Selasa, 06 Maret 2012

Awalnya Rasa


Benih Itu Semakin Jelas

Di halaman yang luasnya kira-kira 20x8m persegi  4, terlihat Pariz sedang asyik bermain bersama Shodiq. Di kejauhan sana tengah berjalan seorang wanita dan itu adalah Vivi sedang menuju halaman itu, yang kebetulan halaman tempat mereka bermain tersebut adalan jalan yang sering dilewati oleh orang yang ingin keluar dari gerbang yang berada disamping halaman itu. Hanya dalam hitungan beberapa menit saja, sampailah langkah kaki Vivi di pinggir halaman sebelah timurnya. Karena senangnya Shodiq bermain ditemani Pariz, sampai-sampai Pariz pun tak menyadari derap langkah seseorang yang tengah menghampiri tempatnya bermain. Setelah langkah Vivi sampai di pojok halaman sebelah barat, yang berarti Vivi sudah berada di mulut gerbang, tiba-tiba mulut Vivi berucap “Apa ibu kota Prancis?”. Entah dalam keadaan sadar atau tidak, pertanyaan yang keluar dari mulut Vivi membuat tangan Pariz yang sedang memgang sebutir kelereng terhenti, sambil menoleh ke arah suara yang di dengarnya yaitu suara yang tidak asing lagi baginya dan juga suara yang selalu ingin di dengarnya untuk berbincang-bincang bersamanya. Pariz merasa bahwa pertanyaan itu adalah untuknya, sambil berfikir dan belum sempat menjawab pertanyaan itu, Vivi sudah berada di luar gerbang sejenak kemudian tubuhnya tidak kelihatan lagi. Di dalam hati Pariz berniat untuk mengejar Vivi, namun ia kembali mengurungkan niatnya karena ia khawatir jangan-jangan pertanyaan tadi bukanlah benar-benar untuknya.
“Ayo kita masuk dek” ucap Pariz sambil mengangkat Shodiq dengan kedua tangannya dan menggendong Shodiq dengan tangan kanannya, lalu memungut beberapa butir kelereng yang berserakan dengan tangan kirinya dalam posisi agak menjongkok. Sejenak kemudian Pariz masuk kedalam ruangan dimana kedua orang tua Shodiq tinggal. Ayah Shodiq adalah salah seorang guru pengajar di pondok itu, Ustadz Rasyid adalah nama ayah Shodiq, sedangkan ibunya bernama Ummi Rasni. Mereka di karuniai 3 orang anak,  Shodiq adalah anak yang ke tiga yang baru berusia 3 tahun. Anak mereka yang paling tua bernama Asyraf berusia 6 tahun, sementara anak mereka yang ke dua bernama Zahra, usianya belum sampai 5 tahun. Memang kedua orang tua Shodiq tinggal dibangunan itu. sebuah bangunan yang ukurannya sangat besar untuk ukuran sebuah rumah. Itulah asrama para santri yang mempunya empat kamar yang kira-kira ukuran satu kamar 8x15m persegi empat yang di huni oleh 20 orang santri untuk satu kamar. Kamar bagian depan pojok sebelah barat adalah tempat kedua orang tua Shodiq tinggal, yang kebetulan juga merupakan salah seorang tenaga pengajar di pondok itu. sementara Pariz dan 19 orang temannya tinggal di kamar bagian depan pojok sebelah timurnyanya, tepatnya berhadapan dengan ruangan orang tua Shodiq. Setelah mengantarkan Shodiq ke ruangan ayah bundanya, Pariz  masuk kedalam ruangan tempat tinggalnya. Masih terngiang di telinga Pariz pertanyaan yang tadi di lontarkan oleh Vivi yang belum sempat ia jawab. Dengan suasana hati yang penuh tanda tanya dan rasa penasaran akan pertanyaan itu. Pariz menjangkau handuknya dan melingkari handuk tersebut di lehernya, lalu mengambil peralatan mandi, kemudian melangkah menuju kamar mandi sementara jam menunjukkan pukul 17.00WIB. Pariz sengaja mandi lebih awal agar tidak terlalu antre dan berdesak-desakkan dengan para santri lainnya. Karena air di pondok pesanteren tempat mereka mondok agak susah tambah lagi persediaan kamar mandi yang terbatas. Beberapa saat kemudian “driiiiit” terdengar suara deritan pintu sedang terbuka yang berarti Pariz sudah selesai mandi. Terlihatlah tubuh Pariz yang masih basah kaluar dari kamar mandi. Tubuhnya terlihat bersih rambutnya yang basah membuat Pariz terlihat lebih bersih, yang kebetulan warna kulitnya pun kuning bersih. Pariz menutupi badannya bagian depan dengan beberapa helai kain yang tadi ia pakai sebelum mandi. “Bruuuukh” dengan suara agak menggigil seperti orang yang tengah kedinginan, Pariz terlihat agak tergesah-gesah menuju tempat tidurnya, seolah-olah ia tidak ingin tubuhnya dilihat orang.
Diwaktu yang sama, Vivi juga baru selesai mandi sore di rumahnya yang kebetulan letaknya tidak begitu jauh dari komplek pondok tempat ia sekolah, hanya menghabiskan waktu kira-kira 5 menit berjalan kaki. Jadi ia memilih tinggal di rumahnya dan tidak tinggal di asrama santriwati. Sedari tadi Vivi tidak habis fikir tentang apa yang ia ucapkan sewaktu ia berpas-pasan dengan Pariz tadi. Mulutnya secara reflex melontarkan pertanyaan, yang sebenarnya ia kaku dan tak tau harus berbuat apa ketika itu. Padahal ketika itu Pariz tidak menyadari kedatangannya. Perasaannya aneh ketika itu dan perasaan itu selalu ia rasakan ketika melihat Pariz. Ia bersiap-siap untuk pergi ke masjid yang berada di komplek ponpes untuk menunaikan shalat Magrib dan Isya, dan ia juga punya kegiatan malam di pondok (mengulang pelajaran). “Ma! Vivi pergi dulu ya”. Ucap Vivi yang berada di teras rumahnya sembari memasang sandal dan menoleh ke dalam rumahnya dengan suara setengah berteriak. “Ya…!” terdengar sayup suara seorang perempuan dari dalam rumah yang tak lain itu adalah suara ibunya Vivi. Lalu Vivi menyalami ayahnya yang duduk di sofa teras. Sambil mencium tangan sang ayah, Vivi pamitan “Pa, Vivi pergi dulu”. Dengan sebuah senyuman hangat, ayah Vivi menjawab “ Ya…, hati-hati ya…!” dengan suara yang penuh kasih sayang. “Setelah selesai belajar, langsung pulang ya…!” tambahnya, seolah-olah ia sudah mengetahui kegiatan Vivi di ponpes seban malam. Vivi hanya mengangguk. Pelan-pelan ia melangkah menuju gerbang ponpes. Perasaannya tak menentu karena teringat Pariz dan pertanyaannya tadi sore. Dalam hatinya ia berharap untuk tidak bertemu dengan Pariz malam ini.
Azan Magrib berkumandang. Seperti biasanya, santri dan santriwati berbondong-bondong menuju masjid untuk menunaikan shalat berjamaah. Vivi yang sudah memasuki gerbang ponpes agak mempercepat langkahnya agar dapat berjamaah dari taharrum. Matanya mengawasi setiap orang yang di lihatnya, ia takut kalau nanti ia berpas-pasan lagi dengan Pariz. Sebaliknya Pariz sengaja keluar dari asrama agak belakangan dengan harapan ia dapat bertemu lagi dengan Vivi. Sampai iqamah pun sudah dikumandangkan oleh muezzin dan akhirnya kedua insan tersebut tidak saling bertemu, sampai shalat Magrib berjamaah selesai di laksanakan.
Seperti biasa setelah Magrib bersama, para santri dan santriwati sibuk dengan urusan pribadi menjelang Isya’. Ada yang mengisi waktunya dengan menyelesaikan makan malam, agar setelah Isya nanti tidak ada lagi kegiatan untuk mengisi perut, karena ba’da Isya mereka akan disibukkan oleh kegiatan malam di pondok. Lain halnya dengan Pariz, ia sudah terbiasa makan malam setelah semua kegiatan malam selesai. Ia hanya menghabiskan waktunya menjelang Isya dengan membaca Al-Qur’an di masjid. Vivi yang sudah selesai melaksanakan ibadah-ibadah sunat ba’da Magrib buru-buru pergi meninggalkan masjid, dan langsung pergi menuju ruangan Ustadz Rasyid yang satu atap dengan asrama santri. Yang ia temui di sana adalah ibunya yang kebetulan ada keperluan menemui istri Ustadz Rasyid yaitu ummi Rasni. Ia pikir dari pada sendiri di dalam di masjid, lebih baik ia menemani ibunya disana. Dalam hati ia berharap Pariz tidak mengikutinya ke asrama, karena ia masih merasa agak malu tentang pertanyaan yang ia lontarkan secara reflek kepada Pariz tadi sore. Akan tetapi hal itu tidak dapat ia cegah, ternyata dalam diam Pariz mengikutinya dari belakang tanpa sepengetahuan Vivi. Dan Pariz memilih jalan pintas menuju asrama dengan tujuan agar ia lebih dahulu masuk asrama dari pada Vivi. Asrama yang bentuknya persegi empat mempunyai empat ruangan, ruangan tengahnya terbentang sepanjang asrama dari pintu depan sampai ke pintu belakang. Pariz yang memang sampai ke asrama lebuh dulu dari pada Vivi masuk melalui pintu belakang asrama. Dan ia sengaja menunggu Vivi di gerbang pintu depan, ia bertingkah seolah-olah tidak terjadi apa-apa, dan tanpa tujuan apa-apa.  Di ruangan tamu asrama tersedia kursi panjang tempat duduk, Pariz pun segera duduk di kursi tersebut, sambil menunggu Vivi yang sudah hampir sampai di gerbang luar pintu depan asrama. Vivi tidak menyangka akan hal itu. Sesampainya disana Vivi pun terkejut, dan tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak berani menatap wajah Pariz, ia ingin cepat-cepat masuk tapi seolah-olah langkahnya terhenti karena di depannya ada seorang pria yang selalu membuatnya gugup dan salah tingkah. Tanpa ia sadari ternyata Pariz sudah berdiri dihadapannya. Sesaat suasana hening tanpa suara, yang terdengar hanya bunyi jengkrik dan cacing tanah yang memecah keheningan senja merobek selaput gendang telinga. Di dalam ruangan di belakang Pariz sebelah kiri, tengah berbincang-bincang ibunya Vivi bersama ummi Rasni. Sementara dua insan yang selalu merasakan perasaan aneh di saat mereka bertemu itu pun masih terdiam dan terpaku bagaikan patung.
Cinta adalah sebuah misteri yang membawa getaran-getaran aneh
Disetiap denyut nadi sang pencinta…
Dikala cinta sudah menyapa, maka gemuruh ombak pun bagaikan
Nyanyian Senja…
Kini ia datang merasuki dua hati insan yang sedang bertatap muka…
Mendamba mimpi jadi nyata, tuk miliki sang kekasih dunia yang
Sementara, sang pencinta akhirat yang kekal selamanya…
“Aku tidak bermaksud untuk membuatmu tidak nyaman dengan kondisi seperti ini” ucap Pariz untuk memecah keheningan antara mereka. Semetra Vivi yang berdiri kira-kira 1,5m dihadapannya masih diam dan tertunduk tak menjawab sepatah kata pun ucapan Pariz. Kepalanya tetap tertunduk bagaikan bunga putri malu yang kuncup ketika tersentuh oleh manusia. “aku hanya penasaran dengan pertanyaan yang kamu lontarkan tadi” tambah Pariz. “ada apa dengan paris?” tambahnya lagi. Sementara Vivi masih dengan posisinya semula, ia merasa sangat aneh. Itu terlihat dari jari-jarinya, ia menyelip-nyelipkan kuku telunjuknya yang kanan kebawah kuku jepolnya yang kiri, dengan posisi tangan kiri telungkup dan tangan kanan telentang. Ia berniat untuk tidak berkata sepatah kata pun ketika itu. Pariz menjadi salah tingkah dengan situasi seperti itu. Akhirnya ia pun memberikan ruang jalan untuk Vivi masuk keruangan Ustadz Rasyid. Di dapatinya di dalam sana ibunya yang tengah Asyik berbincang-bincang bersama Ummi Rasni. Vivi tak dapat menangkap apa yang mereka bincangkan karena masih terbawa oleh situasi yang ia alami beberapa menit yang lalu. Sesekali ia menoleh ke arah pintu, ia melihat Pariz sedang duduk di kursi ruang tamu tersebut dengan posisi membelakanginya. Ia tidak tahu apa yang sedang di fikirkan oleh Pariz. Vivi merasa bersalah oleh tindakannya sendiri. Akhirnya ia keluar lagi. Setelah berdiri beberapa saat di belakang Pariz, “Maafkan jika aku telah membuatmu penasaran”. Ujarnya dengan suara agak pelan. Pariz pun menoleh ke arahnya. “Tahukah engkau, paris itu kota apa?”. Tanyanya. Pariz menggelengkan kepala seolah-olah memberi isyarat bahwa ia tidak tahu. Namun di dalam hati ia bisa mengira apa maksud dari pertanyaan Vivi barusan. Pariz tahu tentang perasaan Vivi dengan kota itu, memang kota paris adalah kota terindah, dan impian setiap orang termasuk dirinya. Sesaat ia menatap wajah ayu Vivi dari jauh. “Paris adalah kota wisata yang indah” ucap Vivi setelah sempat terdiam beberapa menit. “Pernahkah engkau berpimpi tentangnya?” Tanya Pariz. Vivi hanya mengangguk. Sementara matanya tetap menatap wajah Pariz secara dalam, seakan-akan ia ingin Pariz meresapi apa yang dirasakannya. Rasa yang Vivi rasakan itu seakan-akan memberontak untuk di ungkapkan. Namun Vivi berusaha untuk mencegahnya, laksana panglima kerajaan yang sedang berusaha mencegah pemberontakan para rakyat terhadap raja mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar