Kehidupan
Adalah Karunia Allah.
Allah SWT dalah satu-satunya Dzat yang memiliki
hak atas kehidupan dan kematian seseorang. Dialah yang menciptakan kehidupan
dan kematian. Dia menghidupkan segala sesuatu dan mematikan sesuai dengan
hikmah dan kehendak-Nya. Maka nyawa dan kehidupan manusia ini adalah menjadi
hak prerogatif Allah. Tak seorang pun berhak menghilangkan nyawa orang lain (membunuhnya),
kecuali berdasarkan hak yang telah Allah tetapkan, bahkan nyawa diri sendiri
juga haram untuk dihilangkan.
Namun sayang sekali masih amat banyak manusia,
termasuk umat Islam yang tidak faham masalah tersebut. Sehingga begitu mudahnya
mereka menghilangkan nyawa orang lain, bahkan terkadang dengan cara yang keji
seperti disiksa lebih dahulu, di bakar dan bahkan mutilasi, yaitu dengan
memo-tong-motong tubuh korban. Yang lebih ironis lagi adalah ternyata motif
dari pembunuhan tersebut kadang-kadang hanya dilatar belakangi oleh masalah
yang sepele, karena uang sekian rupiah misalnya, saling ejek, sedikit hak
miliknya diambil atau diganggu dan masalah-masalah lain yang sebenarnya dapat
diselesaikan dengan kedewasaan dan kejernihan berpikir.
Kita akan lebih sedih lagi manakala mengetahui
bahwa sang pembunuh dan terbunuh ternyata adalah sama-sama muslim, terkadang
teman kerja, teman waktu sekolah bahkan tetangga. Lalu berapa banyak hak yang
telah terlanggar dan ternodai, hak sesama muslim, hak bertetangga, hak
berteman, hak bawahan dengan atasan atau sebaliknya dan masih banyak lagi hak
yang terinjak.
Maka menumbuhkan kesadaran akan besarnya hak
kehidupan orang lain adalah sesuatu yang harus dan tidak boleh dianggap sepele.
Sebab jika kesadaran akan hal ini tidak segera ditumbuhkan, maka sudah dapat
diperkirakan, bahwa kehidupan di masa mendatang akan semakin kacau dan tidak
karuan. Nyawa manusia akan dianggap sebagai lalat atau nyamuk yang bisa
dilenyapkan kapan saja, oleh siapa saja jika mau dan mampu. Marak-nya
pembunuhan yang merupakan pertanda dekatnya kiamat, akan men-jadi sebuah
kenyataan, na'udzubillah min dzalik.
Untuk itu, maka dalam kesempatan ini perlu
dijelaskan beberapa persoalan berkaitan dengan masalah haramnya nyawa sesama
muslim, keharusan menjaganya, hukuman bagi yang membunuh seorang muslim, kapan
seseorang bisa dibunuh dan hal-hal lain yang terkait dengan masalah ini.
Haramnya Darah Seorang Muslim
Tentang haramnya darah seorang muslim, harta
dan kehormatannya Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah menegaskan di
dalam khutbah beliau pada Hari Arafah, beliau bersabda,
"Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian semua, sebagaimana haramnya hari kalian ini, di negri kalian ini dan pada bulan kalian ini." (Muttafaq ‘alaih).
"Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian semua, sebagaimana haramnya hari kalian ini, di negri kalian ini dan pada bulan kalian ini." (Muttafaq ‘alaih).
Karena besarnya penghargaan Islam kepada nyawa
seorang muslim, maka Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam memberikan
predikat fasik bagi yang mencaci seorang muslim dan kufur bagi orang yang
membunuhnya. Beliau menyatakan,
"Mencaci maki seorang muslim adalah kefasikan, sedangkan membunuhnya adalah kekufuran." (Muttafaq ‘alaih)
"Mencaci maki seorang muslim adalah kefasikan, sedangkan membunuhnya adalah kekufuran." (Muttafaq ‘alaih)
Di dalam riwayat lain oleh al-Imam al-Bukhari
disebutkan, bahwa seorang mukmin ketika telah berani menumpahkan darah haram,
maka ia akan terlempar keluar dari garis perlindungan agama (Islam), dalam arti
kebebasan hidupnya akan diambil oleh Islam sebagaimana dia telah merenggut
kebebasan hidup saudaranya. Rasulullah bersabda,
"Seorang mukmin masih senantiasa dalam keluasan agamanya selagi tidak menumpahkan darah yang haram." (HR al-Bukhari).
"Seorang mukmin masih senantiasa dalam keluasan agamanya selagi tidak menumpahkan darah yang haram." (HR al-Bukhari).
Ini merupakan isyarat yang sangat tegas, bahwa
sesama muslim dilarang keras saling bunuh, saling serang dan berkelahi satu
dengan yang lain. Jika terjadi perseteruan antara dua orang mukmin, maka Allah
memerintahkan mukmin yang lain supaya mendamaikan di antara keduanya. Jika dua
orang mukmin saling menyerang dan bunuh, lalu ada salah satunya yang meninggal,
maka Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam mengatakan, bahwa kedua-duanya
masuk neraka. Diriwayatkan dari Abu Bakrah Radhiallaahu anhu dia berkata,
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda,
"Jika dua orang mukmin berkelahi dengan
pedangnya, maka yang membu-nuh dan yang terbunuh masuk neraka. Aku (Abu Bakrah)
bertanya, "Wahai Rasulullah, kalau orang yang membunuh sudah jelas, maka
bagaimana halnya dengan yang terbunuh? Beliau bersabda, "Sesungguhnya dia
juga berkeinginan untuk membunuh lawannya itu." (Muttafaq ‘alaih)
Ibnu Umar berkata, "Sesungguhnya merupakan
salah satu posisi tersulit yang tidak ada lagi jalan keluar bagi orang yang
terjerumus di sana yaitu menumpahkan darah haram bukan dengan cara yang
halal." (Al-Bukhari)
Ancaman dan Sanksi Membunuh
Allah Subhannahu wa Ta'ala memberikan ancaman
yang sangat keras dalam perkara darah. Allah telah menetapkan kemurkaan dan
laknat bagi seorang pembunuh baik di dunia maupun akhirat. Dia berfirman,
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannnya ialah jahannam, kekalah ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. 4:93)
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannnya ialah jahannam, kekalah ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. 4:93)
Adapun sanksi yang dikenakan kepada seorang
pembunuh, maka Allah menetapkan qishash, yakni dibunuh juga (hukum mati). Ini
merupakan hukuman yang sangat adil bagi pembunuhan yang disengaja atau
direncanakan. Qishash juga akan memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban,
akan member-sihkan masyarakat dari keburukan dan tindak kriminal pembunuhan.
Dengan ditegakkannya qishahsh, maka orang tidak
akan dengan mudah mengayunkan senjata membunuh orang lain, karena nyawanya
kelak akan menjadi taruhan juga. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berke-naan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita”. (QS. 2:178)
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berke-naan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita”. (QS. 2:178)
Dalam kelanjutan ayat di atas Allah menegaskan,
“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.” (QS. 2:179)
“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.” (QS. 2:179)
Namun demikian, pelaksanaan hukumannya pun
harus dengan cara yang baik, tidak boleh berlebihan atau melampaui batas,
sebagaimana difirmankan Allah, “Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka
sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli waris-nya, tetapi
janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah
orang yang mendapat pertolongan". (QS. 17:33)
Kapan Darah Seseorang Dihalalkan
Uraian di atas memberikan gambaran kepada kita
betapa hebat dan ketat-nya syariat Islam menjaga darah atau nyawa seseorang.
Dengan ditetapkan-nya qishash, maka kelangsungan hidup manusia akan terjamin,
sehingga seseorang tidaklah mati, kecuali benar-benar karena kehendak Dzat yang
menghi-dupkan dan dengan cara yang Dia ridhai. Bukan lantaran disebabkan oleh
tangan orang yang tidak berhak atasnya.
Namun demikian, di dalam Islam ada
kondisi-kondisi tertentu yang menyebabkan darah seseorang yang tadinya haram
menjadi halal dan boleh untuk ditumpahkan. Itu pun semata-mata karena alasan
syar'i yang sangat mulia, di dalamnya ada faidah dan hikmah yang sangat besar.
Ada tiga hal yang menjadikan halalnya darah seorang muslim, sebagaimana
terang-kum di dalam sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam berikut ini, "Tidaklah
halal darah seorang muslim, kecuali dengan salah satu dari tiga perkara;
(yaitu) jiwa dengan jiwa, zina muhshan (zinanya orang yang sudah menikah) dan
orang yang keluar dari agamanya (Islam) memisahkan diri dari al-jamaah (kaum
muslimin)." (Muttafaq ‘alaih).
Tiga hal inilah yang menjadikan halalnya darah
seseorang. Maka tidak dibolehkan membunuh atau menghu-kum mati seorang pencuri
seperti yang sering terjadi belakangan ini, apalagi jika hanya dilakukan oleh
sekelompok orang. Tindakan ini jelas-jelas merupakan perbuatan melanggar hukum
dan norma di dalam Islam. Perkara darah adalah perkara yang besar. Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Salam telah memberitahukan kepada kita, bahwa
kasus/urusan yang pertama kali akan diputuskan nanti di Hari Kiamat adalah
urusan darah. Beliau bersabda, "Perkara yang pertama kali akan
diputuskan di antara manusia pada Hari Kiamat adalah masalah darah."
(HR Muslim)
Penjagaan Islam Terhadap Jiwa Manusia
Demi menjaga darah dan jiwa manusia, Islam
telah menetapkan aturan-aturan yang begitu indah dan luhur. Menerapkannya
merupakan tindakan preventif dan antisipasif atas terjadinya hal-hal yang tak
diinginkan yang berkaitan dengan jiwa atau darah sesama muslim. Di antaranya
adalah Islam melarang seseorang membawa senjata di tempat umum dalam keadaan
terbuka/terhunus. Sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam , "Barang
siapa yang melewati suatu tempat di masjid kita atau pasar kita, sedangkan ia
membawa panah, maka hendaklah ia menyimpannya atau memegang bagian, mata
panahnya dengan telapak tangan, agar jangan sampai sedikit pun mengenai salah
seorang dari kaum muslimin." (Muttafaq ‘alaih)
Selain itu, Islam melarang seseorang untuk
berisyarat atau mengacungkan senjata dan yang sejenisnya kepada sesama muslim,
bahkan pelakunya akan mendapatkan laknat dari malaikat. Diriwayatkan dari Abu
Hurairah Radhiallaahu anhu, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, "Barang
siapa berisyarat kepada saudaranya dengan (mengacungkan) besi, maka malaikat
melaknatnya, meskipun dia adalah sudaranya seayah atau seibu." (HR
Muslim).
Islam juga melarang saling ejek, mencela,
memberikan julukan yang jelek, su'udzan, tajassus (memata-matai) dan ghibah.
Karena itu semua terkadang menjadi pemicu terjadinya permusuhan dan yang tak
jarang berakhir dengan pertumpahan darah.
Kami memohon kepada Allah agar menjaga kita dan
seluruh kaum muslimin dari segala fitnah, permusuhan dan pertengkaran. (Ibnu
Djawari)
Disadur dengan
bebas dari buku “Maa Laa Yasaa’u al-Muslima Jahluhu” bittasharruf wa ziyadah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar