Selasa, 06 Maret 2012

Drama Hijrah


Hijrah Pertama menuju negeri Habasyah
Penindasan yang terjadi, pada permulaannya - yakni pada pertengahan atau akhir tahun ke-4 dari kenabian - adalah tidak seberapa, namun kemudian dari hari demi hari bahkan bulan demi bulan berubah menjadi lebih sadis dan mengkhawatirkan, terutama pada pertengahan tahun ke-5 sehingga tiada tempat lagi bagi mereka di Mekkah dan memaksa mereka untuk memikirkan siasat lolos dari siksaan-siksaan tersebut. Dalam kondisi yang seperti inilah, turun surat az-Zumar yang mengisyaratkan perlunya berhijrah dan mengumumkan bahwa bumi Allah tidaklah sempit, dalam firmanNya: "…orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas". (Q.S.39/az-Zumar: 10). Rasulullah telah mengetahui bahwa Ash-himah an-Najasyi, raja Habasyah adalah seorang yang adil, tidak seorangpun yang berada disisinya terzhalimi; oleh karena itu, beliau memerintahkan kaum Muslimin agar berhijrah ke sana guna menyelamatkan agama mereka dari fitnah.
Rombongan pertama yang membawa para shahabat bergerak pada bulan Rajab tahun ke-5 dari kenabian. Rombongan ini terdiri dari 12 orang laki-laki dan 4 orang wanita, dikepalai oleh 'Utsman bin 'Affan yang ditemani oleh Ruqayyah binti Rasulillah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Rasulullah menyifati keduanya sebagai "keluarga pertama yang berhijrah di jalan Allah setelah Nabi Ibrahim dan Luth 'alaihimassalaam".
Kepergian mereka dilakukan dengan mengendap-endap pada malam yang gelap-gulita –agar tidak diketahui oleh kaum Quraisy- menuju laut kemudian mengarah ke pelabuhan rakyat. Ternyata, takdir mereka sejalan dan seiring dengan itu dimana ketika itu ada dua buah kapal dagang yang akan berlayar menuju Habasyah dan merekapun ikut serta bersamanya. Kaum Quraisy akhirnya mengetahui hal itu, lalu menelusuri jejak perjalanan kaum muslimin akan tetapi tatkala mereka baru sampai di tepi pantai, kaum muslimin telah bergerak dengan aman. Akhirnya, kaum muslimin menetap di Habasyah dan mendapatkan sebaik-baik pelayanan.
Kisah sujudnya kaum Musyrikin dan kembalinya kaum muslimin yang berhijrah
Pada bulan Ramadhan di tahun yang sama, Rasulullah pergi ke mesjid al-Haram. Ketika itu, sekumpulan besar kaum Quraisy tengah berada disana; terdapat para pemuka dan tokoh-tokoh mereka. Beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam kemudian berdiri di tengah mereka sembari melantunkan surat an-Najm tanpa sepengetahuan mereka alias secara tiba-tiba. Orang-orang kafir tersebut sebelumnya, tidak pernah mendengarkan secara langsung Kalamullah, karena program yang mereka lancarkan secara kontinyu adalah melakukan apa yang telah saling diingatkan oleh sebagian mereka terhadap sebagian yang lain yang bunyinya sebagaimana dalam firmanNya: "…janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan al-Qur'an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya supaya kamu dapat mengalahkan (mereka)". (Q.S.41/Fushshilat: 26). Maka, manakala lantunan surat tersebut menyergap mereka secara tiba-tiba dan Kalam Ilahi yang demikian indah menawan – yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata akan keagungan dan keindah-menawanannya- mengetuk telinga mereka; mereka seakan mengesampingkan semua apa yang tengah dilakukan dan masing-masing terkonsentrasi untuk mendengarkannya sehingga tidak ada yang terlintas di hatinya selain lantunan itu. Lalu sampailah beliau pada akhir surat ini; ketukan yang membawa hati seakan terbang melayang, beliau membaca firmanNya :"…maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah Dia". (Q.S.53/an-Najm: 62), kemudian beliau sujud. Melihat pemandangan itu, tak seorangpun dari mereka yang dapat menahan dirinya untuk tidak sujud, sehingga merekapun sujud bersama beliau. Sebenarnya, keindah-menawanan al-Haq telah meluluhlantakkan kebatuan yang meliputi jiwa-jiwa kaum yang takabbur dan suka mengejek; mereka semua tak sanggup menahannya bahkan jatuh bersujud kepada Allah.
Mereka linglung dan tak tahu harus berbuat apa, manakala keagungan Kalamullah telah mempelintir kendali yang selama ini mereka pegang sehingga membuat mereka melakukan sesuatu yang selama ini justru dengan susah payah berusaha mereka hapus dan lenyapkan. Kejadian tersebut mendapatkan kecaman dari teman-teman mereka yang tidak sempat hadir ketika itu. Dengan begitu, mereka merasa inilah pula momen bagi mereka untuk mendustakan Rasulullah dan mencemarkan nama baik beliau dengan membalikkan fakta yang sebenarnya; yaitu, bahwa yang terjadi sebenarnya, justru beliau-lah yang berbuat demikian terhadap berhala mereka. Mereka mengatakan bahwa kisah itu hanyalah " itulah al-Gharaniiq yang Mulia, yang syafa'atnya selalu diminta ". Isu bohong ini mereka gembar-gemborkan agar dapat menjadi alasan sujud mereka bersama Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam ketika itu. Tentunya, respons semacam ini tidak begitu mengherankan sekali sebab sumbernya adalah dari orang yang selama ini pekerjaannya suka mengarang-ngarang dusta serta menghembuskan isu. 
Berita tersebut (tentang sujudnya kaum Quraisy-red) sampai ke telinga kaum muslimin yang berhijrah di Habasyah akan tetapi versi beritanya sangat kontras dengan realitas yang sebenarnya; yang sampai kepada mereka bahwa kaum Quraisy telah masuk Islam. Oleh karena itu, merekapun kembali ke Mekkah pada bulan Syawwal di tahun yang sama, namun ketika mereka berada di tempat yang tidak berapa jauh dari Mekkah, yaitu sesaat di waktu siang lalu mereka akhirnya mengetahui duduk persoalannya; sebagian mereka ada yang kembali lagi ke Habasyah sedangkan sebagian yang lain ada yang memasuki Mekkah secara diam-diam atau berlindung di bawah suaka seseorang dari suku Quraisy.

Hijrah Kedua ke negeri Habasyah
Setelah peristiwa tersebut, kaum Quraisy meningkatkan frekuensi penindasan dan penyiksaan terhadap mereka dan kaum muslimin secara umum, tak luput suku mereka sendiri memperlakukan hal yang hampir sama. Meskipun demikian, kaum Quraisy merasa gerah dengan berita yang mereka dapatkan bahwa an-Najasyi adalah seorang raja yang memperlakukan tamunya dengan baik. Disamping itu, Rasulullah juga telah memberikan isyarat bolehnya para shahabat berhijrah kembali ke negeri Habasyah. Perjalanan hijrah kali ini dirasakan amat sulit dari perjalanan sebelumnya mengingat kaum Quraisy sudah mengantisipasinya dan bertekad untuk menggagalkannya. Akan tetapi, Allah memudahkan perjalanan kaum muslimin sehingga mereka bergerak lebih cepat dan menuju kepada suaka an-Najasyi, raja Habasyah sebelum kaum Quraisy menciumnya.
Hijrah kali ini membawa rombongan yang terdiri dari 83 orang laki-laki - dalam hal ini, riwayat yang menyatakan keikutsertaan 'Ammar bin Yasir dalam rombongan ini masih diragukan kevalidannya - dan 18 atau 19 orang wanita.
Trik kaum Quraisy untuk memperdaya kaum muslimin yang berhijrah ke Habasyah
Kaum musyrikin tidak pernah merasa senang bila kaum muhajirin tersebut mendapatkan keamanan bagi diri dan dien mereka. Untuk itulah, mereka mengutus dua orang pilihan yang dikenal sebagai orang telah yang teruji lagi cerdik, yaitu 'Amru bin al-'Ash dan 'Abdulullah bin Abi Rabi'ah – sebelum keduanya masuk Islam -. Keduanya membawa titipan hadiah yang menggiurkan dari pemuka Quraisy untuk an-Najasyi dan para uskupnya. Kedua orang ini mempersembahkan hadiah kepada para uskup terlebih dahulu sambil membekali mereka beberapa alasan yang dengannya kaum muslimin dapat diusir dari negerinya. Setelah para uskup menyetujui untuk mengangkat permintaan keduanya tersebut kepada an-Najasyi agar mengusir kaum muslimin, keduanya langsung berhadapan dengan sang raja, menyerahkan beberapa buah hadiah kepadanya lalu berbicara dengannya. Keduanya berkata: "wahai tuan raja! Sesungguhnya beberapa orang yang masih bau kencur memasuki negeri anda sebagai orang asing; mereka meninggalkan agama kaum mereka namun tidak juga menganut agamamu bahkan mereka membawa agama baru yang tidak kami ketahui, demikian juga dengan tuan. Kami disini, adalah sebagai utusan kepadamu. Diantara orang yang mengutus kami tersebut ada yang merupakan pemuka kaum mereka dari nenek moyang, paman-paman serta suku mereka agar tuan mengembalikan para pendatang ini kepada mereka. Tentunya, mereka lebih banyak memantau tindak tanduk para pendatang tersebut dan polah mereka mencela dan mencaci-maki mereka".
Para uskup serta merta menimpali: "benar apa yang dikatakan oleh keduanya wahai tuan raja! Serahkanlah mereka kepada keduanya agar keduanya membawa mereka pulang ke kaum dan negeri mereka".
Akan tetapi an-Najasyi berpandangan bahwa masalah ini perlu ada kejelasan dan mendengarkan dari kedua belah pihak sekaligus. Lalu dia mengutus orang untuk menemui kaum muslimin dan mengundang mereka untuk hadir. Merekapun menghadirinya dan telah bersepakat akan mengatakan sejujur-jujurnya apa yang telah terjadi. An-Najasyi berkata kepada mereka:"apa gerangan agama yang bisa memisahkan kalian dari kaum kalian dan tidak membuat kalian masuk ke dalam agamaku atau agama-agama yang lain?".
Ja'far bin Abi Thalib sebagai juru bicara kaum muslimin bertutur:"wahai tuan raja! Kami dahulunya adalah ahli Jahiliyyah; menyembah berhala, memakan bangkai binatang, melakukan perbuatan keji, memutus tali rahim, suka mengusik tetangga. Kaum yang kuat diantara kami menindas kaum yang lemah. Demikianlah kondisi kami ketika itu, hingga Allah mengutus kepada kami seorang Rasul dari bangsa kami sendiri yang kami tahu persis nasab, kejujuran, amanat serta kesucian dirinya. Lalu dia mengajak kami kepada Allah guna mentauhidkan dan menyembahNya serta agar kami tidak lagi menyembah batu dan berhala yang dulu disembah oleh nenek moyang kami. Beliau memerintahkan kami agar berlaku jujur dalam bicara, melaksanakan amanat, menyambung tali rahim, berbuat baik kepada tetangga dan menghindari pertumpahan darah. Dia melarang kami melakukan perbuatan yang keji, berbicara ngibul, memakan harta anak yatim serta menuduh wanita yang suci melakukan zina tanpa bukti. Beliau memerintahkan kami agar menyembah Allah semata, tidak menyekutukanNya dengan sesuatupun, memerintahkan kami agar melakukan shalat, membayar zakat, berpuasa, (….selanjutnya Ja'far menyebutkan hal-hal lainnya) … lalu kami membenarkan hal itu semua dan beriman kepadanya. Kami ikuti ajaran yang dibawanya dari Allah ; kami sembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, apa yang diharamkannya atas kami adalah haram menurut kami dan dan apa yang dihalalkannya adalah halal menurut kami. Lantaran itu, kaum kami malah memusuhi kami, menyiksa, merayu agar keluar dari agama yang memerintahkan kami beribadah kepada Allah, dan mengajak kami kembali menyembah berhala-berhala, menghalalkan kami melakukan perbuatan-perbuatan keji yang dahulu pernah kami lakukan. Nah, manakala mereka memaksa kami, menganiaya, mempersempit ruang gerak serta menghalangi agar kami tidak dapat melakukan ritual agama, kami akhirnya menempuh jalan melarikan diri menuju negeri tuan. Kami lebih memilih tuan daripada selain tuan dan lebih suka berada dibawah suaka tuan. Ini semua dengan harapan agar kami tidak terzhalimi disisimu, wahai tuan raja!".
An-Najasyi bertanya: "apakah ada sesuatu yang dibawanya dari Allah bersama kalian?". Ja'far menjawab: "ya! Ada". An-Najasyi bertanya lagi: "tolong bacakan kepadaku!". Lalu dia membacakan permulaan surat Maryam, firmanNya: "Kâf-hâ-yâ-'aîn-shâd". Manakala mendengar lantunan ayat tersebut, demi Allah! (ucapan ini sebenarnya berasal dari penutur kisah ini, yaitu Ummu Salamah yang menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri peristiwa ini-red) sang rajapun menangis hingga air matanya membasahi jenggotnya. Demikian pula dengan para uskupnya hingga air mata mereka membasahi mushhaf-mushhaf (lembaran-lembaran-red) yang berada di tangan mereka. Kemudian an-Najasyi berkata kepada mereka:"sesungguhnya ini dan apa yang dibawa oleh 'Isa adalah bersumber dari satu lentera". Lalu kepada kedua utusan Quraisy dia berkata:"pergilah kalian berdua, demi Allah, sekali-kali tidak akan aku serahkan mereka kepada kalian dan tidak akan hal itu terjadi". Keduanya pun keluar namun 'Amru bin al-'Ash sempat berkata kepada 'Abdullah bin Rabi'ah: "demi Allah! sungguh akan aku datangi lagi dia besok pagi untuk membicarakan perihal mereka dan akan aku habisi mereka (argumentasi kaum muslimin-red) sebagaimana aku menghabisi ladang mereka". 'Abdullah bin Rabi'ah berkata: "jangan kamu lakukan itu! Sesungguhnya mereka itu masih memiliki hubungan tali rahim dengan kita sekalipun mereka menentang kita". Akan tetapi 'Amru tetap ngotot dengan tekadnya.
Benar saja, keesokan harinya dia mendatangi an-Najasyi dan berkata kepadanya:"wahai tuan raja! Sesungguhnya mereka itu mengatakan suatu perkataan yang sangat serius terhadap 'Isa bin Maryam". An-Najasyi pun mengirim utusan kepada kaum muslimin untuk mempertanyakan perihal perkataan terhadap 'Isa al-Masih tersebut. Mereka sempat kaget menyikapi hal itu, namun akhirnya tetap bersepakat untuk berkata dengan sejujur-jujurnya apapun yang terjadi. Ketika mereka datang di hadapan sang raja dan dia bertanya kepada mereka tentang hal itu, Ja'far berkata kepadanya:"kami mengatakan tentangnya sebagaimana yang dibawa oleh Nabi kami Shallallâhu 'alaihi wasallam : 'dia adalah hamba Allah, Rasul-Nya, ruh-Nya dan kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam, si perawan yang ahli ibadah".
An-Najasyi kemudian memungut sebatang ranting pohon dari tanah seraya berujar:"demi Allah! apa yang kamu ungkapkan itu tidak melangkahi 'Isa bin Maryam meski seukuran ranting ini". Mendengar itu, para uskup mendengus, dan dengusan itu angsung ditimpalinya:'demi Allah! sekalipun kalian mendengus".
Dia kemudian berkata kepada kaum muslimin:"pergilah! Kalian akan aman di negeriku. Siapa saja yang mencela kalian, maka dia akan celaka. Siapa saja yang mencela kalian, maka dia akan celaka. Siapa saja yang mencela kalian, maka dia akan celaka. Aku tidak akan menyakiti siapapun diantara kalian, meski aku memiliki gunung emas" (perkataan itu diungkapkan dalam bahasa Habasyah).
Kemudian an-Najasyi berkata kepada para pejabat istana: "Kembalikan hadiah-hadiah tersebut kepada keduanya, karena aku tidak memerlukannya. Demi Allah! Dia Ta'ala tidak pernah mengambil sogokan dariku tatkala kerajaan ini Dia kembalikan kepadaku, sehingga dengan itu, aku patut mengambilnya pula, dan Dia juga tidak membuat manusia patuh kepadaku sehingga aku harus patuh pula kepada mereka karena itu". 
Ummu Salamah yang meriwayatkan kisah ini berkata: "kemudian keduanya keluar dari hadapannya dengan raut muka yang kusam karena alasan yang dikemukakan mental sama sekali. Setelah itu, kami menetap disisinya dengan penuh kenyamanan bersama tetangga yang paling baik".
Riwayat ini adalah versi Ibnu Ishaq, sedangkan riwayat lainnya menyebutkan bahwa perutusan 'Amru bin al-'Ash kepada an-Najasyi terjadi setelah perang Badr. Sebagian ahli sejarah menyinkronkan kedua versi riwayat tersebut dengan menyatakan bahwa perutusan itu terjadi dua kali akan tetapi tanya jawab-tanya jawab yang disebutkan terjadi antara an-Najasyi dan Ja'far dalam perutusan yang kedua kalinya itu adalah hampir sama dengan apa yang diriwayatkan dalam versi Ibnu Ishaq. Selain itu, materi yang termuat dalam pertanyaan-pertanyaan tersebut menunjukkan terjadinya proses murâfa'at (pembelaan, pendengaran di muka hakim dalam istilah hukum-red) pertama yang diadukan kepada an-Najasyi.
Drama Hijrah
Haekal melukiskan kisah ini sebagai "kisah yang paling cemerlang dan indah yang pernah dikenal manusia dalam sejarah pengejaran yang penuh bahaya, demi kebenaran, keyakinan dan iman".
Yatsrib atau Madinah sudah pasti menjadi masa depan Muhammad dan pengikutnya. Puluhan muslimin telah menyelinap pergi ke sana. Kaum Qurais tak terlalu peduli. Perhatian mereka pada Muhammad yang masih di Mekah yang tak akan mereka biarkan lolos. Padahal Muhammad telah siap untuk pergi. Abu Bakar telah menyiapkan dua unta baginya dan bagi Muhammad. Unta itu dipelihara Abdullah bin Uraiqiz.
Sampai pada harinya, perintah Allah untuk hijrah pun turun. Muhammad memberi tahu Abu Bakar. Para pemuda Qurais juga semakin ketat memata-matai rumah Muhammad. Mereka sesekali mengintip ke dalam rumah, melihat Muhammad berbaring di tempat tidurnya. Namun Muhammad meminta Ali mengenakan mantel hijaunya dari Hadramaut serta tidur di dipannya. Kaum Qurais tenang. Mereka pikir Muhammad masih tidur. Ketika esok harinya mendobrak pintu rumah Rasul, mereka hanya mendapati Ali yang mengaku tak tahu menahu tentang keberadaan Muhammad.
Malam itu, Muhammad telah menyelinap dari jalan belakang. Bersama Abu Bakar, ia berjalan mengendap dalam gelap, menuju sebuah gua di bukit Tsur. Sebuah pilihan cerdik. Kaum Qurais tentu menduga Muhammad menuju Yatsrib di utara Mekah. Muhammad malah melangkah ke selatan. Kejadian ini juga memperlihatkan bahwa Muhammad tetap menggunakan nalar yang wajar sebagai manusia. Jika mau, ia dapat meminta perlindungan Allah berwujud kesaktian seperti yang dikejar-kejar banyak manusia sekarang. Tapi tidak, Muhammad menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama untuk kepentingan semacam itu.
Muhammad dan Abu Bakar hanya menjalankan siasat biasa. Dalam persembunyiannya, mereka tetap memasang telinga melalui Abdullah, anak Abu Bakar, yang tetap tinggal di Mekah. Setiap malam, Abdullah menemui mereka di gua melaporkan perkembangan suasana serta mengirim makanan yang disiapkan Aisyah dan saudaranya, Asma. Setiap pagi, pembantu Abu Bakar -Amir bin Fuhaira-menggembala kambing menghapus jejak itu.
Tiga malam mereka bersembunyi di gua itu. Satu riwayat menyebut sejumlah pemuda Qurais telah mencapai bibir gua. Abu Bakar gemetar meringkuk di sisi Muhammad. Saat itu, Muhammad berbisik. "La tahzan, innallaaha ma'ana (Jangan sedih, Allah bersama kita) ". Rasul juga menghibur dengan kata-kata, "Abu Bakar, kalau kau menduga kita hanya berdua, Allah-lah yang ketiga." Orang-orang Qurais itu lalu pergi. Konon mereka melihat sarang laba-laba serta burung merpati mengerami telur di mulut gua. Tak mungkin Muhammad bersembunyi di situ.
Setelah aman, Abdullah bin Uraiqiz membawa keluar mereka. Tiga unta beriringan ke Barat, berbekal makanan yang diikat dengan sobekan sabuk Asma. Abu Bakar disebut membawa seluruh uang simpanannya sebesar 5 ribu dirham. Mereka berjalan berputar menuju arah Tihama, dekat Laut Merah, melalui jalur yang paling jarang dilalui manusia. Baru kemudian mereka berbelok ke utara, ke Yatsrib, menapaki terik gurun. Siang-malam mereka terus berjalan.
Kaum Qurais membuat sayembara dengan hadiah 100 unta bagi yang dapat menangkap Muhammad. Suraqa bin Malik tergiur iming-iming itu. Ketika mendengar info ada tiga orang berunta beriringan, ia mengelabui kawan-kawannya. "O.. itu adalah si anu," begitu kira-kira ucapan Suraqa. Namun ia kemudian memacu kudanya sendirian mengejar Muhammad. Sedemikian menggebu Suraqa, sehingga kudanya tersungkur. Sekali lagi, ia tersungkur setelah dekat dengan Muhammad. Suraqa lalu menyerah karena menganggap dirinya tengah sial.
Dua pekan kemudian, Muhammad tiba di Quba -desa perkebunan kurma di luar kota Yatsrib. Ia tinggal di sana selama empat hari dan membangun masjid sederhana. Di sana pula Muhammad bertemu kembali dengan Ali yang berjalan kaki ke Yatsrib. Mereka kemudian berjalan bersama menuju kota, dan disambut sangat meriah oleh warga Yatsrib dengan bacaan salawat. Orang-orang Arab -baik yang Islam maupun penyembah berhala-serta orang-orang Yahudi tumpah ruah untuk melihat sosok Muhammad yang banyak diperbincangkan.
Orang-orang berebut menawarkan rumahnya sebagai tempat tinggal Rasul. Tapi Muhammad menyebut bahwa ia akan tinggal di mana untanya berhenti sendiri. Sampai ke sebuah tempat penjemuran korma, unta itu berlutut. Muhammad menanyatakn tempat itu milik siapa. Ma'adh bin Afra menjawab, rumah itu milik Sahal dan Suhail -dua orang yatim dari Banu Najjar.
Setelah dibeli, rumah itu pun dibangun menjadi masjid. Hanya sebagian dari ruangan masjid itu yang beratap. Di sanalah orang-orang miskin --dari berbagai tempat yang datang menemui Muhammad untuk memeluk Islam-- kemudian ditampung. Muhammad membangun rumah kecil bagi keluarganya di sisi masjid itu. Semasa pembangunan rumah itu, Rasul tinggal di rumah keluarga Abu Ayyub Khalid bin Zaid. Sekarang masjid yang dibangun Rasulullah itu menjadi masjid Nabawi yang teduh di Madinah. Sedangkan rumah tinggalnya menjadi tempat makam Rasul yang kini berada di dalam masjid Nabawi.
Pada usia 53 tahun -setelah 13 tahun masa kerasulannya serta membangun pondasi keislaman-Muhammad membuat langkah besar itu: hijrah. Langkah berbahaya namun mengantarkannya menjadi pemimpin utuh. Pemimpin keagamaan, kemasyarakatan juga politik. Peristiwa pada tahun 623 Masehi itu sekaligus mengajarkan keharusan umat Islam untuk berani menempuh langkah besar untuk mencari lingkungan atau lahan baru yang memungkinkan benih kebenaran dan kebajikan tumbuh lebih subur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar