Menjadi Pelayan Ummat
Kepemimpinan di dalam islam pada hakekatnya
adalah berkhidmat atau menjadi pelayan ummat. Kepemimpinan yang asalnya adalah
Hak Allah diberikan kepada manusia sebagai Khalifatullah fil ardli,
wakil Allah SWT di muka bumi. Jika bukan karena iradahNya, tak ada seorangpun
yang mendapatkan amanah kepemimpinan, baik kecil maupun besar. Oleh karena itu
setiap amanah kepemimpinan harus dipertanggung-jawabkan di hadapan Allah. Allah
memberikan amanah kepada pemimpin untuk (1) mengatur urusan orang yang
dipimpinnya (2) mengarahkan perjalanan sekelompok manusia yang dipimpinnya guna
mencapai tujuan bersama (3) menjaga dan melindungi kepentingan yang
dipimpinnya. Wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepada seorang pemimpin
tidaklah ringan di mata Allah. Meskipun seringkali godaan syaitan dengan
iming-iming keuntungan dunia telah memalingkan motivasi para pemimpin dari
tujuan bersama. Mengapa Allah SWT memberi kepercayaan kepada manusia untuk
menjadi pemimpin di atas dunia ini? Dan siapakah para pemimpin sejati yang
sesuai dengan tuntunan dari Allah?
Simaklah Firman Allah SWT:
Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS
2:30)
Khidmat
Seorang Da’I Pemimpin Ummat
Ada sebuah ‘jabatan’ yang sangat mulia kedudukannya di mata Allah
SWT, yakni menjadi seorang penyeru atau DA’I. Da’i artinya seseorang yang
mempunyai aktivitas/pekerjaan tetap sebagai “penyeru/penganjur manusia ke jalan
Allah”. Seorang da’i adalah seorang yang sepanjang hidupnya dilewatkan untuk
berkhidmat di jalan Allah mengajak manusia menuju Allah, memenuhi panggilanNya
: “Fa firruu ilallah....” (bersegeralah menuju Allah QS 51:50). Bukan hanya
dirinya yang bersegera menuju Allah, namun para Da’i adalah insan yang mengajak
orang banyak berbuat serupa. ‘Siapakah yang lebih baik seruannya daripada
mereka yang menyeru ke jalan Allah....’ (QS 41:33).
Para da’i adalah manusia-manusia yang memimpin ummat menuju kepada
Rabb Penciptanya. Para da’i adalah orang-orang yang menuntun manusia kepada
cahaya Allah, menjadi pelaksana ayat Allah : Allah Pelindung orang-orang yang
beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya
(iman). (2:257). Para da’i menyampaikan hukum-hukum Allah sebagaimana mestinya,
menjelaskan kedudukan dan keutamaan hukum-hukum Allah di muka bumi ini, memberi
tahu apa saja suruhan dan larangan Allah, ganjaran dosa atau pahala apa yang
akan didapatkan seseorang jika ia taat atau maksiyat, menganjurkan kebaikan dan
mencegah kemungkaran. Para da’i-lah sang pemimpin sekaligus pelayan ummat.
Orang-orang yang melakukan tugas kepemimpinan ummat yang disebutkan tadi, pada
hakekatnya amal mereka adalah amal pelayanan, amal orang yang berkhidmat. Para
da’i adalah sosok-sosok pemimpin tanpa tanda jasa yang kepada mereka seringkali
ditanyakan nasib manusia, “apakah tobat saya diterima Allah, ya Ustadz?”,
“Apakah yang harus saya lakukan agar hati saya bersih, Pak Kyai?”.
Pada intinya ada beberapa tugas pokok para da’i
dalam membimbing ummat:
1.
Mengembalikan keimanan ummat kepada Allah dan
Rasul Nya. Mendudukkan kembali konsep “benar” dan “salah” sesuai dengan konsep
Ilahi.
(23:71):
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan
bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan
kepada mereka kebanggaan (Al Qur'an) mereka tetapi mereka berpaling dari
kebanggaan itu.”
(2:185)
“...bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk
bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan yang bathil).”
Keimanan
ummat kepada Allah sudah sedemikian menipis sehingga manusia lebih rela percaya
kepada jimat dan tangkal dukun-dukun pembohong daripada menyerahkan diri
berpasrah kepada Allah dan shalat di tengah malam. Ummat digiring untuk
melokalisasi (baca: melegalisasi) kemaksiatan daripada terus memberantas
akarnya sambil hanya bergantung kepada Allah swt. Ummat lebih rela
berteriak-teriak menghiba di hadapan musuh memohon”bantuan” hutang yang kian
menjerat, dari pada mengharapkan rezki Allah dengan bekerja keras dan berdo’a
kepada-Nya. Keadaan ini harus segera diatasi.
2.
Mengembalikan kepercayaan diri ummat akan
keunggulan ajaran Islam yang lengkap. Melahirkan reference-oriented society
(Qur’anic-based society) dan kembali kepada rujukan aslinya yaitu Al Qur’an dan
Sunnah serta menegakkan syari’at Allah.
(3:138-139)
“(Al Qur'an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta
pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. Janganlah kamu bersikap lemah, dan
janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling
tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.”
(5:3): “………Pada hari ini orang-orang kafir
telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut
kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu jadi agama bagimu………”
Para
da’i harus mengembalikan kepercayaan dan keimanan ummat kepada Rabbnya dan
syari’at yang diturunkan melalui risalah oleh para NabiNya. Dewasa ini
penyimpangan syari’at Ilahi oleh ummat telah sedemikian memuncak sampai-sampai
seorang yang dianggap ahli agama rela mengalihkan perwalian anak perempuannya
kepada laki-laki yang bukan muslim. Masih banyak lagi penyimpangan yang
dilakukan ummat ini yang menunjukkan betapa jauhnya ummat dari syari’at Allah.
Seorang ulama kontemporer mengibaratkan keadaan ummat dan syaria’t Allah saat
ini bagaikan dua orang yang berdiri di dua lembah berbeda di tengah pengunungan
terjal. Sulit dipertemukan.
3.
Mewujudkan kembali persaudaraan, cinta dan
persatuan ummat yang pada gilirannya menimbulkan semangat kerja sama
(networking) di antara berbagai kelompok ummat Islam.
(3:103) “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada
tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni'mat
Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni'mat Allah, orang-orang
yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
Sudah
merupakan misi abadi para musuh Allah dan musuh ummat manusia untuk menyebar
luaskan permusuhan dan pertumpahan darah di seantero pelosok bumi. Bahkan yang
paling pertama menjadi target adalah ummat Islam yang semestinya “bagaikan satu
tubuh” ini. Allah telah berjanji kepada syaitan dan sekutu-kutunya untuk
memberikan mereka tenggat waktu memecah belah, menyesatkan, menimbulkan
pertumpahan darah, memalingkan sebanyak-banyaknya manusia dari jalan Allah,
jalan orang-orang yang diridhoi, hingga akhir zaman. Sebanding dengan itu
Allah-pun juga memberikan janji kepada orang beriman: Tak akan dapat disesatkan
kecuali orang yang zalim, Janganlah bersedih dan janganlah takut, kalian (orang
beriman) lebih tinggi derajatnya daripada mereka jika kalian benar-benar
beriman. “Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun
tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu.”(QS 3:120). Peran para da’i adalah
menjadi counter perbuatan syaitan tersebut. Da’i hendaknya menyeru ummat untuk
menjalin ukhuwah dengan sesama, menyeru ummat islam menjadi ummatan wasathan
(pertengahan/perekat) di antara segenap ummat manusia.
4.
Mampu mengejar ketertinggalan di berbagai
bidang kehidupan, bahkan memperoleh kepercayaan Allah untuk memimpin ummat
manusia
(35:39): “Dia-lah yang menjadikan kamu
khalifah-khalifah di muka bumi. Barang-siapa yang kafir, maka (akibat)
kekafirannya menimpa dirinya sendiri.Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu
tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran
orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka
belaka.”
(3:110)
“Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi; dan kepada Allahlah
dikembalikan segala urusan. Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik
bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasik.”
(24:55): “Dan Allah telah berjanji kepada
orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh
bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi,
sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan
sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk
mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)mereka, sesudah mereka dalam
ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada
mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir
sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Alhasil,
para da’i bertugas menghimpun potensi ummat agar menjadi kekuatan mumpuni dan
kredibel sehingga ummat manusia mengakui bahkan menuntut ummat beriman agar
memimpin mereka di muka bumi.
Hal
ini tidak akan pernah terwujud sebelum ummat Islam, yang dimulai dengan para
pemimpinnya memenuhi lima kredibilitas di dalam realitas kehidupannya, yaitu:
a. Kredibilitas
moral, yaitu kemampuan pengendalian diri, kemampuan menata karakter dan
me-manage qalbu, kemampuan mengembalikan semua urusan hanya kepada Allah.
Karena hanya dari Allah-lah kekuatan yang sebenarnya.
b. Kredibilitas
intelektual, yaitu kemampuan menguasai permasalahan-permasalahan dunia dan
akhirat dalam sebuah kerangka berpikir yang Islami, syamil-kamil-mutakamil
(lengkap-sempurna-saling menyempurnakan), dan sanggup menjawab setiap
persoalan, setiap pertanyaan dengan jawaban-jawaban yang jernih, tegas dan
Rabbani. Tidak larut ke dalam kesesatan-kesesatan berpikir manusia dan tidak
terwarnai oleh pemikiran kotor dari nafsu yang rendah.
c. Kredibilitas
operasional, yaitu kemampuan bergerak yang teruji, gesit, tangguh, ajeg
(istiqomah) dan meliputi setiap kebutuhan hidup manusia. Sanggup menata diri
dan orang lain dengan penataan yang terbaik. Sanggup memberi manfaat optimal
kepada segenap alam semesta (rahmatan lil alamin).
d. Kredibilitas
sosial, yaitu kemampuan menata masyarakat dan menerima amanah kepercayaan dari
mereka, baik dari kaum muslimin maupun dari luar. Sanggup memahami dan
berinteraksi dengan manusia dengan segenap kemajemukan karakter sosialnya
sesuai dengan apa yang telah terberi dari Allah.
e. Yang
terakhir adalah kredibilitas politik. Kemampuan menata kewenangan dan kekuasaan
manusia dalam tataran sosial yang lebih luas, dan mencakup bidang-bidang
kehidupan berkelompok, berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di dunia ini.
Jika kredibilitas ini dicapai kita akan lihat betapa seorang Ustadz sanggup
mencegah digulirkannya rencana lokalisasi kemaksiyatan di daerahnya hanya
dengan ceramah-ceramah di radio, televisi, didengar oleh pemirsa dan ummat,
kemudian ditaati, sebagaimana ummat seharusnya memang taat kepada ulama mereka.
Kredibilitas politik yang muncul secara spontan ini mengakar ke hati ummat dan
menjadikan ulamanya sebagai informal leader terpandang di tengah masyarakat.
Kita juga akan melihat bahwa pemimpin ummat yang mencapai kredibilitas ini
tidak akan mudah digoyang oleh isu dan intrik, sebab dirinya tegak karena Allah
dan kuat karena Allah. Dirinya berdiri dengan nama Allah dan tidak
menyalah-gunakan kepercayaan yang diberikan ummat kepadanya. Sosok inilah
pelayan sejati ummat.
Wallahua’lam bishshowwaab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar