tersebut dapat dihilangakan, sehingga amal tersebut menjadi benar-benar jernih
dan tidak hilang pahalanya.
B. Bila Keikhlasan Tercemari
Sering muncul problem dalam masalah
ikhlas ini, yakni bagaimana seseorang bersikap, apabila keikhlasan suatu amal
yang dia kerjakan tercemari? Sebab tak jarang orang yang menghadapi masalah ini
lantas surut dari berbuat kebaikan, khawatir terkena riya'.
Abu Thalib al-Makki berkata, "Seseorang
tidak boleh meninggalkan amal shalih karena takut terkena penyakit pada amal
tersebut, karena memang itulah yang dikehendakai oleh musuhnya (syetan). Tetapi
dia harus kembali kepada niatnya semula, niat yang benar. Jika amal tersebut
tersu-supi oleh penyakit, maka hendaknya ia segera mencari obatnya, berusaha
menghilangkannya dan tetap pada niat yang benar dan tujuan yang baik. Tidak
boleh meninggalkan suatu amalan karena manusia, atau karena malu terhadap
mereka. Sebab beramal karena manusia adalah syirik, dan meninggalkannya karena
mereka adalah riya'. Meninggalkan amal karena khawatir akan masuknya penyakit
(riya') di dalam hati adalah kebodohan, dan meninggalkannya ketika amal
tersebut sedang dilakukan (karena keikhlasannya terganggu) adalah suatu
kelemahan. Siapa saja yang beramal karena Allah dan meninggalkannya juga karena
Allah, maka tidak ada masalah baginya selagi masih berada dalam koridor ini,
tentunya setelah ia dapat mebuang jauh jauh segala niat buruk. "
C. Dapatkah Niat yang Rusak Diperbaiki?
Sebagian orang ada yang menyangka,
bahwa apabila amal kebaikan dimulai dengan niat yang salah (rusak), maka amal
tersebut harus ditinggalkan dan tidak perlu dilanjutkan. Ini adalah persangkaan
yang salah, yang benar niat itu dapat diperbaiki dan dibangun di atas amal
perbuatan tersebut, tanpa harus meninggalkannya. Sebagian salaf ada yang pernah
mencari ilmu tanpa niat yang sempurna dan benar, kemudian mereka menyadari dan
akhirnya kembali kepada Allah serta memperbaiki niat mereka, memulai niat
menuntut ilmu dengan niat yang benar.
Imam adz-Dzahabi mengatakan,
"Para salaf mencari ilmu karena Allah, sehingga mereka menjadi mulia dan
menjadi imam yang diteladani. Sebagian dari mereka ada juga yang mencari ilmu
mula-mula bukan semata karena Allah, setelah mereka mendapatkan ilmu itu mereka
introspeksi diri, maka ilmu mereka telah mengantarkan mereka kepada keikhlasan
di tengah jalan. Ini sebagaimana juga yang dikatakan Mujahid dan selainnya,
"Kami mencari ilmu, dan di dalam mencarinya kami tidak memiliki niat yang
besar, kemudian Allah menga-runiakan niat kepada kami."
D. Keikhlasan Yang Ternodai
Seseorang yang telah berusaha
beramal secara ikhlas, namun ternyata masih ada limbah atau noda yang
mengotorinya, seperti kealpaan atau syahwat, maka pahala amalnya tidak hilang
secara keseluruhan. Ini merupakan keutamaan dari Allah untuk hamba-hamba Nya,
sehingga kaum muslimin tidak terjatuh ke dalam keputusasaan dan kesempitan
hidup. Kotoran-kotoran yang semacam ini seringkali manusia merasa sangat
kesulitan untuk terlepas darinya, kecuali sebagian kecil saja. Namun demikian
bukan berarti, bahwa noda tersebut tidak berpengaruh terhadap amal, ia tetap
membuat pahala suatu amal menjadi berkurang kesempurna-annya, namun tidak
sampai kepada tingkat menghapuskannya sama sekali.
Oleh karena itu seorang hamba
setelah berusaha semaksimal mungkin, hendaknya senantiasa khawatir antara
ditolak dan diterima amal perbuatannya, takut kalau amal ibadahnya terdapat
penyakit yang bahayanya lebih besar daripada pahalanya. Demikianlah hendaknya
orang yang memiliki bashirah (pandangan jeli) dalam bersikap, agar jangan
sampai merasa ujub dan bangga dengan amalnya, dan bahkan terus meningkatkan
kualitasnya.
E. Memperlihatkan Amal Kebaikan
Pada dasarnya amal kabaikan yang
(shalih) haruslah disembunyikan dan tidak perlu di tampakkan kepada orang lain,
kecuali yang memang harus ditampakkan seperti shalat berjama’ah dan haji. Namun
dalam keadaan tertentu memperlihatkan amal shalih dapat dibenarkan asalkan
memenuhi syarat, yaitu:
Pertama,
bebas dari riya' (bukan untuk pamer)
Kedua,
terdapat faedah diniyah dari menampakkannya. Misalnya untuk memberikan contoh
kebaikan, menguatkan orang yang lemah, atau untuk menenangkan dan memberikan
kabar gembira. Seperti yang pernah dikatakan Abu Sufyan bin Harits, salah
seorang paman Nabi kepada keluarganya ketika menjelang wafat, "Janganlah
kalian menangisi aku, karena sejak masuk Islam aku tidak pernah melakukan
dosa."
F. Tanda-Tanda KeIkhlasan
Keikhlasan memiliki tanda-tanda atau
indikasi yang bisa dikenali, di antaranya adalah: Tidak mencari popularitas,
mengakui kekurangan diri sendiri, tidak gila pujian, banyak diam, tidak bakhil
di dalam memuji orang yang berhak mendapatkannya, meluruskan amal karena Allah,
mengha-rapkan ridha Allah bukan manusia, menjadikan keridhaan dan kemarahan-nya
karena Allah bukan karena nafsu-nya, bersabar menapaki jalan panjang yang
sangat berat ketika pertolongan belum tiba, bergembira dengan keberhasilan
saudaranya atau minimalnya tidak marah dengan sebab itu, senan-tiasa
membersihkan hatinya dari sifat ujub, tidak menganggap suci dirinya,
merahasiakan ketaatan, kecuali untuk kemaslahatan yang jelas dan masih banyak
lagi tanda-tanda lain yang tidak bisa disebutkan disini.
G. Kiat-Kiat Menuju Iklas
1. Berdo’a
Yakni memohon pertolongan kepada
Allah serta berlindung kepada Nya dari segala gangguan yang dapat mengotori
keikhlasan. Dialah Yang Maha memberikan pertolongan dan Dzat tempat berlindung
dari segala sesuatu.
2. Ilmu
Yaitu dengan mengetahui pentingnya
keikhlasan, mengetahui strategi dan perangkap syetan serta bagaimana kerjanya
di dalam jiwa. Juga mengetahui, bahwa keikhlasan merupakan perintah atau urusan
yang sangat ditekankan, baik di dalam al-Qur'an muapun as-Sunnah.
3. Mujahadah
Yaitu berjuang atau berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk meraih keikhlasan tersebut, karena orang yang berjuang
dengan sungguh-sungguh akan diberi jalan kemudahan oleh Allah, sebagaimana
firman Nya, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS.
29:69)
4. Berteman dengan Para Mukhlishin
Sebab berteman dengan orang yang
mukhlish akan menularkan sifat cinta keikhlasan, sehingga mendorong kita
beramal berlandaskan keikhlasan tersebut. Serta dengan cara ini kita dapat
melihat, bagaimana mereka berjuang dan bersungguh-sungguh untuk merealisasikan
ikhlash di dalam beramal, ini sangatlah penting dan memberikan manfaat yang
besar.
5. Meneladani Kehidupan Para Salaf dan
Shalihin
Ini merupakan faktor yang sangat
penting untuk diperhatikan, karena dengan membaca perikehidupan me-reka,
petuah-petuah dan mujahadah mereka akan sangat membantu kita dalam meraih
keikhlasan -setelah taufik dari Allah- tentunya.
Demikian sekelumit pembicaraan
tentang ikhlas, semoga Allah Subhannahu wa Ta'ala memberikan pertolongan kepada
kita dan memasukkan kita ke dalam hamba-hambanya yang mukhlish, yang dapat
memurnikan niat dalam ibadah dan amal semata-mata karena mencari ridha-Nya,
amin ya Rabbal 'alamin.
Sumber: “Al Ibadah al Qalbiyah wa
Atsaruha fi Hayatil Mu'minin”, edisi Indonesia "Manajemen Hati" Dr.
Muhammad bin Hasan Asy Syarif, Pustaka Darul Haq Jakarta(hal 56-61) dengan
sedikit penambahan dan penyesuaian bahasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar