Benih Itu Semakin Jelas
Di halaman yang luasnya
kira-kira 20x8m persegi 4, terlihat
Pariz sedang asyik bermain bersama Shodiq. Di kejauhan sana tengah berjalan
seorang wanita dan itu adalah Vivi sedang menuju halaman itu, yang kebetulan halaman tempat mereka bermain tersebut adalan jalan yang
sering dilewati oleh orang yang ingin keluar dari gerbang yang berada disamping
halaman itu. Hanya dalam hitungan beberapa menit saja, sampailah langkah kaki Vivi
di pinggir halaman sebelah timurnya. Karena senangnya Shodiq bermain ditemani
Pariz, sampai-sampai Pariz pun tak menyadari derap langkah seseorang yang
tengah menghampiri tempatnya bermain. Setelah langkah Vivi sampai di pojok
halaman sebelah barat, yang berarti Vivi sudah berada di mulut gerbang,
tiba-tiba mulut Vivi berucap “Apa ibu kota Prancis?”. Entah dalam keadaan sadar
atau tidak, pertanyaan yang keluar dari mulut Vivi membuat tangan Pariz yang
sedang memgang sebutir kelereng terhenti, sambil menoleh ke arah suara yang di
dengarnya yaitu suara yang tidak asing lagi baginya dan juga suara yang selalu
ingin di dengarnya untuk berbincang-bincang bersamanya. Pariz merasa bahwa
pertanyaan itu adalah untuknya, sambil berfikir dan belum sempat menjawab
pertanyaan itu, Vivi sudah berada di luar gerbang sejenak kemudian tubuhnya
tidak kelihatan lagi. Di dalam hati Pariz berniat untuk mengejar Vivi, namun ia
kembali mengurungkan niatnya karena ia khawatir jangan-jangan pertanyaan tadi
bukanlah benar-benar untuknya.
“Ayo kita masuk dek” ucap
Pariz sambil mengangkat Shodiq dengan kedua tangannya dan menggendong Shodiq
dengan tangan kanannya, lalu memungut beberapa butir kelereng yang berserakan
dengan tangan kirinya dalam posisi agak menjongkok. Sejenak kemudian Pariz
masuk kedalam ruangan dimana kedua orang tua Shodiq tinggal. Ayah
Shodiq adalah salah seorang guru pengajar di pondok itu, Ustadz Rasyid adalah
nama ayah Shodiq, sedangkan ibunya bernama Ummi Rasni. Mereka di karuniai 3 orang anak,
Shodiq adalah anak yang ke tiga yang baru berusia 3 tahun. Anak mereka yang paling tua
bernama Asyraf berusia 6 tahun, sementara anak mereka yang ke dua bernama
Zahra, usianya belum sampai 5 tahun. Memang kedua orang tua Shodiq tinggal
dibangunan itu. sebuah bangunan yang ukurannya sangat besar untuk ukuran sebuah
rumah. Itulah asrama
para santri yang mempunya empat kamar yang kira-kira ukuran satu kamar 8x15m
persegi empat yang di huni oleh 20 orang santri untuk satu kamar. Kamar bagian
depan pojok sebelah barat adalah tempat kedua orang tua Shodiq tinggal, yang kebetulan
juga merupakan salah seorang tenaga pengajar di pondok itu. sementara Pariz dan
19 orang temannya tinggal di kamar bagian depan pojok sebelah timurnyanya,
tepatnya berhadapan dengan ruangan orang tua Shodiq. Setelah mengantarkan
Shodiq ke ruangan ayah bundanya, Pariz
masuk kedalam ruangan tempat tinggalnya. Masih terngiang di telinga
Pariz pertanyaan yang tadi di lontarkan oleh Vivi yang belum sempat ia jawab.
Dengan suasana hati yang penuh tanda tanya dan rasa penasaran akan pertanyaan
itu. Pariz menjangkau handuknya dan melingkari handuk tersebut di lehernya,
lalu mengambil peralatan mandi, kemudian melangkah menuju kamar mandi sementara
jam menunjukkan pukul 17.00WIB. Pariz sengaja mandi lebih awal agar tidak
terlalu antre dan berdesak-desakkan dengan para santri lainnya. Karena air di
pondok pesanteren tempat mereka mondok agak susah tambah lagi persediaan kamar
mandi yang terbatas. Beberapa saat kemudian “driiiiit” terdengar suara deritan
pintu sedang terbuka yang berarti Pariz sudah selesai mandi. Terlihatlah tubuh
Pariz yang masih basah kaluar dari kamar mandi. Tubuhnya terlihat bersih
rambutnya yang basah membuat Pariz terlihat lebih bersih, yang kebetulan warna
kulitnya pun kuning bersih. Pariz menutupi badannya bagian depan dengan
beberapa helai kain yang tadi ia pakai sebelum mandi. “Bruuuukh” dengan suara
agak menggigil seperti orang yang tengah kedinginan, Pariz terlihat agak
tergesah-gesah menuju tempat tidurnya, seolah-olah ia tidak ingin tubuhnya
dilihat orang.
Diwaktu yang sama, Vivi
juga baru selesai mandi sore di rumahnya yang kebetulan letaknya tidak begitu
jauh dari komplek pondok tempat ia sekolah, hanya menghabiskan waktu kira-kira
5 menit berjalan kaki. Jadi ia memilih tinggal di rumahnya dan tidak tinggal di
asrama santriwati. Sedari tadi Vivi tidak habis fikir tentang apa yang ia
ucapkan sewaktu ia berpas-pasan dengan Pariz tadi. Mulutnya secara reflex
melontarkan pertanyaan, yang sebenarnya ia kaku dan tak tau harus berbuat apa
ketika itu. Padahal ketika itu Pariz tidak menyadari kedatangannya. Perasaannya
aneh ketika itu dan perasaan itu selalu ia rasakan ketika melihat Pariz. Ia
bersiap-siap untuk pergi ke masjid yang berada di komplek ponpes untuk
menunaikan shalat Magrib dan Isya, dan ia juga punya kegiatan malam di pondok
(mengulang pelajaran). “Ma! Vivi pergi dulu ya”. Ucap Vivi yang berada di teras
rumahnya sembari memasang sandal dan menoleh ke dalam rumahnya dengan suara
setengah berteriak. “Ya…!” terdengar sayup suara seorang perempuan dari dalam
rumah yang tak lain itu adalah suara ibunya Vivi. Lalu Vivi menyalami ayahnya
yang duduk di sofa teras. Sambil mencium tangan sang ayah, Vivi pamitan “Pa,
Vivi pergi dulu”. Dengan sebuah senyuman hangat, ayah Vivi menjawab “ Ya…,
hati-hati ya…!” dengan suara yang penuh kasih sayang. “Setelah selesai belajar,
langsung pulang ya…!” tambahnya, seolah-olah ia sudah mengetahui kegiatan Vivi
di ponpes seban malam. Vivi hanya mengangguk. Pelan-pelan ia melangkah menuju
gerbang ponpes. Perasaannya tak menentu karena teringat Pariz dan pertanyaannya
tadi sore. Dalam hatinya ia berharap untuk tidak bertemu dengan Pariz malam
ini.
Azan Magrib berkumandang.
Seperti biasanya, santri dan santriwati berbondong-bondong menuju masjid untuk
menunaikan shalat berjamaah. Vivi yang sudah memasuki gerbang ponpes agak
mempercepat langkahnya agar dapat berjamaah dari taharrum. Matanya mengawasi
setiap orang yang di lihatnya, ia takut kalau nanti ia berpas-pasan lagi dengan
Pariz. Sebaliknya Pariz sengaja keluar dari asrama agak belakangan dengan
harapan ia dapat bertemu lagi dengan Vivi. Sampai iqamah pun sudah
dikumandangkan oleh muezzin dan akhirnya kedua insan tersebut tidak saling
bertemu, sampai shalat Magrib berjamaah selesai di laksanakan.
Seperti biasa setelah Magrib bersama, para santri dan santriwati sibuk
dengan urusan pribadi menjelang Isya’. Ada yang mengisi waktunya dengan
menyelesaikan makan malam, agar setelah Isya nanti tidak ada lagi kegiatan
untuk mengisi perut, karena ba’da Isya mereka akan disibukkan oleh kegiatan
malam di pondok. Lain halnya dengan Pariz, ia sudah terbiasa makan malam
setelah semua kegiatan malam selesai. Ia hanya menghabiskan waktunya menjelang Isya
dengan membaca Al-Qur’an di masjid. Vivi yang sudah selesai melaksanakan ibadah-ibadah
sunat ba’da Magrib buru-buru pergi meninggalkan masjid, dan langsung pergi
menuju ruangan Ustadz Rasyid yang satu atap dengan asrama santri. Yang ia temui
di sana adalah ibunya yang kebetulan ada keperluan menemui istri Ustadz Rasyid
yaitu ummi Rasni. Ia pikir dari pada sendiri di dalam di masjid, lebih baik ia
menemani ibunya disana. Dalam hati ia berharap Pariz tidak mengikutinya ke
asrama, karena ia masih merasa agak malu tentang pertanyaan yang ia lontarkan
secara reflek kepada Pariz tadi sore. Akan tetapi hal itu tidak dapat ia cegah,
ternyata dalam diam Pariz mengikutinya dari belakang tanpa sepengetahuan Vivi.
Dan Pariz memilih jalan pintas menuju asrama dengan tujuan agar ia lebih dahulu
masuk asrama dari pada Vivi. Asrama yang bentuknya persegi empat mempunyai
empat ruangan, ruangan tengahnya terbentang sepanjang asrama dari pintu depan
sampai ke pintu belakang. Pariz yang memang sampai ke asrama lebuh dulu dari
pada Vivi masuk melalui pintu belakang asrama. Dan ia sengaja menunggu Vivi di
gerbang pintu depan, ia bertingkah seolah-olah tidak terjadi apa-apa, dan tanpa
tujuan apa-apa. Di ruangan tamu asrama
tersedia kursi panjang tempat duduk, Pariz pun segera duduk di kursi tersebut,
sambil menunggu Vivi yang sudah hampir sampai di gerbang luar pintu depan
asrama. Vivi tidak menyangka akan hal itu. Sesampainya disana Vivi pun
terkejut, dan tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak berani menatap wajah
Pariz, ia ingin cepat-cepat masuk tapi seolah-olah langkahnya terhenti karena
di depannya ada seorang pria yang selalu membuatnya gugup dan salah tingkah.
Tanpa ia sadari ternyata Pariz sudah berdiri dihadapannya. Sesaat suasana
hening tanpa suara, yang terdengar hanya bunyi jengkrik dan cacing tanah yang
memecah keheningan senja merobek selaput gendang telinga. Di dalam ruangan di belakang Pariz
sebelah kiri, tengah
berbincang-bincang ibunya Vivi bersama ummi Rasni. Sementara dua insan yang selalu
merasakan perasaan aneh di saat mereka bertemu itu pun masih terdiam dan
terpaku bagaikan patung.
Cinta adalah sebuah
misteri yang membawa getaran-getaran aneh
Disetiap denyut nadi
sang pencinta…
Dikala cinta sudah
menyapa, maka gemuruh ombak pun bagaikan
Nyanyian Senja…
Kini ia datang
merasuki dua hati insan yang sedang bertatap muka…
Mendamba mimpi jadi
nyata, tuk miliki sang kekasih dunia yang
Sementara, sang
pencinta akhirat yang kekal selamanya…
“Aku tidak bermaksud untuk membuatmu tidak nyaman dengan kondisi seperti
ini” ucap Pariz untuk memecah keheningan antara mereka. Semetra Vivi yang
berdiri kira-kira 1,5m
dihadapannya masih diam dan tertunduk tak menjawab sepatah kata pun ucapan
Pariz. Kepalanya tetap tertunduk bagaikan bunga putri malu yang kuncup ketika
tersentuh oleh manusia. “aku hanya penasaran dengan pertanyaan yang kamu
lontarkan tadi” tambah Pariz. “ada apa dengan paris?” tambahnya lagi. Sementara
Vivi masih dengan posisinya semula, ia merasa sangat aneh. Itu terlihat dari
jari-jarinya, ia menyelip-nyelipkan kuku telunjuknya yang kanan kebawah kuku
jepolnya yang kiri, dengan posisi tangan kiri telungkup dan tangan kanan
telentang. Ia berniat
untuk tidak berkata sepatah kata pun ketika itu. Pariz menjadi
salah tingkah dengan situasi seperti itu. Akhirnya ia pun memberikan ruang
jalan untuk Vivi masuk keruangan Ustadz Rasyid. Di dapatinya di dalam sana ibunya yang
tengah Asyik berbincang-bincang bersama Ummi Rasni. Vivi tak dapat menangkap apa yang
mereka bincangkan karena masih terbawa oleh situasi yang ia alami beberapa
menit yang lalu. Sesekali ia menoleh ke arah pintu, ia melihat Pariz sedang
duduk di kursi ruang tamu tersebut dengan posisi membelakanginya. Ia tidak tahu
apa yang sedang di fikirkan oleh Pariz. Vivi merasa bersalah oleh tindakannya
sendiri. Akhirnya ia keluar lagi. Setelah berdiri beberapa saat di belakang Pariz, “Maafkan
jika aku telah membuatmu penasaran”. Ujarnya dengan suara agak pelan. Pariz pun
menoleh ke arahnya. “Tahukah engkau, paris itu kota apa?”. Tanyanya. Pariz
menggelengkan kepala seolah-olah memberi isyarat bahwa ia tidak tahu. Namun di dalam
hati ia bisa mengira apa maksud dari pertanyaan Vivi barusan. Pariz tahu tentang perasaan Vivi dengan
kota itu, memang kota
paris adalah kota terindah, dan impian setiap orang termasuk dirinya. Sesaat ia
menatap wajah ayu Vivi dari jauh. “Paris adalah kota wisata yang indah” ucap Vivi
setelah sempat terdiam beberapa menit. “Pernahkah engkau berpimpi tentangnya?” Tanya Pariz. Vivi
hanya mengangguk. Sementara matanya tetap menatap wajah Pariz secara dalam, seakan-akan
ia ingin Pariz meresapi apa yang dirasakannya. Rasa yang Vivi rasakan itu seakan-akan
memberontak untuk di ungkapkan. Namun Vivi berusaha untuk mencegahnya, laksana
panglima kerajaan yang sedang berusaha mencegah pemberontakan para rakyat
terhadap raja mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar