Hijrah Pertama menuju negeri Habasyah
Penindasan
yang terjadi, pada permulaannya - yakni pada pertengahan atau akhir tahun ke-4
dari kenabian - adalah tidak seberapa, namun kemudian dari hari demi hari
bahkan bulan demi bulan berubah menjadi lebih sadis dan mengkhawatirkan,
terutama pada pertengahan tahun ke-5 sehingga tiada tempat lagi bagi mereka di
Mekkah dan memaksa mereka untuk memikirkan siasat lolos dari siksaan-siksaan
tersebut. Dalam kondisi yang seperti inilah, turun surat az-Zumar yang
mengisyaratkan perlunya berhijrah dan mengumumkan bahwa bumi Allah tidaklah
sempit, dalam firmanNya: "…orang-orang yang berbuat baik di dunia ini
memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya
orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas". (Q.S.39/az-Zumar:
10). Rasulullah telah mengetahui bahwa Ash-himah an-Najasyi, raja Habasyah
adalah seorang yang adil, tidak seorangpun yang berada disisinya terzhalimi;
oleh karena itu, beliau memerintahkan kaum Muslimin agar berhijrah ke sana guna
menyelamatkan agama mereka dari fitnah.
Rombongan
pertama yang membawa para shahabat bergerak pada bulan Rajab tahun ke-5 dari
kenabian. Rombongan ini terdiri dari 12 orang laki-laki dan 4 orang wanita,
dikepalai oleh 'Utsman bin 'Affan yang ditemani oleh Ruqayyah binti Rasulillah
Shallallâhu 'alaihi wasallam. Rasulullah menyifati keduanya sebagai
"keluarga pertama yang berhijrah di jalan Allah setelah Nabi Ibrahim dan
Luth 'alaihimassalaam".
Kepergian
mereka dilakukan dengan mengendap-endap pada malam yang gelap-gulita –agar
tidak diketahui oleh kaum Quraisy- menuju laut kemudian mengarah ke pelabuhan
rakyat. Ternyata, takdir mereka sejalan dan seiring dengan itu dimana ketika
itu ada dua buah kapal dagang yang akan berlayar menuju Habasyah dan merekapun
ikut serta bersamanya. Kaum Quraisy akhirnya mengetahui hal itu, lalu
menelusuri jejak perjalanan kaum muslimin akan tetapi tatkala mereka baru
sampai di tepi pantai, kaum muslimin telah bergerak dengan aman. Akhirnya, kaum
muslimin menetap di Habasyah dan mendapatkan sebaik-baik pelayanan.
Kisah sujudnya kaum Musyrikin dan kembalinya kaum muslimin
yang berhijrah
Pada
bulan Ramadhan di tahun yang sama, Rasulullah pergi ke mesjid al-Haram. Ketika
itu, sekumpulan besar kaum Quraisy tengah berada disana; terdapat para pemuka
dan tokoh-tokoh mereka. Beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam kemudian berdiri di
tengah mereka sembari melantunkan surat an-Najm tanpa sepengetahuan mereka
alias secara tiba-tiba. Orang-orang kafir tersebut sebelumnya, tidak pernah
mendengarkan secara langsung Kalamullah, karena program yang mereka lancarkan
secara kontinyu adalah melakukan apa yang telah saling diingatkan oleh sebagian
mereka terhadap sebagian yang lain yang bunyinya sebagaimana dalam firmanNya:
"…janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan al-Qur'an ini dan
buatlah hiruk-pikuk terhadapnya supaya kamu dapat mengalahkan (mereka)".
(Q.S.41/Fushshilat: 26). Maka, manakala lantunan surat tersebut menyergap
mereka secara tiba-tiba dan Kalam Ilahi yang demikian indah menawan – yang tidak
dapat diungkapkan dengan kata-kata akan keagungan dan keindah-menawanannya-
mengetuk telinga mereka; mereka seakan mengesampingkan semua apa yang tengah
dilakukan dan masing-masing terkonsentrasi untuk mendengarkannya sehingga tidak
ada yang terlintas di hatinya selain lantunan itu. Lalu sampailah beliau pada
akhir surat ini; ketukan yang membawa hati seakan terbang melayang, beliau
membaca firmanNya :"…maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah
Dia". (Q.S.53/an-Najm: 62), kemudian beliau sujud. Melihat pemandangan
itu, tak seorangpun dari mereka yang dapat menahan dirinya untuk tidak sujud,
sehingga merekapun sujud bersama beliau. Sebenarnya, keindah-menawanan al-Haq
telah meluluhlantakkan kebatuan yang meliputi jiwa-jiwa kaum yang takabbur dan
suka mengejek; mereka semua tak sanggup menahannya bahkan jatuh bersujud kepada
Allah.
Mereka
linglung dan tak tahu harus berbuat apa, manakala keagungan Kalamullah telah
mempelintir kendali yang selama ini mereka pegang sehingga membuat mereka
melakukan sesuatu yang selama ini justru dengan susah payah berusaha mereka
hapus dan lenyapkan. Kejadian tersebut mendapatkan kecaman dari teman-teman
mereka yang tidak sempat hadir ketika itu. Dengan begitu, mereka merasa inilah
pula momen bagi mereka untuk mendustakan Rasulullah dan mencemarkan nama baik
beliau dengan membalikkan fakta yang sebenarnya; yaitu, bahwa yang terjadi
sebenarnya, justru beliau-lah yang berbuat demikian terhadap berhala mereka.
Mereka mengatakan bahwa kisah itu hanyalah " itulah al-Gharaniiq yang Mulia,
yang syafa'atnya selalu diminta ". Isu bohong ini mereka gembar-gemborkan
agar dapat menjadi alasan sujud mereka bersama Nabi Shallallâhu 'alaihi
wasallam ketika itu. Tentunya, respons semacam ini tidak begitu mengherankan
sekali sebab sumbernya adalah dari orang yang selama ini pekerjaannya suka
mengarang-ngarang dusta serta menghembuskan isu.
Berita
tersebut (tentang sujudnya kaum Quraisy-red) sampai ke telinga kaum muslimin
yang berhijrah di Habasyah akan tetapi versi beritanya sangat kontras dengan
realitas yang sebenarnya; yang sampai kepada mereka bahwa kaum Quraisy telah
masuk Islam. Oleh karena itu, merekapun kembali ke Mekkah pada bulan Syawwal di
tahun yang sama, namun ketika mereka berada di tempat yang tidak berapa jauh
dari Mekkah, yaitu sesaat di waktu siang lalu mereka akhirnya mengetahui duduk
persoalannya; sebagian mereka ada yang kembali lagi ke Habasyah sedangkan
sebagian yang lain ada yang memasuki Mekkah secara diam-diam atau berlindung di
bawah suaka seseorang dari suku Quraisy.
Hijrah Kedua ke negeri Habasyah
Setelah
peristiwa tersebut, kaum Quraisy meningkatkan frekuensi penindasan dan
penyiksaan terhadap mereka dan kaum muslimin secara umum, tak luput suku mereka
sendiri memperlakukan hal yang hampir sama. Meskipun demikian, kaum Quraisy
merasa gerah dengan berita yang mereka dapatkan bahwa an-Najasyi adalah seorang
raja yang memperlakukan tamunya dengan baik. Disamping itu, Rasulullah juga
telah memberikan isyarat bolehnya para shahabat berhijrah kembali ke negeri
Habasyah. Perjalanan hijrah kali ini dirasakan amat sulit dari perjalanan
sebelumnya mengingat kaum Quraisy sudah mengantisipasinya dan bertekad untuk
menggagalkannya. Akan tetapi, Allah memudahkan perjalanan kaum muslimin
sehingga mereka bergerak lebih cepat dan menuju kepada suaka an-Najasyi, raja
Habasyah sebelum kaum Quraisy menciumnya.
Hijrah
kali ini membawa rombongan yang terdiri dari 83 orang laki-laki - dalam hal
ini, riwayat yang menyatakan keikutsertaan 'Ammar bin Yasir dalam rombongan ini
masih diragukan kevalidannya - dan 18 atau 19 orang wanita.
Trik kaum Quraisy untuk memperdaya kaum muslimin yang
berhijrah ke Habasyah
Kaum
musyrikin tidak pernah merasa senang bila kaum muhajirin tersebut mendapatkan
keamanan bagi diri dan dien mereka. Untuk itulah, mereka mengutus dua orang
pilihan yang dikenal sebagai orang telah yang teruji lagi cerdik, yaitu 'Amru
bin al-'Ash dan 'Abdulullah bin Abi Rabi'ah – sebelum keduanya masuk Islam -.
Keduanya membawa titipan hadiah yang menggiurkan dari pemuka Quraisy untuk
an-Najasyi dan para uskupnya. Kedua orang ini mempersembahkan hadiah kepada
para uskup terlebih dahulu sambil membekali mereka beberapa alasan yang
dengannya kaum muslimin dapat diusir dari negerinya. Setelah para uskup
menyetujui untuk mengangkat permintaan keduanya tersebut kepada an-Najasyi agar
mengusir kaum muslimin, keduanya langsung berhadapan dengan sang raja,
menyerahkan beberapa buah hadiah kepadanya lalu berbicara dengannya. Keduanya
berkata: "wahai tuan raja! Sesungguhnya beberapa orang yang masih bau
kencur memasuki negeri anda sebagai orang asing; mereka meninggalkan agama kaum
mereka namun tidak juga menganut agamamu bahkan mereka membawa agama baru yang
tidak kami ketahui, demikian juga dengan tuan. Kami disini, adalah sebagai
utusan kepadamu. Diantara orang yang mengutus kami tersebut ada yang merupakan
pemuka kaum mereka dari nenek moyang, paman-paman serta suku mereka agar tuan
mengembalikan para pendatang ini kepada mereka. Tentunya, mereka lebih banyak
memantau tindak tanduk para pendatang tersebut dan polah mereka mencela dan
mencaci-maki mereka".
Para
uskup serta merta menimpali: "benar apa yang dikatakan oleh keduanya wahai
tuan raja! Serahkanlah mereka kepada keduanya agar keduanya membawa mereka pulang
ke kaum dan negeri mereka".
Akan
tetapi an-Najasyi berpandangan bahwa masalah ini perlu ada kejelasan dan
mendengarkan dari kedua belah pihak sekaligus. Lalu dia mengutus orang untuk
menemui kaum muslimin dan mengundang mereka untuk hadir. Merekapun
menghadirinya dan telah bersepakat akan mengatakan sejujur-jujurnya apa yang
telah terjadi. An-Najasyi berkata kepada mereka:"apa gerangan agama yang
bisa memisahkan kalian dari kaum kalian dan tidak membuat kalian masuk ke dalam
agamaku atau agama-agama yang lain?".
Ja'far
bin Abi Thalib sebagai juru bicara kaum muslimin bertutur:"wahai tuan
raja! Kami dahulunya adalah ahli Jahiliyyah; menyembah berhala, memakan bangkai
binatang, melakukan perbuatan keji, memutus tali rahim, suka mengusik tetangga.
Kaum yang kuat diantara kami menindas kaum yang lemah. Demikianlah kondisi kami
ketika itu, hingga Allah mengutus kepada kami seorang Rasul dari bangsa kami
sendiri yang kami tahu persis nasab, kejujuran, amanat serta kesucian dirinya.
Lalu dia mengajak kami kepada Allah guna mentauhidkan dan menyembahNya serta agar
kami tidak lagi menyembah batu dan berhala yang dulu disembah oleh nenek moyang
kami. Beliau memerintahkan kami agar berlaku jujur dalam bicara, melaksanakan
amanat, menyambung tali rahim, berbuat baik kepada tetangga dan menghindari
pertumpahan darah. Dia melarang kami melakukan perbuatan yang keji, berbicara
ngibul, memakan harta anak yatim serta menuduh wanita yang suci melakukan zina
tanpa bukti. Beliau memerintahkan kami agar menyembah Allah semata, tidak
menyekutukanNya dengan sesuatupun, memerintahkan kami agar melakukan shalat,
membayar zakat, berpuasa, (….selanjutnya Ja'far menyebutkan hal-hal lainnya) …
lalu kami membenarkan hal itu semua dan beriman kepadanya. Kami ikuti ajaran
yang dibawanya dari Allah ; kami sembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya
dengan sesuatupun, apa yang diharamkannya atas kami adalah haram menurut kami
dan dan apa yang dihalalkannya adalah halal menurut kami. Lantaran itu, kaum
kami malah memusuhi kami, menyiksa, merayu agar keluar dari agama yang
memerintahkan kami beribadah kepada Allah, dan mengajak kami kembali menyembah
berhala-berhala, menghalalkan kami melakukan perbuatan-perbuatan keji yang
dahulu pernah kami lakukan. Nah, manakala mereka memaksa kami, menganiaya,
mempersempit ruang gerak serta menghalangi agar kami tidak dapat melakukan
ritual agama, kami akhirnya menempuh jalan melarikan diri menuju negeri tuan.
Kami lebih memilih tuan daripada selain tuan dan lebih suka berada dibawah
suaka tuan. Ini semua dengan harapan agar kami tidak terzhalimi disisimu, wahai
tuan raja!".
An-Najasyi
bertanya: "apakah ada sesuatu yang dibawanya dari Allah bersama
kalian?". Ja'far menjawab: "ya! Ada". An-Najasyi bertanya lagi:
"tolong bacakan kepadaku!". Lalu dia membacakan permulaan surat
Maryam, firmanNya: "Kâf-hâ-yâ-'aîn-shâd". Manakala mendengar lantunan
ayat tersebut, demi Allah! (ucapan ini sebenarnya berasal dari penutur kisah
ini, yaitu Ummu Salamah yang menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri
peristiwa ini-red) sang rajapun menangis hingga air matanya membasahi
jenggotnya. Demikian pula dengan para uskupnya hingga air mata mereka membasahi
mushhaf-mushhaf (lembaran-lembaran-red) yang berada di tangan mereka. Kemudian
an-Najasyi berkata kepada mereka:"sesungguhnya ini dan apa yang dibawa
oleh 'Isa adalah bersumber dari satu lentera". Lalu kepada kedua utusan
Quraisy dia berkata:"pergilah kalian berdua, demi Allah, sekali-kali tidak
akan aku serahkan mereka kepada kalian dan tidak akan hal itu terjadi".
Keduanya pun keluar namun 'Amru bin al-'Ash sempat berkata kepada 'Abdullah bin
Rabi'ah: "demi Allah! sungguh akan aku datangi lagi dia besok pagi untuk
membicarakan perihal mereka dan akan aku habisi mereka (argumentasi kaum
muslimin-red) sebagaimana aku menghabisi ladang mereka". 'Abdullah bin
Rabi'ah berkata: "jangan kamu lakukan itu! Sesungguhnya mereka itu masih
memiliki hubungan tali rahim dengan kita sekalipun mereka menentang kita".
Akan tetapi 'Amru tetap ngotot dengan tekadnya.
Benar
saja, keesokan harinya dia mendatangi an-Najasyi dan berkata kepadanya:"wahai
tuan raja! Sesungguhnya mereka itu mengatakan suatu perkataan yang sangat
serius terhadap 'Isa bin Maryam". An-Najasyi pun mengirim utusan kepada
kaum muslimin untuk mempertanyakan perihal perkataan terhadap 'Isa al-Masih
tersebut. Mereka sempat kaget menyikapi hal itu, namun akhirnya tetap
bersepakat untuk berkata dengan sejujur-jujurnya apapun yang terjadi. Ketika
mereka datang di hadapan sang raja dan dia bertanya kepada mereka tentang hal
itu, Ja'far berkata kepadanya:"kami mengatakan tentangnya sebagaimana yang
dibawa oleh Nabi kami Shallallâhu 'alaihi wasallam : 'dia adalah hamba Allah,
Rasul-Nya, ruh-Nya dan kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam, si perawan
yang ahli ibadah".
An-Najasyi
kemudian memungut sebatang ranting pohon dari tanah seraya berujar:"demi
Allah! apa yang kamu ungkapkan itu tidak melangkahi 'Isa bin Maryam meski
seukuran ranting ini". Mendengar itu, para uskup mendengus, dan dengusan
itu angsung ditimpalinya:'demi Allah! sekalipun kalian mendengus".
Dia
kemudian berkata kepada kaum muslimin:"pergilah! Kalian akan aman di
negeriku. Siapa saja yang mencela kalian, maka dia akan celaka. Siapa saja yang
mencela kalian, maka dia akan celaka. Siapa saja yang mencela kalian, maka dia
akan celaka. Aku tidak akan menyakiti siapapun diantara kalian, meski aku
memiliki gunung emas" (perkataan itu diungkapkan dalam bahasa Habasyah).
Kemudian
an-Najasyi berkata kepada para pejabat istana: "Kembalikan hadiah-hadiah
tersebut kepada keduanya, karena aku tidak memerlukannya. Demi Allah! Dia Ta'ala
tidak pernah mengambil sogokan dariku tatkala kerajaan ini Dia kembalikan
kepadaku, sehingga dengan itu, aku patut mengambilnya pula, dan Dia juga tidak
membuat manusia patuh kepadaku sehingga aku harus patuh pula kepada mereka
karena itu".
Ummu
Salamah yang meriwayatkan kisah ini berkata: "kemudian keduanya keluar
dari hadapannya dengan raut muka yang kusam karena alasan yang dikemukakan
mental sama sekali. Setelah itu, kami menetap disisinya dengan penuh kenyamanan
bersama tetangga yang paling baik".
Riwayat
ini adalah versi Ibnu Ishaq, sedangkan riwayat lainnya menyebutkan bahwa
perutusan 'Amru bin al-'Ash kepada an-Najasyi terjadi setelah perang Badr.
Sebagian ahli sejarah menyinkronkan kedua versi riwayat tersebut dengan
menyatakan bahwa perutusan itu terjadi dua kali akan tetapi tanya jawab-tanya
jawab yang disebutkan terjadi antara an-Najasyi dan Ja'far dalam perutusan yang
kedua kalinya itu adalah hampir sama dengan apa yang diriwayatkan dalam versi
Ibnu Ishaq. Selain itu, materi yang termuat dalam pertanyaan-pertanyaan
tersebut menunjukkan terjadinya proses murâfa'at (pembelaan, pendengaran di
muka hakim dalam istilah hukum-red) pertama yang diadukan kepada an-Najasyi.
Drama Hijrah
Haekal
melukiskan kisah ini sebagai "kisah yang paling cemerlang dan indah yang
pernah dikenal manusia dalam sejarah pengejaran yang penuh bahaya, demi
kebenaran, keyakinan dan iman".
Yatsrib
atau Madinah sudah pasti menjadi masa depan Muhammad dan pengikutnya. Puluhan
muslimin telah menyelinap pergi ke sana. Kaum Qurais tak terlalu peduli.
Perhatian mereka pada Muhammad yang masih di Mekah yang tak akan mereka biarkan
lolos. Padahal Muhammad telah siap untuk pergi. Abu Bakar telah menyiapkan dua
unta baginya dan bagi Muhammad. Unta itu dipelihara Abdullah bin Uraiqiz.
Sampai
pada harinya, perintah Allah untuk hijrah pun turun. Muhammad memberi tahu Abu
Bakar. Para pemuda Qurais juga semakin ketat memata-matai rumah Muhammad.
Mereka sesekali mengintip ke dalam rumah, melihat Muhammad berbaring di tempat
tidurnya. Namun Muhammad meminta Ali mengenakan mantel hijaunya dari Hadramaut
serta tidur di dipannya. Kaum Qurais tenang. Mereka pikir Muhammad masih tidur.
Ketika esok harinya mendobrak pintu rumah Rasul, mereka hanya mendapati Ali
yang mengaku tak tahu menahu tentang keberadaan Muhammad.
Malam
itu, Muhammad telah menyelinap dari jalan belakang. Bersama Abu Bakar, ia
berjalan mengendap dalam gelap, menuju sebuah gua di bukit Tsur. Sebuah pilihan
cerdik. Kaum Qurais tentu menduga Muhammad menuju Yatsrib di utara Mekah.
Muhammad malah melangkah ke selatan. Kejadian ini juga memperlihatkan bahwa
Muhammad tetap menggunakan nalar yang wajar sebagai manusia. Jika mau, ia dapat
meminta perlindungan Allah berwujud kesaktian seperti yang dikejar-kejar banyak
manusia sekarang. Tapi tidak, Muhammad menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama
untuk kepentingan semacam itu.
Muhammad
dan Abu Bakar hanya menjalankan siasat biasa. Dalam persembunyiannya, mereka
tetap memasang telinga melalui Abdullah, anak Abu Bakar, yang tetap tinggal di
Mekah. Setiap malam, Abdullah menemui mereka di gua melaporkan perkembangan
suasana serta mengirim makanan yang disiapkan Aisyah dan saudaranya, Asma.
Setiap pagi, pembantu Abu Bakar -Amir bin Fuhaira-menggembala kambing menghapus
jejak itu.
Tiga
malam mereka bersembunyi di gua itu. Satu riwayat menyebut sejumlah pemuda
Qurais telah mencapai bibir gua. Abu Bakar gemetar meringkuk di sisi Muhammad.
Saat itu, Muhammad berbisik. "La tahzan, innallaaha ma'ana (Jangan sedih,
Allah bersama kita) ". Rasul juga menghibur dengan kata-kata, "Abu
Bakar, kalau kau menduga kita hanya berdua, Allah-lah yang ketiga."
Orang-orang Qurais itu lalu pergi. Konon mereka melihat sarang laba-laba serta
burung merpati mengerami telur di mulut gua. Tak mungkin Muhammad bersembunyi
di situ.
Setelah
aman, Abdullah bin Uraiqiz membawa keluar mereka. Tiga unta beriringan ke
Barat, berbekal makanan yang diikat dengan sobekan sabuk Asma. Abu Bakar
disebut membawa seluruh uang simpanannya sebesar 5 ribu dirham. Mereka berjalan
berputar menuju arah Tihama, dekat Laut Merah, melalui jalur yang paling jarang
dilalui manusia. Baru kemudian mereka berbelok ke utara, ke Yatsrib, menapaki
terik gurun. Siang-malam mereka terus berjalan.
Kaum
Qurais membuat sayembara dengan hadiah 100 unta bagi yang dapat menangkap
Muhammad. Suraqa bin Malik tergiur iming-iming itu. Ketika mendengar info ada
tiga orang berunta beriringan, ia mengelabui kawan-kawannya. "O.. itu
adalah si anu," begitu kira-kira ucapan Suraqa. Namun ia kemudian memacu
kudanya sendirian mengejar Muhammad. Sedemikian menggebu Suraqa, sehingga
kudanya tersungkur. Sekali lagi, ia tersungkur setelah dekat dengan Muhammad.
Suraqa lalu menyerah karena menganggap dirinya tengah sial.
Dua
pekan kemudian, Muhammad tiba di Quba -desa perkebunan kurma di luar kota
Yatsrib. Ia tinggal di sana selama empat hari dan membangun masjid sederhana.
Di sana pula Muhammad bertemu kembali dengan Ali yang berjalan kaki ke Yatsrib.
Mereka kemudian berjalan bersama menuju kota, dan disambut sangat meriah oleh
warga Yatsrib dengan bacaan salawat. Orang-orang Arab -baik yang Islam maupun
penyembah berhala-serta orang-orang Yahudi tumpah ruah untuk melihat sosok
Muhammad yang banyak diperbincangkan.
Orang-orang
berebut menawarkan rumahnya sebagai tempat tinggal Rasul. Tapi Muhammad
menyebut bahwa ia akan tinggal di mana untanya berhenti sendiri. Sampai ke
sebuah tempat penjemuran korma, unta itu berlutut. Muhammad menanyatakn tempat
itu milik siapa. Ma'adh bin Afra menjawab, rumah itu milik Sahal dan Suhail
-dua orang yatim dari Banu Najjar.
Setelah
dibeli, rumah itu pun dibangun menjadi masjid. Hanya sebagian dari ruangan
masjid itu yang beratap. Di sanalah orang-orang miskin --dari berbagai tempat
yang datang menemui Muhammad untuk memeluk Islam-- kemudian ditampung. Muhammad
membangun rumah kecil bagi keluarganya di sisi masjid itu. Semasa pembangunan
rumah itu, Rasul tinggal di rumah keluarga Abu Ayyub Khalid bin Zaid. Sekarang
masjid yang dibangun Rasulullah itu menjadi masjid Nabawi yang teduh di Madinah.
Sedangkan rumah tinggalnya menjadi tempat makam Rasul yang kini berada di dalam
masjid Nabawi.
Pada
usia 53 tahun -setelah 13 tahun masa kerasulannya serta membangun pondasi
keislaman-Muhammad membuat langkah besar itu: hijrah. Langkah berbahaya namun
mengantarkannya menjadi pemimpin utuh. Pemimpin keagamaan, kemasyarakatan juga
politik. Peristiwa pada tahun 623 Masehi itu sekaligus mengajarkan keharusan
umat Islam untuk berani menempuh langkah besar untuk mencari lingkungan atau
lahan baru yang memungkinkan benih kebenaran dan kebajikan tumbuh lebih subur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar