Menyikapi Musibah
"Dan
sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar" (QS. 2:155).
"Dan sungguh akan Kami
berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,
jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang
sabar" (QS. 2:155).
Ayat ini berbicara tentang adanya
cobaan yang akan dialami oleh kaum Muslimin, ketika manusia sedang diuji oleh
Allah SWT, seringkali ia merasa seolah-olah ujian yang diterimanya itu sangat
berat. Seolah-olah tidak ada yang lebih berat cobaannya selain yang terjadi
pada dirinya. Untuk menghilangkan persepsi semacam ini, ketika Allah memberika
ujian kepada seorng mukmin, Allah SWT menggunakan lafadz "bisyai-in"
yang artinya sedikit.
Ayat ini berbicara tentang jihad.
Ini artinya Allah sedang berbicara dengan kaum mukminin, karena yang melakukan
jihad adalah orang yang beriman. Lafadz yang dipakai Allah adalah
"bisyai-in min al-khouf..." yang artinya "...dengan sedikit
ketakutan..." Perkataan bisyai'in, dipakai dengan menggunakan naqiroh yang
bertujuan untuk menyedikitkan Jadi pada dasarnya ketika kita seorang mukmin ini
diuji fi thoriiqil iman -dalam jalan keimanan. Allah dalam ayat ini menggunakan
kata bi syai'in. Akan tetapi sebenarnya ketakutan dan kelaparan yang dirasakan
oleh orang muslim tidak berbeda dengan ketakutan dan kelaparan yang dialami
oleh orang kafir. Tetapi kenapa Allah menggunakan lafadz bi syai'in? Ini
dimaksudkan bahwa bagaimanapun besarnya ujian Allah yang diberikan kepada kaum
muslimin, tetapi sangat kecil jika dibandingkan dengan adzab Allah kepada orang
kafir di dunia atau di akhirat. ita dapat memperhatikan firman Allah jika
berbicara kepada orang kafir. Antara lain Allah berfirman, artinya :"Dan Allah telah membuat
suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram,
rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya
mengingkari ni'mat-ni'mat Allah, karena itu Allah merasakan kepada mereka
pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbua"
(QS An-Nahl: 112).
Ayat 112 dari QS An-Nahl ini
berkaitan dengan orang kafir. Ketika berkaitan dengan orang kafir Allah tidak
mengatakan "bisyai-in min al-khouf...", tetapi "libaasa al-juu'I
wa al-khoufi..."
Ketika Allah mengatakan kepada
kaum Muslimin, Allah menggunakan bahasa yang berbeda, dimana Allah menggunakan
kata bi syai'in, untuk menyedikitkan. Inilah bukti bahwa ujian yang diberikan
Allah kepada seorang mukmin itu sebenarnya sangat sedikit.
Kemu'jizatan Al-Qur'an seperti
ini tidak akan dapat kita pahami jika hanya membaca terjemahan Al-Qur'an saja.
Oleh karena itu ada Ulama' yang melarang untuk menerjemahkan Al-Qur'an, karena
dikhawatirkan akan mengurangi kesempurnaan Al-Qur'an itu sendiri. Tetapi ada
pula Ulama' yang mengatakan bahwa menterjemahkan Al-Qur'an ittu boleh, agar
orang yang bukan orang Arab bisa memahami Al-Qur'an walaupun tidak menguasai
bahasa Arab. Sebagai jalan tengah, kita sepakati bahwa untuk sementara kita
boleh menggunakan terjemahan Al-Qur'an untuk membantu memahami Al-Qur'an,
tetapi kita tetap mempunyai kewajiban untuk belajar bahasa Arab agar pemahaman
kita tentang Al-Quran dapat lebih baik dan lebih sempurna.
Allah mengatakan yang artinya "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta benda..." Kenapa Allah menguji seorang mukmin yang berijhad di jalan-Nya dengan kekurangan harta benda? Ini tidak lain adalah karena mereka sebagian besar sibuk dengan jihad di jalan Allah, sibuk dengan dakwah, sibuk dengan Tholabul ‘ilm, sehingga semangatnya dalam mencari harta benda di dunia ini tidak sesemangat orang kafir ketika mencari harta benda.
Allah mengatakan yang artinya "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta benda..." Kenapa Allah menguji seorang mukmin yang berijhad di jalan-Nya dengan kekurangan harta benda? Ini tidak lain adalah karena mereka sebagian besar sibuk dengan jihad di jalan Allah, sibuk dengan dakwah, sibuk dengan Tholabul ‘ilm, sehingga semangatnya dalam mencari harta benda di dunia ini tidak sesemangat orang kafir ketika mencari harta benda.
Ujian Allah yang lain adalah
kekurangan jiwa (kematian). Orang beriman yang sibuk dengan jihad dan jihad,
pasti ada yang meninggal secara syahid di jalan Allah SWT. Dan kematian yang
syahid di jalan Allah ini merupakan ujian bagi setiap orang beriman. Bapaknya
meninggal, suaminya meninggal, dan mungkin anaknya juga meninggal dalam jihad
fi sabilillah. Namun demikian, kata Allah para syuhada' ini tetap hidup di sisi
Allah, walaupun manusia menganggapnya meninggal, seperti yang telah kita bahas
pada ayat 154 sebelumnya.
Ayat 155 yang sedang kita bahas
ini menyatakan bahwa Allah akan menguji orang beriman dengan beberapa hal.
Bukankah sebenarnya Allah mampu memberi pahala kepada orang yang beriman tanpa
harus mengujinya? Tentu saja mampu. Tetapi kenapa harus ada ujian berupa
ketakutan, kelaparan dan sebagainya ? Maksud Allah dengan ujian ini tidak hanya
bernuansa ukhrowi semata, yang menyangkut tentang adanya pahala yang diberikan
kepada orang yang beriman kepada Allah SWT. Selain berdimensi ukhrowi, ayat ini
juga mempunyai dimensi duniawi.
Umat Islam adalah ummat yang
beraqidah. Dan Aqidah Islam itu adalah sesuatu yang sangat mahal harganya. Dan
Aqidah Islam ini merupakan dagangan Allah SWT. Rasulullah mengatakan yang
artinya, "Ketahuilah bahwa dagangan Allah itu mahal, ketahuilah bahwa
dagangan Allah itu adalah surga".. Sudah barang tentu dagangan Allah yang
mahal itu harus dibeli dengan suatu pengorbanan yang setimpal dengan harga
aqidah Islam itu. Allah tidak mau aqidah yang sangat mahal itu dibeli oleh
orang yang kualitasnya murahan, dengan tenaga yang murahan. Aqidah yang mahal
ini hanya bisa diperoleh dan diperjuangkan oleh orang-orang yang mempunyai
nilai yang mahal juga.
Orang-orang yang berintima'-
berafiliasi dengan aqidah yang mahal ini ketika pergi berjuang untuk membela
aqidahnya, siap untuk mengorbankan harta benda dan jiwanya, serta siap untuk
lapar dan takut. Seorang mukmin yang mampu untuk mengorbankan segalanya dalam
membela Islam menunjukkan bahwa aqidahnya sudah benar. Kemampuan untuk
berkorban ini merupakan manfaat yang dirasakan oleh seorang mukmin. Ini adalah
faedah secara dakhiliyah, secara internal. Apa dampaknya bagi orang luar, bagi
orang-orang yang non muslim, yang sekaligus adalah nilai-nilai dakwah ? Yang
dapat dilihat dan dirasakan oleh orang-orang non muslim adalah bahwa seorang
mukmin yang mempunyai aqidah Islamiyah yang baik itu mau untuk mengorbankan
dirinya, harta bendanya dan apa saja yang dipunyainya untuk membela aqidahnya.
Ini akan membuat orang-orang di luar Islam itu merasakan kebenaran Islam.
Setelah mengetahui kebenaran Islam ini, InsyaAllah mereka akan akan
berbondong-bondong untuk masuk Islam, sesuai dengan firman Allah, yang artinya :"Dan kamu lihat manusia
masuk agama Allah dengan berbondong-bondong" (QS An-Nash: 2).
Sebaliknya, ketika ada orang yang
tidak mau memperjuangkan aqidahnya, berarti dia adalah orang murahan. Dan
kumpulan dari yang seperti ini akan membentuk ummat yang murahan pula. Ini
menyebabkan orang enggan untuk melirik Islam. , dalam dunia bisnis juga terjadi
yang seperti ini. Semakin sesuatu itu mempunyai harga jual yang mahal, akan
semakin membuat orang penasaran untuk mengetahui lebih jauh tentangnya. Sebagai
contoh, beberapa waktu yang lalu ada orang yang mau memasukakan anaknya ke
SMPIT kita ini. Sebelum memasukkan anaknya itu, dia bertanya tentang berapa
yang harus dibayarnya untuk maksudnya itu. Ketika dijawab bahwa uang pangkalnya
"hanya" tujuh ratus ribu rupiah, dia malah tidak mau. Maunya yang
tiga juta rupiah. Orang seperti ini mempunyai anggapan bahwa seolah-olah kalau
yang murah itu murahan. Dan ini metpakan tabiat manusia (thobi'atul insan)
untuk menyukai yang mahal. Akan tetapi tentu saja asal yang mahal itu adalah
sesuatu yang benar. Makanya ketika Allah menyuruh ummat Islam untuk
memperjuangkan aqidahnya dengan jiwanya, dengan harta bendanya, dengan
waktunya, dengan ilmunya, dan lainnya, orang akan lihat. Mereka akan
menyimpulkan bahwa tidak mungkin ummat Islam itu mau mengorbankan hal-hal yang
mahal itu kecuali kalau aqidahnya benar. Pasti itu aqidahnya benar. Jadi inilah
hikmah dari Allah SWT menurunkan ibtila' (ujian-ujian) kepada orang-orang yang
berjuang di jalanNya. Ujian dari Allah baik yang berupa harta benda, jiwa dan
lainnya bukan untuk menyiksa hambanya. Na'udzubillah, Allah tidak akan menyiksa
hambanya, tetapi untuk mendidik dan membina hambanya.
Demikian berharganya Aqidah
Islamiyah ini. Oleh karena itu kita harus membekali diri kita dengan aqidah
ini. Makanya orang-orang yang diutus oleh Allah SWT untuk membawa aqidah ini
bukanlah orang-orang sembarangan. Para Nabi dan para Rasul yang membawa aqidah
ini adalah manusia-manusia pilihan. Allah menegaskan ini antara lain pada
firmanNya, artinya :"Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat
dijadikan teladan lagi patuh kepa-da Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah
dia termasuk orang-orang yang memperseku-tukan (Rabb) (lagi) yang mensyukuri
ni'mat-ni'mat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang
lurus" (QS An-Nahl:120-121).
QS An-Nahl di atas menegaskan
tentang Nabi Ibrahim sebagai manusia pilihan. Jadi ketika Allah memilih para
Nabi dan Rasul itu bukan asal-asalan. Begitu pula ketika Allah memilih pewaris
para Nabi yaitu para Ulama', orang-orang yang sholeh, orang-orang yang shidiq,
dan para mujahid di jalan Allah, ini tidak kebetulan. Tetapi Allah memilih dan
memilih diantara manusia yang layak pakai untuk dakwah, bukan malah memberatkan
jalan dakwah. Makanya hatinya diuji oleh Allah agar bisa mencapai derajat
muttaqin, sehingga ia stabil di jalan Allah. Dalam QS Al-Hujurat menyatakan, artinya :"Sesungguhnya orang-orang yang
merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah
diuji hati mereka oleh Allah untuk bertaqwa. Bagi mereka ampunan dan pahala
yang besar". (QS Al-Hujurat: 3).
Maksud ujian Allah itu agar
setelah diuji kelihatan mana yang layak untuk berdakwah dan berjihad di jalan
Allah dan mana yang tidak. Oleh karena itu ketika kita mendapat hidayah dari
Allah dengan menjadi seorang Da'i, itu pada dasarnya adalah penghargaan dari Allah.
Karena penghargaan kita tidak merasa kelelahan, pusing, dan jauh dari segala
keluh kesah karena pekerjaan yang dilakukannya ini mulia. Memang dalam
perjalanan dakwah ada rintangan, ada ujian, tetapi itulah seninya dakwah.
Selanjutnya Allah mengatakan
ÅÍjIBv»A jrIË (dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar).
Ujian-ujian itu berakhir dengan berita gembira. Dan ibtila' yang diberikan
Allah tersebut pasti sesuai dengan standar keimanan kita kepadaNya.
Ibtila' yang diberikan Allah kepada
para hambanya di muka bumi ini, ada empat kategori, yaitu, pertama, ibtila'
merupakan Al-Waqi'ul Insani (realita manusia), dimana setiap manusia pastikan
diuji. Kita sebagai manusia jangan sampai takut diuji, karena ujian itu pasti
akan kita alami.
Kedua, ibtila' merupakan
Al-waqi'ul Imani (realita keimanan), Kalau seorang manusia biasa saja pasti
akan diuji oleh Allah, apalagi sebagai seorang mukmin. Pada sadarnya harus ada
ujian untuk mengetahui kebenaran keimanan seorang muslim. Kadang-kadang ada orang
yang merasa bahwa keimanannya sudah benar lantaran hidupnya mulus-mulus saja
tanpa pernah mengalami ujian-ujian. Orang yang seperti ini seharusnya justeru
bertanya tentang kebenaran imannya, kok hidupnya santai dan mulus-mulus saja.
Hal ini karena Allah menyatakan, artinya :"Apakah manusia itu mengira
bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman",
sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang
sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan
sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS Al-Ankabut: 2-3).
Ketiga, ibtila' merupakan Al-waqi
Ad-Da'awiy (realita dakwah). Sebenarnya secara otomatis kalau seorang mukmin
adalah seorang da'i. Jadi kalau seorang mukmin saja pasti diuji, apalagi
seorang Da'i, yang tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, tetapi juga
memikirkan ummat.
Keempat, ibtila' merupakan
Al-Mi'yar Al-Imani (standarisasi keimanan). Ini artinya semakin tinggi tingkat
keimanan seseorang, akan semakin tinggi ujiannya. Dan semakin tinggi ujian
Allah dan semakin lulus, maka semakin tinggi pula keimanannya. Rasulullah Saw.
dalam suatu hadist mengatakan yang artinya "Orang yang berat ujiannya
adalah para Nabi, kemudian orang terbaik setelah Nabi. Apabila seseorang diuji
oleh Allah, maka dia tetap tahan, maka ia ditambah lagi keimanannya". Wallahu
a'lam bishshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar