Jumat, 09 Maret 2012

Menjadi Pelayan Ummat

Menjadi Pelayan Ummat

Kepemimpinan di dalam islam pada hakekatnya adalah berkhidmat atau menjadi pelayan ummat. Kepemimpinan yang asalnya adalah Hak Allah diberikan kepada manusia sebagai Khalifatullah fil ardli, wakil Allah SWT di muka bumi. Jika bukan karena iradahNya, tak ada seorangpun yang mendapatkan amanah kepemimpinan, baik kecil maupun besar. Oleh karena itu setiap amanah kepemimpinan harus dipertanggung-jawabkan di hadapan Allah. Allah memberikan amanah kepada pemimpin untuk (1) mengatur urusan orang yang dipimpinnya (2) mengarahkan perjalanan sekelompok manusia yang dipimpinnya guna mencapai tujuan bersama (3) menjaga dan melindungi kepentingan yang dipimpinnya. Wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepada seorang pemimpin tidaklah ringan di mata Allah. Meskipun seringkali godaan syaitan dengan iming-iming keuntungan dunia telah memalingkan motivasi para pemimpin dari tujuan bersama. Mengapa Allah SWT memberi kepercayaan kepada manusia untuk menjadi pemimpin di atas dunia ini? Dan siapakah para pemimpin sejati yang sesuai dengan tuntunan dari Allah?
Simaklah Firman Allah SWT:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS 2:30)
Khidmat Seorang Da’I Pemimpin Ummat
Ada sebuah ‘jabatan’ yang sangat mulia kedudukannya di mata Allah SWT, yakni menjadi seorang penyeru atau DA’I. Da’i artinya seseorang yang mempunyai aktivitas/pekerjaan tetap sebagai “penyeru/penganjur manusia ke jalan Allah”. Seorang da’i adalah seorang yang sepanjang hidupnya dilewatkan untuk berkhidmat di jalan Allah mengajak manusia menuju Allah, memenuhi panggilanNya : “Fa firruu ilallah....” (bersegeralah menuju Allah QS 51:50). Bukan hanya dirinya yang bersegera menuju Allah, namun para Da’i adalah insan yang mengajak orang banyak berbuat serupa. ‘Siapakah yang lebih baik seruannya daripada mereka yang menyeru ke jalan Allah....’ (QS 41:33).
Para da’i adalah manusia-manusia yang memimpin ummat menuju kepada Rabb Penciptanya. Para da’i adalah orang-orang yang menuntun manusia kepada cahaya Allah, menjadi pelaksana ayat Allah : Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). (2:257). Para da’i menyampaikan hukum-hukum Allah sebagaimana mestinya, menjelaskan kedudukan dan keutamaan hukum-hukum Allah di muka bumi ini, memberi tahu apa saja suruhan dan larangan Allah, ganjaran dosa atau pahala apa yang akan didapatkan seseorang jika ia taat atau maksiyat, menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Para da’i-lah sang pemimpin sekaligus pelayan ummat. Orang-orang yang melakukan tugas kepemimpinan ummat yang disebutkan tadi, pada hakekatnya amal mereka adalah amal pelayanan, amal orang yang berkhidmat. Para da’i adalah sosok-sosok pemimpin tanpa tanda jasa yang kepada mereka seringkali ditanyakan nasib manusia, “apakah tobat saya diterima Allah, ya Ustadz?”, “Apakah yang harus saya lakukan agar hati saya bersih, Pak Kyai?”.
Pada intinya ada beberapa tugas pokok para da’i dalam membimbing ummat:
1.      Mengembalikan keimanan ummat kepada Allah dan Rasul Nya. Mendudukkan kembali konsep “benar” dan “salah” sesuai dengan konsep Ilahi.
(23:71): “Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Qur'an) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.”
(2:185) “...bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).”
Keimanan ummat kepada Allah sudah sedemikian menipis sehingga manusia lebih rela percaya kepada jimat dan tangkal dukun-dukun pembohong daripada menyerahkan diri berpasrah kepada Allah dan shalat di tengah malam. Ummat digiring untuk melokalisasi (baca: melegalisasi) kemaksiatan daripada terus memberantas akarnya sambil hanya bergantung kepada Allah swt. Ummat lebih rela berteriak-teriak menghiba di hadapan musuh memohon”bantuan” hutang yang kian menjerat, dari pada mengharapkan rezki Allah dengan bekerja keras dan berdo’a kepada-Nya. Keadaan ini harus segera diatasi.
2.      Mengembalikan kepercayaan diri ummat akan keunggulan ajaran Islam yang lengkap. Melahirkan reference-oriented society (Qur’anic-based society) dan kembali kepada rujukan aslinya yaitu Al Qur’an dan Sunnah serta menegakkan syari’at Allah.
(3:138-139) “(Al Qur'an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.”
(5:3): “………Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu………”
Para da’i harus mengembalikan kepercayaan dan keimanan ummat kepada Rabbnya dan syari’at yang diturunkan melalui risalah oleh para NabiNya. Dewasa ini penyimpangan syari’at Ilahi oleh ummat telah sedemikian memuncak sampai-sampai seorang yang dianggap ahli agama rela mengalihkan perwalian anak perempuannya kepada laki-laki yang bukan muslim. Masih banyak lagi penyimpangan yang dilakukan ummat ini yang menunjukkan betapa jauhnya ummat dari syari’at Allah. Seorang ulama kontemporer mengibaratkan keadaan ummat dan syaria’t Allah saat ini bagaikan dua orang yang berdiri di dua lembah berbeda di tengah pengunungan terjal. Sulit dipertemukan.
3.      Mewujudkan kembali persaudaraan, cinta dan persatuan ummat yang pada gilirannya menimbulkan semangat kerja sama (networking) di antara berbagai kelompok ummat Islam.
(3:103) “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni'mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni'mat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
Sudah merupakan misi abadi para musuh Allah dan musuh ummat manusia untuk menyebar luaskan permusuhan dan pertumpahan darah di seantero pelosok bumi. Bahkan yang paling pertama menjadi target adalah ummat Islam yang semestinya “bagaikan satu tubuh” ini. Allah telah berjanji kepada syaitan dan sekutu-kutunya untuk memberikan mereka tenggat waktu memecah belah, menyesatkan, menimbulkan pertumpahan darah, memalingkan sebanyak-banyaknya manusia dari jalan Allah, jalan orang-orang yang diridhoi, hingga akhir zaman. Sebanding dengan itu Allah-pun juga memberikan janji kepada orang beriman: Tak akan dapat disesatkan kecuali orang yang zalim, Janganlah bersedih dan janganlah takut, kalian (orang beriman) lebih tinggi derajatnya daripada mereka jika kalian benar-benar beriman. “Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu.”(QS 3:120). Peran para da’i adalah menjadi counter perbuatan syaitan tersebut. Da’i hendaknya menyeru ummat untuk menjalin ukhuwah dengan sesama, menyeru ummat islam menjadi ummatan wasathan (pertengahan/perekat) di antara segenap ummat manusia.
4.      Mampu mengejar ketertinggalan di berbagai bidang kehidupan, bahkan memperoleh kepercayaan Allah untuk memimpin ummat manusia
(35:39): “Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barang-siapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri.Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.”
(3:110) “Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi; dan kepada Allahlah dikembalikan segala urusan. Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
(24:55): “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Alhasil, para da’i bertugas menghimpun potensi ummat agar menjadi kekuatan mumpuni dan kredibel sehingga ummat manusia mengakui bahkan menuntut ummat beriman agar memimpin mereka di muka bumi.
Hal ini tidak akan pernah terwujud sebelum ummat Islam, yang dimulai dengan para pemimpinnya memenuhi lima kredibilitas di dalam realitas kehidupannya, yaitu:
a.       Kredibilitas moral, yaitu kemampuan pengendalian diri, kemampuan menata karakter dan me-manage qalbu, kemampuan mengembalikan semua urusan hanya kepada Allah. Karena hanya dari Allah-lah kekuatan yang sebenarnya.
b.      Kredibilitas intelektual, yaitu kemampuan menguasai permasalahan-permasalahan dunia dan akhirat dalam sebuah kerangka berpikir yang Islami, syamil-kamil-mutakamil (lengkap-sempurna-saling menyempurnakan), dan sanggup menjawab setiap persoalan, setiap pertanyaan dengan jawaban-jawaban yang jernih, tegas dan Rabbani. Tidak larut ke dalam kesesatan-kesesatan berpikir manusia dan tidak terwarnai oleh pemikiran kotor dari nafsu yang rendah.
c.       Kredibilitas operasional, yaitu kemampuan bergerak yang teruji, gesit, tangguh, ajeg (istiqomah) dan meliputi setiap kebutuhan hidup manusia. Sanggup menata diri dan orang lain dengan penataan yang terbaik. Sanggup memberi manfaat optimal kepada segenap alam semesta (rahmatan lil alamin).
d.      Kredibilitas sosial, yaitu kemampuan menata masyarakat dan menerima amanah kepercayaan dari mereka, baik dari kaum muslimin maupun dari luar. Sanggup memahami dan berinteraksi dengan manusia dengan segenap kemajemukan karakter sosialnya sesuai dengan apa yang telah terberi dari Allah.
e.       Yang terakhir adalah kredibilitas politik. Kemampuan menata kewenangan dan kekuasaan manusia dalam tataran sosial yang lebih luas, dan mencakup bidang-bidang kehidupan berkelompok, berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di dunia ini. Jika kredibilitas ini dicapai kita akan lihat betapa seorang Ustadz sanggup mencegah digulirkannya rencana lokalisasi kemaksiyatan di daerahnya hanya dengan ceramah-ceramah di radio, televisi, didengar oleh pemirsa dan ummat, kemudian ditaati, sebagaimana ummat seharusnya memang taat kepada ulama mereka. Kredibilitas politik yang muncul secara spontan ini mengakar ke hati ummat dan menjadikan ulamanya sebagai informal leader terpandang di tengah masyarakat. Kita juga akan melihat bahwa pemimpin ummat yang mencapai kredibilitas ini tidak akan mudah digoyang oleh isu dan intrik, sebab dirinya tegak karena Allah dan kuat karena Allah. Dirinya berdiri dengan nama Allah dan tidak menyalah-gunakan kepercayaan yang diberikan ummat kepadanya. Sosok inilah pelayan sejati ummat.
Wallahua’lam bishshowwaab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar