Selasa, 06 Maret 2012

Mutiara Wirausaha Melalui Islam


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Ajaran Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia sebagaimana firman Allah Swt (artinya) : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam sebagai agama bagimu. (QS. Al-Maidah 5 : 3). Oleh karenanya Islam adalah sebuah aturan, norma, pola hidup yang melingkupi kehidupan manusia dan menjadi pedoman dalam mengarungi kehidupannya yang selanjutnya pedoman itu dijabarkan dalam fiqih Islam. Sedang fiqih itu sendiri adalah suatu pola hidup yang ditawarkan Islam dalam bentuk pemahaman secara mendalam terhadap hukum dan ketentuan Allah untuk diaplikasikan dalam kehidupan manusia.
Adapun kewirausahaan dalam disiplin ilmu fiqh merupakan bagian pembahasan mu'amalah. Sedangkan perdagangan adalah bahagian dari kegiatan kewirausahaan. Bila kita berbicara tentang kewirausahaan menurut pandangan Islam, maka rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam kegiatan ini adalah teori-teori yang telah di gambarkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah sebagai norma dan etika dalam berwirausaha khususnya dalam perdagangan.
Jual beli adalah interaksi antara si penjual dan pembeli. Di setiap interaksi, kerap kali kita jumpai terjadinya kesenjangan dan permasalahan sosial. Karenanya, kedua belah pihak (penjual dan pembeli) haruslah jeli memperhatikan setiap permasalaha tersebut. Sehingga keduanya bersifat antisipatif untuk mencegah polemik yang timbul diakibatkan oleh permasalahan yang terjadi dalam proses jual beli.
Selanjutnya, dalam jual beli juga ada istilah ‘Khiyar’ yang artinya pembatalan jual beli (ruju’), dengan catatan : sipenjual dan pembeli harus mengetahui adanya sebab-sebab tertentu yang membolehkan khiyar itersebut, sehingga tidak ada pihak yang merasa di rugikan. Didalam fiqih mu’amalah, permasalahan jual beli dan syarat-syarat khiyar di bahas secara tuntas dan gamblang. Oleh sebab itu, seyogyanya pedagang harus memperhatikan dan memahami hal-hal yang terkait dengan permasalahan jual beli serta syarat-syarat khiyar tersebut.
Islam juga mengajarkan bagaimana manusia itu giat dalam menjalani aktifitas dan semangat bekerja keras untuk mencari nafkah dan menjawab kebutuhan sehari-hari. Allah SWT, menyeru manusia untuk bertebaran di muka bumi untuk menuntut karunia Allah, dalam hal ini maksudnya adalah rezki Allah. Bahkan Rasulullah pun sangat menganjurkan kepada ummatnya untuk giat dalam bekerja. Tidak sedikit hadits Rasulullah yang menegaskan tentang hal itu.
Untuk selengkapnya, mari kita cermati paparan isi makalah ini. Bagaimana etika dalam berdagang, motif perdagangan, sifat-sifat yang harus dimiliki oleh para pedagang, etios kerja seorang muslim (tentang perintah kerja keras), konsep hutang piutang, serta anjuran kepada pimpinan untuk membina baeahannya.

B.       Tujuan
Ada pun tujuan dari penyajian makalah ini sebagai berikut :
1.      Memenuhi tugas mata kuliah
2.      Memberi pemahaman terhadap pembaca khususnya mahasiswa tentang etika dan permasalahan dalam dunia usaha (perdagangan), sehingga menjadi ucuan dalam mengeluti usaha perdagangan.
3.      Memberi pedoman kepada pembaca agar menjadi pedagang yang agamis.
4.      Memberikan sumbangan pemikiran terhadap para pengusaha muslim untuk mejadi pengusaha sukses dunia akhirat.







BAB II
PEMBAHASAN

MUTIARA KEWIRAUSAHAAN MELALUI ISLAM
A.      Kegiatan Kewirausahaan di bidang Perdagangan Menurut Pandangan Islam
Berwirausaha memberi peluang kepada orang lain untuk berbuat baik dengan cara memberikan pelayanan yang cepat, membantu kemudahan bagi orang yang berbelanja, memberi potongan, dll. Perbuatan baik akan selalu menenangkan pikiran yang kemudian akan turut membantu kesehatan jasmani. Hal ini seperti yang diungkapkan dalam buku The Healing Brain yang menyatakan bahwa fungsi utama otak bukanlah untuk berfikir, tetapi untuk mengembaliakn kesehatan tubuh. Vitalitas otak dalam menjaga kesehatan banyak dipengaruhi oleh frekwensi perbuatan baik. Dan aspek kerja otak yang paling utama adalah bergaul, bermuamalah, bekerja sama, tolong menolong, dan kegiatan komunikasi dengan orang lain.
Islam memang tidak memberikan penjelasan secara eksplisit terkait konsep tentang kewirausahaan ini, namun di antara keduanya mempunyai kaitan yang cukup erat, memiliki ruh atau jiwa yang sangat dekat, meskipun bahasa teknis yang digunakan berbeda.
Dalam sejarahnya Nabi Muhammad, istrinya dan sebagian besar sahabatnya adalah para pedagang mancanegara yang piawai. Beliau adalah praktisi ekonomi dan sosok tauladan bagi umat. Islam adalah agama kaum pedagang, disebarkan ke seluruh dunia setidaknya sampai abad ke -13 M, oleh para pedagang muslim.
Dari aktivitas perdagangan yang dilakukan, Nabi dan sebagian besar sahabat telah merubah pandangan dunia bahwa kemuliaan seseorang bukan terletak pada kebangsawanan darah, tidak pula pada jabatan yang tinggi, atau uang yang banyak, melainkan pada pekerjaan. Oleh karena itu, Nabi juga bersabda “Innallaha yuhibbul muhtarif” (sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang bekerja untuk mendapatkan penghasilan). Umar Ibnu Khattab mengatakan sebaliknya bahwa, “Aku benci salah seorang di antara kalian yang tidak mau bekerja yang menyangkut urusan dunia.
Keberadaan Islam di Indonesia juga disebarkan oleh para pedagang. Di samping menyebarkan ilmu agama, para pedagang ini juga mewariskan keahlian berdagang khususnya kepada masyarakat pesisir. Di wilayah Pantura, misalnya, sebagian besar masyarakatnya memiliki basis keagamaan yang kuat, kegiatan mengaji dan berbisnis sudah menjadi satu istilah yang sangat akrab dan menyatu sehingga muncul istilah yang sangat terkenal jigang (ngaji dan dagang). Sejarah juga mencatat sejumlah tokoh Islam terkenal yang juga sebagai pengusaha tangguh, Abdul Ghani Aziz, Agus Dasaad, Djohan Soetan, Perpatih, Jhohan Soelaiman, Haji Samanhudi, Haji Syamsuddin, Niti Semito, dan Rahman Tamin.
Apa yang tergambar di atas, setidaknya dapat menjadi bukti nyata bahwa etos bisnis yang dimiliki oleh umat Islam sangatlah tinggi, atau dengan kata lain Islam dan berdagang ibarat dua sisi dari satu keping mata uang. Benarlah apa yang disabdakan oleh Nabi, “Hendaklah kamu berdagang karena di dalamnya terdapat 90 persen pintu rizki” (HR. Ahmad).

a.      Motif berwirausaha di bidang perdagangan :
  1. Berdagang untuk cari untung.
Pekerjaan berdagang adalah sebagian dari pekerjaan bisnis yang sebagian besar bertujuan untuk mencari laba sehingga seringkali untuk mencapainya dilakukan hal-hal yang tidak baik. Padahal ini sangat dilarang dalam agama Islam. Seperti diungkapkan dalam hadis : “ Allah mengasihi orang yang bermurah hati waktu menjual, waktu membeli, dan waktu menagih piutang.”
Pekerjaan berdagang masih dianggap sebagai suatu pekerjaan yang rendahan karena biasanya berdagang dilakukan dengan penuh trik, penipuan, ketidakjujuran. Penyelewengan seperti ini berdampak buruk kepada perdangan, padahal perdangan adalah salah satu usaha dan pekerjaaan Rasulullah SAW.
2.      Berdagang adalah Hobi
Konsep berdagang adalah hobi banyak dianut oleh para pedagang dari Cina. Mereka menekuni kegiatan berdagang ini dengan sebaik-baiknya dengan melakukan berbagai macam terobosan.Yaitu dengan open display (melakukan pajangan di halaman terbuka untuk menarik minat orang), window display (melakukan pajangan di depan toko), interior display (pajangan yang disusun didalam toko), dan close display (pajangan khusus barang-barang berharga agar tidak dicuri oleh orang yang jahat).
3.      Berdagang Adalah Ibadah
Bagi umat Islam berdagang lebih kepada bentuk Ibadah kepada Allah swt. Karena apapun yang kita lakukan harus memiliki niat untuk beribadah agar mendapat berkah. Berdagang dengan niat ini akan mempermudah jalan kita mendapatkan rezeki. Para pedagang dapat mengambil barang dari tempat grosir dan menjual ditempatnya. Dengan demikian masyarakat yang ada disekitarnya tidak perlu jauh untuk membeli barang yang sama. Sehingga nantinya akan terbentuk patronage buying motive yaitu suatu motif berbelanja ketoko tertentu saja.
4.      Perdagangan Pekerjaan Mulia Dalam Islam
Pekerjaan berdagang ini mendapat tempat terhormat dalam ajaran Islam, seperti disabdakan Rasul yang artinya :
Mata pencarian apakah yang paling baik, Ya Rasulullah?”Jawab beliau: Ialah seseorang yang bekerja dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang bersih.” (HR. Al-Bazzar).

Dalam QS.Al-Baqarah:275 dijelaskan bahwa Allah swt telah menghalalkan kegiatan jual beli dan mengharamkan riba. Kegiatan riba ini sangat merugikan karena membuat kegiatan perdagangan tidak berkembang. Hal ini disebabkan karena uang dan modal hanya berputar pada satu pihak saja yang akhirnya dapat mengeksploitasi masyarakat yang terdesak kebutuhan hidup.

b.        Sifat-sifat yang harus dimiliki pedagang
Dalam perdagangan, seorang pedagang berorientasi kepada laba yang akan diperoleh dari hasil perdagangan. Akan tetapi pedagang juga harus memperhatikan beberapa etika dan perilaku terpuji dalam Perdagangan.
Menurut Imam Ghazali, ada 8 sifat dan perilaku yang terpuji dalam perdagangan, yaitu :
1.      Sifat Takwa, Tawakkal, Zikir, dan Syukur
Sifat ini harus dimiliki oleh wirausahawan karena dengan sifat-sifat itu kita akan diberi kemudahan dalam menjalankan setiap usaha yang kita lakukan. Dengan adanya sifat takwa maka kita akan diberi jalan keluar penyelesaian dari suatu masalah dan mendapat rizki yang tidak disangka. Dengan sikap tawakkal, kita akan mengalami kemudahan dalam menjalankan usaha walaupun usaha yang kita jalani memiliki banyak saingan. Dengan bertakwa dan bertawakkal maka kita akan senantiasa berzikir untuk mengingat Allah dan bersyukur sebagai ungkapan terima kasih atas segala kemudahan yang kita terima. Dengan begitu, maka kita akan merasakan tenang dan melaksanakan segala usaha dengan kepala dingin dan tidak stress.

2.      Tidak mengambil laba lebih banyak.
Membayar harga yang sedikit lebih mahal kepada pedagang yang miskin. Memurahkan harga dan memberi potongan kepada pembeli yang miskin sehingga akan melipatgandakan pahala. Bila membayar hutang, maka bayarlah lebih cepat dari waktu yang telah ditetapkan. Membatalkan jual beli bila pihak pembeli menginginkannya. Bila menjual bahan pangan kepada orang miskin secara cicilan, maka jangan ditagih apabila orang tersebut tidak mampu membayarnya dan membebaskan ia dari hutang apabila meninggal dunia.
3.      Jujur
Dalam suatu hadist diriwayatkan bahwa :”Kejujuran akan membawa ketenangan dan ketidakjujuran akan menimbulkan keragu-raguan.”(HR. Tirmidzi).

Jujur dalam segala kegiatan yang berhubungan dengan orang lain maka akan membuat tenang lahir dan batin.
4.      Niat Suci dan Ibadah
Bagi seorang muslim kegiatan bisnis senantiasa diniatkan untuk beribadah kepada Allah sehingga hasil yang didapat nanti juga akan digunakan untuk kepentingan dijalan Allah.
5.      Azzam dan bangun Lebih Pagi
Rasul saw mengajarkan agar kita berusaha mencari rezeki mulai pagi hari setelah shalat subuh. Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa :
”Hai anakku, bangunlah!sambutlah rizki dari Rabb-mu dan janganlah kamu tergolong orang yang lalai, karena sesungguhnya Allah membagikan rizki manusia antara terbitnya fajar sampai menjelang terbitnya matahari.”(HR. Baihaqi)

6.      Toleransi
Sikap toleransi diperlukan dalam bisnis sehingga kita dapat menjadi pribadi bisnis yang mudah bergaul, supel, fleksibel, toleransi terhadap langganan dan tidak kaku.
7.      Berzakat dan Berinfak
Hadits Rasulullhah :
Artinya :“Tidaklah harta itu akan berkurang karena disedekahkan dan Allah tidak akan akan menambahkan orang yang suka memberi maaf kecuali kemuliaan. Dan tidaklah seorang yang suka merendahkan diri karena Allah melainkan Allah akan meninggikan derajatnya.”(HR. Muslim).

Dalam hadist tersebut telah diungkapkan bahwa dengan berzakat dan berinfak maka kita tidak akan miskin, melainkan Allah akan melipat gandakan rizki kita. Dengan berzakat, hal itu juga akan membersihkan harta kita sehingga harta yang kita peroleh memang benar-benar harta yang halal.
8.      Silaturahmi
Dalam usaha, adanya seorang partner sangat dibutuhkan demi lancarnya usaha yang kita lakukan. Silaturrahmi ini dapat mempererat ikatan kekeluargaan dan memberikan peluang-peluang bisnis baru. Pentingnya silaturahmi ini juga dapat dilihat dari hadist berikut :
Artinya :”Siapa yang ingin murah rizkinya dan panjang umurnya, maka hendaklah ia mempererat hubungan silaturahmi.”(HR. Bukhari)

c.    Masalah-masalah yang berkaitan dengan jual beli:
1.             Tas'ir: yaitu menentukan harga yang terbatas untuk komoditi, selama pemilik tidak dizalimi dan pembeli tidak tercekik.
Diharamkan tas'ir (penentuan harga) apabila mengandung kezaliman kepada manusia, atau memaksa mereka dengan cara yang tidak benar dengan sesuatu yang tidak mereka senangi, atau menghalangi mereka dari sesuatu yang Allah SWT bolehkan untuk mereka.
Boleh menentukan harga apabila tidak sempurna kepentingan manusia (orang banyak) kecuali dengannya, seperti pemilik komoditi tidak mau menjualnya kecuali dengan harga lebih, padahal orang banyak sangat membutuhkannya. Maka ditentukan harga dengan nilai standar, tidak berbahaya dan tidak membahayakan orang lain.
2.             Ihtikar (monopoli): yaitu membeli komoditi dan menahannya supaya menjadi sedikit di tengah-tengah manusia, lalu harganya menjadi naik.
Ihtikar hukumnya haram, karena mengandung sifat serakah, rakus dan mencekik manusia, dan barang siapa yang melakukan ihtikar maka ia melakukan kesalahan.
3.             Tawarruq: Apabila seseorang membutuhkan uang kontan dan ia tidak menemukan orang yang memberikan pinjaman, maka ia boleh membeli suatu komoditi/barang secara bertempo, kemudian ia menjualnya bukan kepada yang pertama dan mengambil manfaat dengan harganya.
Jual beli 'arbuun (uang muka): yaitu menjual suatu komoditi disertai penyerahan uang dari pembeli kepada penjual, bahwa jika ia mengambil komoditi itu, uang itu sudah termasuk harga, dan jika meninggalkannya, maka uang yang diserahkan menjadi milik penjual, yang merupakan uang muka. Jual beli ini hukumnya boleh, apabila dibatasi masa menunggu dengan masa yang sudah ditentukan.
d.        Pembagian-pembagian khiyar:
Khiyar adalah pembatalan jual beli yang disebabkan oleh beberapa factor. khiyar terdiri dari beberapa bagian, di antaranya adalah:
1.         Khiyar majelis: dan ia ada pada jual beli, berdamai, sewa-menyewa, dan selainnya dari penukaran yang tujuannya adalah harta. Ia adalah hak dua orang yang melakukan jual beli secara bersamaan. Dan waktunya adalah dari saat transaksi sampai berpisah dengan badan. Jika keduanya menggugurkannya, gugurlah ia. Jika salah satu dari keduanya menggugurkannya, niscaya tersisa khiyar yang lain. Maka apabila keduanya berpisah, terjadilah jual beli. Dan haram berpisah dari majelis karena takut ia mengundurkan diri.
2.         Khiyar syarat: yaitu dua orang yang melakukan jual beli atau salah satunya mensyaratkan khiyar hingga masa yang sudah diketahui, maka sah syarat itu, sekalipun lama. Masanya dari saat transaksi hingga berakhirnya masa yang disyaratkan. Dan apabila berlalu masa khiyar dan yang mensyaratkan tidak membatalkan penjualan, niscaya tetaplah jual beli. Dan jika keduanya memutuskan khiyar saat masa itu, niscaya batalah, karena hak untuk keduanya.
3.         Khiyar perbedaan penjual dan pembeli: seperti jikalau keduanya berbeda pada kadar harga, atau benda yang dijual, atau sifatnya, dan tidak ada saksi, maka ucapan adalah ucapan penjual disertai sumpahnya, dan pemberi diberi pilihan antara menerima atau membatalkan.
4.         Khiyar 'aib: yaitu sesuatu yang mengurangi nilai yang dijual. Apabila (seseorang) membeli suatu komoditi dan ia menemukan cacat padanya, maka boleh memilih (khiyar), bisa jadi ia mengembalikannya dan mengambil harganya, atau menahannya dan mengambil tambalan cacat itu. Maka dinilai komoditi yang tanpa cacat, kemudian dinilai yang cacat dan ia mengambil perbedaan di antara keduanya. Dan jika keduanya berbeda pendapat di sisi siapa terjadinya cacat itu seperti pincang (bagi binatang), dan rusaknya makanan, maka ucapan (yang diterima adalah) ucapan penjual diserta sumpahnya, atau keduanya saling mengembalikan.
5.         Khiyar ghubn (penipuan, kecurangan): yaitu pembeli atau penjual melakukan penipuan/kecurangan pada komoditi, kecurangan yang keluar dari kebiasaan atau 'uruf. Hukumnya adalah haram. Apabila seseorang merasa dicurangi, maka ia mempunyai hak khiyar di antara menahan dan membatalkan, seperti orang yang tertipu dengan orang yang menghadap rombongan (yang mau memasuki pasar), atau tambahan orang yang meninggikan harga (najisy) yang tidak ingin membeli, atau ia tidak mengetahui nilai dan tidak pandai menawar dalam jual beli, maka ia mempunyai hak khiyar.
6.         Khiyar tadlis (penyamaran): yaitu penjual menampakkan (memperlihatkan, memajang) suatu komoditi dengan penampilan yang disenangi padanya, padahal ia kosong darinya. seperti membiarkan laban (susu) di tetek (kambing, sapi, unta) saat menjual supaya pembeli mengira banyak susunya, dan semisal yang demikian itu. Perbuatan ini hukumnya haram. Maka apabila hal itu terjadi, maka ia (pembeli) memiliki hak khiyar di antara menahan atau membatalkan. Apabila ia telah memerah susunya, kemudian mengembalikannya, ia mengembalikan bersamanya satu sha' kurma sebagai gantian susu.
7.         Khiyar mengabarkan harga apabila nyata perbedaan kenyataan (realita), atau kurang dari yang dia kabarkan, maka pembeli memiliki hak khiyar di antara menahan dan mengambil (harga) perbedaan atau membatalkan. Sebagaimana jikalau ia membeli pulpen dengan harga seratus (100). Lalu datanglah kepadanya seseorang dan berkata, 'Juallah kepadaku dengan harga pokoknya.' Ia berkata, 'Harga pokoknya (modalnya) adalah seratus lima puluh (150).' Lalu ia menjual kepadanya. Kemudian jelas kebohongan penjual, maka pembeli mempunyai hak khiyar. Dan tetapi khiyar ini pada tauliyah (pemberian hak wali), syarikah (perusahaan bersama), murabahah, muwadha'ah. Dan dalam semua itu, pembeli dan penjual harus mengetahui modal harta.
Apabila telah nampak bahwa pembeli itu susah atau curang, maka pembeli mempunyak hak membatalkan jika ia menghendaki untuk memelihara hartanya.

B.       Perintah Kerja Keras
Dalam Islam digunakan istilah kerja keras, kemandirian (بيده), dan tidak cengeng. Setidaknya terdapat beberapa ayat al-Qur’an maupun Hadits yang dapat menjadi rujukan pesan tentang semangat kerja keras dan kemandirian ini, seperti;
1.      Firman Allah SWT :
وقل اعملوا فسيرى الله عملكم...الأيات
Artinya : “Bekerjalah kamu, maka Allah dan orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan kamu”(Q.S. At-Taubah : 105)

2.      Sabda Rasulullah SAW :
عمل الرجال بيده
Artinya :“Amal yang paling baik adalah pekerjaan yang dilakukan dengan cucuran keringatnya sendiri” (HR. Abu Dawud)

3.      Sabda Rasulullah SAW :
اليد العليا خير من يد السفلى
Artinya : “Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dengan bahasa yang sangat simbolik ini Nabi mendorong umatnya untuk kerja keras supaya memiliki kekayaan, sehingga dapat memberikan sesuatu pada orang lain. “Manusia harus membayar zakat (Allah mewajibkan manusia untuk bekerja keras agar kaya dan dapat menjalankan kewajiban membayar zakat)”. Oleh karena itu, apabila shalat telah ditunaikan maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia (rizki) Allah. (Q.S. al-Jumu’ah : 10)

4.      Sabda Rasulullah SAW :
إن طلب الرزق الحلال فريضة بعد فراغ الفرض
Artinya : “Sesungguhnya bekerja mencari rizki yang halal itu merupakan kewajiban setelah ibadah fardlu” (HR.Tabrani dan Baihaqi).

Nash-Nahs tersebut di atas jelas memberikan isyarat agar manusia bekerja keras dan hidup mandiri. Bekerja keras merupakan esensi dari kewirausahaan. Prinsip kerja keras, menurut Wafiduddin, adalah suatu langkah nyata yang dapat menghasilkan kesuksesan (rezeki), tetapi harus melalui proses yang penuh dengan tantangan (reziko). Dengan kata lain, orang yang berani melewati resiko akan memperoleh peluang rizki yang besar. Kata rizki memiliki makna bersayap, rezeki sekaligus resiko.
Kemauan yang keras dapat menggerakkan motivasi untuk bekerja dengan sungguh-sungguh. Orang akan berhasil apabila mau bekerja keras, tahan menderita, dan mampu berjuang untuk memperbaiki nasibnya. Menurut Murphy dan Peck, untuk mencapai sukses dalam karir seseorang, maka harus dimulai dengan kerja keras. Kemudian diikuti dengan mencapai tujuan dengan orang lain, penampilan yang baik, keyakinan diri, membuat keputusan, pendidikan, dorongan ambisi, dan pintar berkomunikasi. Allah memerintahkan kita untuk tawakkal dan bekerja keras untuk dapat mengubah nasib. Jadi intinya adalah inisiatif, motivasi, kreatif yang akan menumbuhkan kreativitas untuk perbaikan hidup. Selain itu kita juga dianjurkan untuk tetap berdoa dan memohon perlindungan kepada Allah swt sesibuk apapun kita berusaha karena Dialah yang menentukan akhir dari setiap usaha.

C.      Manajemen Utang Piutang
1.      Konsep Sosial (muamalah) Dalam Islam
Manusia dalam hidup dan kehidupannya tidak dapat melepaskan diri dari hidup berkelompok, yang demikian sudah terlihat semenjak manusia itu lahir. Pakar sosiologi Ellwood menyatakan; kehidupan sosial harus dipandang sebagai satuan tabiat kejiwaan yang lebih tinggi dan lebih sesuai yang telah tumbuh dari satuan biologi.[1]
Unsur-unsur keharusan biologi manusia untuk hidup dan berkehidupan sosial dapat diketahui dari berbagai macam pendekatan di antaranya ialah;  kebutuhan untuk perlindungan; kebutuhan untuk makan; kebutuhan untuk berkembang biak; dan kebutuhan untuk bermasyarakat.[2]
Memenuhi kebutuhan tersebut, manusia dengan segenap potensi yang ada berupaya memperoleh kebutuhan mereka berdasarkan kemampuan masing-masing. Hal demikian teridentifikasi dari hasil usaha manusia yang variatif dan berimplikasi kepada tingkatan sosial mereka.

2.      Konsep hutang piutang menurut Al-Quran
Tingkatan sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia akan menyebabkan kebaikan bagi mereka jika satu dengan yang lain saling mengisi dan tidak saling menzalimi. Konsep sosial seperti itulah yang diatur dalam Al-Quran untuk terjaga keharmonisan sosial sebagai kebutuhan dasar bagi umat manusia. Perbedaan tingkatan sosial manusia antara lain adalah terjadi dalam aspek perekonomian. Perbedaan itulah yang melatari perbuatan utang piutang kerap terjadi dalam kehidupan manusia. Al-Quran sebagai pedoman umat Islam menjelaskan secara rinci tentang perbuatan tersebut yaitu pada ayat 282 dari surat Al-Baqarah.
Mengawali ayat tersebut, Allah SWT. berfirman :
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3uø9ur öNä3uZ÷­/ 7=Ï?$Ÿ2 ÉAôyèø9$$Î/ 4 Ÿwur z>ù'tƒ ë=Ï?%x. br& |=çFõ3tƒ $yJŸ2 çmyJ¯=tã ª!$# 4 ó=çGò6uù=sù È@Î=ôJãŠø9ur Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u Ÿwur ó§yö7tƒ çm÷ZÏB $\«øx© 4 bÎ*sù tb%x. Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# $·gŠÏÿy ÷rr& $¸ÿÏè|Ê ÷rr& Ÿw ßìÏÜtGó¡o br& ¨@ÏJムuqèd ö@Î=ôJãŠù=sù ¼çmÏ9ur ÉAôyèø9$$Î/ 4 (#rßÎhô±tFó$#ur ÈûøïyÍky­ `ÏB öNà6Ï9%y`Íh ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3tƒ Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#ypk9$# br& ¨@ÅÒs? $yJßg1y÷nÎ) tÅe2xçFsù $yJßg1y÷nÎ) 3t÷zW{$# 4 Ÿwur z>ù'tƒ âä!#ypk9$# #sŒÎ) $tB (#qããߊ 4 Ÿwur (#þqßJt«ó¡s? br& çnqç7çFõ3s? #·ŽÉó|¹ ÷rr& #·ŽÎ7Ÿ2 #n<Î) ¾Ï&Î#y_r& 4
Artinya :“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya”...Al-Ayah. (QS. Al-Baqarah : 282)
Dalam penafsiran ini, tadaayantum diartikan dengan muamalah karena  utang piutang merupakan perbuatan sosial manusia yang di dalamnya terlibat debitor (pemberi utang) dan kreditor (orang yang berutang).
Ayat tersebut, Allah SWT. menuntun hamba-Nya yang mukmin, jika mereka bermuamalah hutang piutang hendaknya ditulis supaya jelas jumlahnya, waktunya, dan memudahkan untuk persaksian.
Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan hutang piutang yang terjamin, jelas masanya dan telah dihalalkan oleh Allah SWT. Beliau juga mengatakan, ketika Rasulullah SAW. sampai di kota Madinah dijumpai di sana orang biasa meminjamkan buah untuk setahun, dua tahun atau tiga tahun, maka Rasulullah SAW. bersabda,
Artinya : “ Barangsiapa meminjamkan harus meminjamkan dengan takaran yang tertentu, timbangan yang tertentu dan masa yang tertentu. (HR. Bukhari – Muslim).

Pada ayat di atas “hendaklah kamu menuliskannya”, Ibnu Katsir memahami perintah menulis di sini hanya merupakan petunjuk ke jalan yang baik dan terjaminnya keselamatan yang diharapkan, bukan perintah wajib. Ibnu Juraij berkata, “pada mulanya perintah menulis itu wajib, kemudian kewajiban itu di-nasakh dengan ayat 283 QS. Al-Baqarah :[3]
 bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ
Artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al-Baqarah :283)

Di akhir ayat tersebut nyata bahwa tidak ada tulis menulis lanjut Ibnu Juraij. Menuliskan utang piutang sebagai manajemen sosial manusia berdasarkan ayat di atas dalam bentuk “anjuran” dan bukan sebuah “kewajiban” adalah   sebuah petunjuk yang melegitimasikan bahwa dalam diri manusia mempunyai dua kecenderungan yang berbeda yaitu baik (taqwa) dan buruk (fujur).
Hal tersebut sebagaimana firman Allah SWT. dalam Al – Quran surat Asy-Syamsu ayat 8-10 yang artinya :
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa manusia sifat fujur dan takwa. Sungguh bahagia orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh celaka orang yang mengotori jiwanya”.

Berdasarkan kecenderungan jiwa manusia sebagaimana yang tertuang dalam QS. Asy-Syamsu ayat 8-10 dan telah dibuktikan secara ilmiah melalui ilmu psykologi manusia. Maka perintah Allah SWT. kepada manusia untuk mencatat utang piutang merupakan sebuah konsep yang terbaik untuk keutuhan kehidupan sosial manusia sendiri. Dengan konsep demikianlah kenyamanan (prudential) manusia terwujud.
Kendatipun pencatatan utang piutang bukan sebuah kewajiban, akan tetapi dalam keadaan tertentu, pencatatan tersebut menjadi wajib apalagi berkaitan dengan kepentingan manusia secara umum (maslahah ‘ammah). Karena hukum  Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Hal demikian didasarkan kepada kaidah ushul fiqh, “al-Maslahatul ‘ammah muqaddimatun minal maslahatil syakhsiyah (kepentingan umum lebih diutamakan daripada kepentingan pribadi)”.
Pencatatan utang piutang sebagai sebuah konsep yang dibutuhkan oleh manusia juga diperkuat oleh keberadaan ilmu akuntansi sebagai sebuah pengetahuan yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Ilmu tersebut berkonsentrasi tentang proses mengenali, mengukur dan mengkomunikasikan informasi ekonomi untuk memperoleh pertimbangan dan keputusan yang tepat oleh pemakai informasi yang bersangkutan. Kemudian output-output dari pengetahuan tersebut diintegrasikan menjadi sebuah definisi akuntansi secara luas.[4]
Ayat selanjutnya Allah SWT. berfirman, artinya : “ Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan (menolak) menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis.[5]

Maksud dari firman tersebut, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah SWT. mengajarkan supaya antara orang yang berhutang dan yang mengutang ada pencatat, yaitu seorang yang adil, jujur dan tidak memiliki kepentingan, hanya semata-mata memberikan tenaga yang dibutuhkan oleh saudara sesama muslim.
Sedangkan orang yang dimintakan bantuan untuk menuliskan transaksi tersebut adalah sebuah kewajiban untuk ditunaikan menurut Ibnu Katsir. Hal demikian terpahami dari hadis Rasulullah SAW. yang artinya: “Sesungguhnya setengah daripada sedaqah adalah membantu pekerjaan orang yang tidak mampu dikerjakan”.
Dalam hadis yang lain, artinya : “Barangsiapa yang menyembunyikan ilmu yang diketahuinya, akan dikendalikan di hari kiamat dengan kendali api neraka”.[6]
Dalam dunia akuntansi, pengajaran Allah SWT. tersebut telah diterapkan secara utuh. Sebagai sebuah disiplin ilmu, mengaplikasikan sebuah metode atau konsep adalah berangkat dari proses-proses eksperimen ilmiah. Begitu juga dengan akuntansi sebagai sebuah ilmu.
Hasil dari sebuah penelitian, pakar akuntansi Marcus Aurelius melaporkan bahwa, karakter ideal para akuntan adalah, “Seseorang hendaknya berkepribadian jujur; bukan diperintahkan jujur”.[7] Pandangan Marcus tersebut menjadi nyata bahwa ajaran Al-Quran sangat memahami konsep sosial berdasarkan kebutuhan manusia.
Masih dalam ayat yang sama, Allah melanjutkan firman yang artinya: “ Dan hendaklah orang yang berhutang itu mendiktekan (apa yang ditulis), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya”.

Firman Allah SWT. di atas bermaksud bahwa dalam proses pencatatan utang, data – data tersebut bersumber dari pihak pengutang bukan dari pemberi hutang. Karena posisi orang yang berhutang adalah pihak yang lemah dibandingkan dengan pemberi utang. Kendati pun demikian, Allah tetap memperingatkan orang yang berhutang untuk bertakwa kepada-Nya, jangan sampai mengurangi atau merugikan pihak pemberi utang dan jangan menyembunyikan apa pun dalam perjanjian tersebut.
Firman Allah SWT. di atas mengingatkan kita kepada diskripsi Kelly tentang psychopathology manusia yang cenderungan menerapkan konsep hostility yaitu seseorang mencoba untuk membuat orang lain berbuat dengan cara yang sesuai dengan harapan dia. Dan dalam firman Allah SWT. di atas memberikan sinyal tentang eksistensi hostility dalam diri manusia yaitu dengan melindungi pihak yang berhutang dari tekanan (pressure) pemberi hutang dengan cara menjadikan data-data pengutang sebagai data primer dalam transaksi hutang piutang. Dan begitu juga untuk melindungi pemberi hutang dari pressure pengutang yaitu Allah SWT. mewajibkan kepada pengutang untuk memelihara komitmen berdasarkan perjanjian yang telah dibuat.
Dan firman Allah SWT., artinya : “Jika orang yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mendiktekan, maka hendaklah walinya mendiktekan dengan jujur”.[8]

Firman Allah SWT. sangat jelas kepada kita bahwa jika yang berhutang itu orang bodoh atau tidak sempurna akal, maka keterlibatan wali pengutang untuk menuliskan hutang tersebut adalah sebuah kewajiban dalam sebuah transaksi hutang piutang.
Masih dalam ayat yang sama Allah berfirman, artinya: “ Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang laki di antaramu. Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya”.
Ibnu Katsir menerangkan maksud firman Allah SWT. di atas dengan hadis yang bersumber (sanad) dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah bersabda, artinya:
Wahai para wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah meminta ampunan (istighfar) karena aku melihat kebanyakan ahli neraka adalah wanita. Salah seorang wanita bertanya, mengapa wanita banyak menghuni neraka ya Rasulullah?, Rasul menjawab, karena banyak mengomel dan memungkiri budi suami. Aku tidak melihat orang yang kurang akal dan agamanya yang dapat mengalahkan orang yang sempurna akal selain kalian. Ditanya, apakah kekurangan akal dan agama kami?, jawab Rasul, adapun kurang akal, maka terbukti dalam kesaksian dua wanita sama dengan satu lelaki, dan pada hari-hari tertentu tidak melaksanakan salat dan tidak puasa, maka ini termasuk kurang agamanya”. (HR. Muslim).[9]

Hadis di atas merupakan sebuah jawaban yang digunakan oleh Ibnu Katsir terhadap pertanyaan, kenapa kesaksian dua wanita sama dengan satu lelaki?. Menurut penulis, jika hanya berpegang kepada hadis tersebut, maka jawaban dari pertanyaan itu belum terjawab. Karena hadis itu justru menjadikan ayat di atas sebagai referensi Rasulullah SAW. dalam menjawab pertanyaan kalangan sahabat wanita bahwa akal perempuan tidak sekuat dengan akal laki-laki.
Tentang firman Allah SWT. ini, Zaid bin Khalid mengatakan, Rasulullah SAW. bersabda, artinya:
Sukakah aku beritakan kepadamu sebaik-baik saksi, ialah yang memberikan kesaksiannya sebelum diminta”. (HR. Bukhari – Muslim).
Berdasarkan hadis di atas, kriteria saksi yang jujur adalah saksi yang menerangkan apa yang ia ketahui, dan menyampaikan apa yang diketahui ketika diperlukan dalam menyelesaikan suatu persengketaan.
Dalam hadis lain Rasulullah SAW. bersabda, artinya: “Sukakah aku beritahukan kepadamu sejahat-jahat saksi, ialah mereka yang  memberikan kesaksian sebelum diminta”. (HR. Bukhari – Muslim).[10]
Hadis yang kedua ini, Rasulullah SAW. memberitahukan kepada kita bahwa kriteria saksi yang tidak jujur adalah menyampaikan kesaksian ketika tidak diperlukan dalam menyelesaikan sebuah persoalan.
Lanjutan firman Allah SWT. dengan artinya: “ Dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu”.

Kemudian di akhir ayat 282 QS. Al Baqarah Allah SWT. berfirman, artinya:  “Kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menuliskannya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.

Al-Qurtubi dalam tafsirnya berkenaan ayat 282 QS. Al-Baqarah mengatakan :
“Ketika Allah SWT. memerintahkan penulisan, penyaksian, dan pegadaian, ini merupakan teks qat’i (pasti) yang berbicara mengenai pemeliharaan dan pengembangan harta, serta sebagai penyangkal terhadap orang-orang yang jahil yang tidak mengetahui hal itu. Mereka mengeluarkan seluruh harta dan tidak meninggalkan kecukupan untuk diri keluarga dan perbuatan semacam ini sangat dibenci oleh Allah SWT.”[11] Wallahu a’lam.

D.      Membina Tenaga Kerja Bawahan
Hubungan antara pengusaha dan pekerja harus dilandasi oleh rasa kasih sayang, saling membutuhkan, dan tolong menolong. Hal ini dapat dilihat dari hubungan dalam bidang pekerjaan. Pengusaha menyadiakan lapangan kerja dan pekerja menerima rezeki berupa upah dari pengusaha. Pekerja menyediakan tenaga dan kemampuannya untuk membantu pengusaha untuk menyelesaikan pekerjaan yang diperintahkan. Majikan mempunyai hak untuk memerintah  bawahan dan mendapat keuntungan. Majikan juga mnemiliki kewajiban yaitu membayar upah karyawan sesegera mungkin dan melindungi karyawannya. Seperi dalam Hadist Rasulullah:
Artinya :“Berikanlah kepada karyawanmu upahnya sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah
Disamping itu, keberhasilah suatu badan usaha yang dikololah oleh pengusaha sangat tergantung kepada para pekerjanya. Jika para pekerja ulet dalam pekerjaannya, maka keberhasilan itu akan semakin cepat dan pesat. Maka, dalam hal ini peran penting seorang pengusaha dalam memmbina tenaga kerja bawahannya juga tidak bisa di abaikan. Kedua belah pihak harus mampu membangun solidaritas dalam bekerja. Baik itu antara pekerja dan atasan, mau pun sesama para pekerja. Jika terjadi kesenjangan, maka seorang atasan yang mengelolah usaha yang bersangkutan harus cepat tanggap, mengidentifikasi permasalahan,  dan mengambil tindakan serta melakukan pembinaan terhadap bawahannya.















BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Berwirausaha adalah merupakan kegiatan sosial yang dapat membantu sesama makhluk yang saling ketergantungan antara satu sama lain. Islam sangat menganjurakan manusia untuk berusaha memperoleh rezki yang telah Allah janjikan dengan jalan usaha. Diantara sekian banyak cara dalam berwirausaha, perdagangan adalah salah satunya yang juga merupakan dunia usaha yang pernah ditekuni oleh Rasulullah SAW. Beliau telah memberikan contoh terhadap ummat bagaimana pedagang itu semestinya. Bahkan dalam Al-Quran secara tidak langsung telah dituangkan tuntunan dalam bemuamalah khususnya dalam perdagangan.
 Disamping berdagang adalah untuk menjawab kebutuhan ekonomi, ada beberapa motif seseorang dalam menggeluti dunia perdagangan. Diantaranya adalah : Bedagang untuk cari untung, berdagang merupakan hobi, berdagang adalah ibadah, berdagang merupakan pekerjaan mulian dalam Islam. Namun demikian, sepantasnyalah seorang pedagang melestarikan sifat-sifat terpuji seperti yang dikemukan oleh Imam Al-Ghazali, yaitu : sifat taqwa, zikir dan syukur, tidak mengambil laba secara berlebihan, sifat jujur, niat untuk ibadah, azzam dan bangun lebih pagi, toleransi, silaturrahim, dan sebagainya.
Didalam bertransaksi adakalanya pembeli tidak selalu membayar saat bertransaksi dalam arti kata transaksi hutang piutang. Maka dalam hal ini, Al-Quran telah memberikan solusi tentangnya. Yaitu, dengan menuliskan disertai dengan dua orang saksi laki-laki yang adil. Jika ditempat itu tidak ada orang laki-laki, maka boleh perempuan dengan catatan satu orang laki-laki bandingannya adalah dua orang perempuan. Selanjutnya, didalam jual beli, juga ada istilah khiyar yang berarti pembatalan atau pengembalian barang yang sudah dibeli sesuai dengan ketentuan dan kesepakatan antara kedua belah pihak yaitu : penjual dan pembeli. Karenanya, ada khiyar yang dibolehkan dan ada juga khiyar yang dilarang.
Dalam sebuah usaha, seorang atasan harus mampu membina tenaga kerja bawahannya dengan baik demi terwujudnya hasil usaha yang lebih baik. Tiak hanya mementingkan kepentingan pribadi, tapi juga harus memperhatikan dan membina hubungan yang baik, membangun solidaritas yang tinggi.
B.  Saran
Tidak dapat kita pungkiri, bahwa tuntutan ekonomi sering membawa kesenjangan dalam berbagai hal menyangkut perdagangan. Tidak jarang pedagang yang melakukan kecurangan dalam berdagang, serta melanggar etika-etika perdagangan yang telah di ajarkan oleh Alla dan RasulNya. Disamping itu, ada pula orang yang pesimis dalam berusaha dan bekerja. Sementara Allah dan RasulNya sangat mencintai orang-orang yang giat dalam bekerja dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan mereka. Oleh sebab itu, melalui makalah ini kami menyarankan kepada para pembaca agar mempedomani Al-Quran dan Hadits serta berpedoman kepada disiplin ilmu fiqih tentang tata cara bermuamalah.
Menyarankan kepada para wirausaha untuk meluruskan niat dalam berusaha agar usaha yang digeluti bernilai ibadah, sehingga tidak hanya mendapat imbalan renzi yang mulia, tetapi juga mendapat imbalan pahala disisi Allah.










DFTAR KEPUSTAKAAN

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulum Ad-Din, Toha putra semarang.
Almaktabatusy-Syamiilah.
Bouman, P.J., Sosiologi Pengertian dan Masalah, trj : Sugito-Sujitno, Penerbit Yayasan Kanisius, cetakan XII tahun 1971.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Peterjemahan al-Qur’an, 1983)
Departemen Agama RI, Al-Quran Tajwid Dan Terjemahannya, Bandung : PT. Syaamil Cipta Mulia.
Ibn As-Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyati,Hasyiah ianat Ath-Thaalibiin ala halli Al-Fazh Fath Al-Mu’in, Dar Al-Fikr, Bairut.
Muhammad ‘Abd al-Azhim al-Zarqani, Manahil al-Irfan, Mesir , al-Bab al-Halabi, I.
Muhammad as-Sayyid Yusuf, Ahmad Durrah, Manhaj al-Quran al-Karim fi Islah al-Mujtama’, Qasas al-Ilm fi al-Quran, Mesir : Dar as-Salam Maktabah al-Usrah, t.t., terj : Abu Akbar Ahmad, Pustaka Pengetahuan Al-Quran, Edisi Indonesia : PT. Rehal Publika.
Philip E. Fess dkk., Accounting Principles, terj : Hyginus Ruswinarto, Prinsip – Prinsip Akuntansi Jilid 1, Jakarta : Erlangga, edisi 14, 1988.
Prof. DR. H. Rachmat Syafei, Fiqih Muaamalah, Pustaka Setia
Syahid Mu’ammar Pulungan, Manusia Dalam Al Quran, Surabaya : PT.Bina Ilmu, cetakan pertama, 1984.
Syamsu Yusuf, Juntika Nurihsan, Teori Kepribadian, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, cetakan pertama, 2007.
Tafsir Ibnu Katsir Jilid I, Surabaya : PT. Bina Ilmu, cetakan keempat, 2004.


[1] Bouman, P.J., Sosiologi Pengertian dan Masalah, trj : Sugito-Sujitno, Penerbit Yayasan Kanisius, cetakan XII tahun 1971, hlm. 31. 
[2] Syahid Mu’ammar Pulungan, loc.cit., hlm. 57.
[3] Tafsir Ibnu Katsir Jilid I, Surabaya : PT. Bina Ilmu, cetakan keempat, 2004, Hlm. 556
[4] Philip E. Fess dkk., Accounting Principles, terj : Hyginus Ruswinarto, Prinsip – Prinsip Akuntansi Jilid 1, Jakarta : Erlangga, edisi 14, 1988, hlm. 2. 
[5] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Peterjemahan al-Qur’an, 1983)
[6] Ibnu Katsir, op.cit., hlm. 558
[7] Philip E. Fess dkk., op.cit., hlm. 7.
[8] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Peterjemahan al-Qur’an, 1983), h. 389
[9] Ibnu Katsir, op.cit., hlm. 560.
[10] Ibnu Katsir, op.cit., hlm. 561.
[11] Muhammad as-Sayyid Yusuf, Ahmad Durrah, Manhaj al-Quran al-Karim fi Islah al-Mujtama’, Qasas al-Ilm fi al-Quran, Mesir : Dar as-Salam Maktabah al-Usrah, t.t., terj : Abu Akbar Ahmad, Pustaka Pengetahuan Al-Quran, Edisi Indonesia : PT. Rehal Publika, t.t., hlm. 152.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar