BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ajaran
Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia sebagaimana firman Allah Swt
(artinya) : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam sebagai agama bagimu.
(QS. Al-Maidah 5 : 3). Oleh karenanya Islam adalah sebuah aturan, norma, pola
hidup yang melingkupi kehidupan manusia dan menjadi pedoman dalam mengarungi
kehidupannya yang selanjutnya pedoman itu dijabarkan dalam fiqih Islam. Sedang fiqih
itu sendiri adalah suatu pola hidup yang ditawarkan Islam dalam bentuk
pemahaman secara mendalam terhadap hukum dan ketentuan Allah untuk
diaplikasikan dalam kehidupan manusia.
Adapun
kewirausahaan dalam disiplin ilmu fiqh merupakan bagian pembahasan mu'amalah.
Sedangkan perdagangan adalah bahagian dari kegiatan kewirausahaan. Bila kita
berbicara tentang kewirausahaan menurut pandangan Islam, maka rambu-rambu yang
harus diperhatikan dalam kegiatan ini adalah teori-teori yang telah di
gambarkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah sebagai norma dan etika dalam
berwirausaha khususnya dalam perdagangan.
Jual
beli adalah interaksi antara si penjual dan pembeli. Di setiap interaksi, kerap
kali kita jumpai terjadinya kesenjangan dan permasalahan sosial. Karenanya, kedua
belah pihak (penjual dan pembeli) haruslah jeli memperhatikan setiap
permasalaha tersebut. Sehingga keduanya bersifat antisipatif untuk mencegah
polemik yang timbul diakibatkan oleh permasalahan yang terjadi dalam proses
jual beli.
Selanjutnya,
dalam jual beli juga ada istilah ‘Khiyar’ yang artinya pembatalan jual beli
(ruju’), dengan catatan : sipenjual dan pembeli harus mengetahui adanya
sebab-sebab tertentu yang membolehkan khiyar itersebut, sehingga tidak ada
pihak yang merasa di rugikan. Didalam fiqih mu’amalah, permasalahan jual beli
dan syarat-syarat khiyar di bahas secara tuntas dan gamblang. Oleh sebab itu,
seyogyanya pedagang harus memperhatikan dan memahami hal-hal yang terkait
dengan permasalahan jual beli serta syarat-syarat khiyar tersebut.
Islam
juga mengajarkan bagaimana manusia itu giat dalam menjalani aktifitas dan
semangat bekerja keras untuk mencari nafkah dan menjawab kebutuhan sehari-hari.
Allah SWT, menyeru manusia untuk bertebaran di muka bumi untuk menuntut karunia
Allah, dalam hal ini maksudnya adalah rezki Allah. Bahkan Rasulullah pun sangat
menganjurkan kepada ummatnya untuk giat dalam bekerja. Tidak sedikit hadits
Rasulullah yang menegaskan tentang hal itu.
Untuk
selengkapnya, mari kita cermati paparan isi makalah ini. Bagaimana etika dalam
berdagang, motif perdagangan, sifat-sifat yang harus dimiliki oleh para
pedagang, etios kerja seorang muslim (tentang perintah kerja keras), konsep
hutang piutang, serta anjuran kepada pimpinan untuk membina baeahannya.
B.
Tujuan
Ada pun tujuan dari penyajian makalah ini
sebagai berikut :
1.
Memenuhi tugas mata kuliah
2.
Memberi pemahaman terhadap pembaca khususnya
mahasiswa tentang etika dan permasalahan dalam dunia usaha (perdagangan),
sehingga menjadi ucuan dalam mengeluti usaha perdagangan.
3.
Memberi pedoman kepada pembaca agar menjadi
pedagang yang agamis.
4.
Memberikan sumbangan pemikiran terhadap para
pengusaha muslim untuk mejadi pengusaha sukses dunia akhirat.
BAB II
PEMBAHASAN
MUTIARA KEWIRAUSAHAAN MELALUI ISLAM
A.
Kegiatan
Kewirausahaan di bidang Perdagangan Menurut Pandangan Islam
Berwirausaha memberi peluang kepada orang lain
untuk berbuat baik dengan cara memberikan pelayanan yang cepat, membantu
kemudahan bagi orang yang berbelanja, memberi potongan, dll. Perbuatan baik
akan selalu menenangkan pikiran yang kemudian akan turut membantu kesehatan
jasmani. Hal ini seperti yang diungkapkan dalam buku The Healing Brain yang
menyatakan bahwa fungsi utama otak bukanlah untuk berfikir, tetapi untuk
mengembaliakn kesehatan tubuh. Vitalitas otak dalam menjaga kesehatan banyak
dipengaruhi oleh frekwensi perbuatan baik. Dan aspek kerja otak yang paling
utama adalah bergaul, bermuamalah, bekerja sama, tolong menolong, dan kegiatan
komunikasi dengan orang lain.
Islam memang tidak memberikan penjelasan secara
eksplisit terkait konsep tentang kewirausahaan ini, namun di antara keduanya mempunyai
kaitan yang cukup erat, memiliki ruh atau jiwa yang sangat dekat, meskipun
bahasa teknis yang digunakan berbeda.
Dalam sejarahnya Nabi Muhammad, istrinya dan
sebagian besar sahabatnya adalah para pedagang mancanegara yang piawai. Beliau
adalah praktisi ekonomi dan sosok tauladan bagi umat. Islam adalah agama kaum
pedagang, disebarkan ke seluruh dunia setidaknya sampai abad ke -13 M, oleh
para pedagang muslim.
Dari aktivitas perdagangan yang dilakukan, Nabi
dan sebagian besar sahabat telah merubah pandangan dunia bahwa kemuliaan seseorang
bukan terletak pada kebangsawanan darah, tidak pula pada jabatan yang tinggi,
atau uang yang banyak, melainkan pada pekerjaan. Oleh karena itu, Nabi juga
bersabda “Innallaha yuhibbul muhtarif” (sesungguhnya Allah sangat
mencintai orang yang bekerja untuk mendapatkan penghasilan). Umar Ibnu Khattab
mengatakan sebaliknya bahwa, “Aku benci salah seorang di antara kalian yang
tidak mau bekerja yang menyangkut urusan dunia.
Keberadaan Islam di Indonesia juga disebarkan oleh
para pedagang. Di samping menyebarkan ilmu agama, para pedagang ini juga
mewariskan keahlian berdagang khususnya kepada masyarakat pesisir. Di wilayah
Pantura, misalnya, sebagian besar masyarakatnya memiliki basis keagamaan yang
kuat, kegiatan mengaji dan berbisnis sudah menjadi satu istilah yang sangat
akrab dan menyatu sehingga muncul istilah yang sangat terkenal jigang (ngaji
dan dagang). Sejarah juga mencatat sejumlah tokoh Islam terkenal yang juga
sebagai pengusaha tangguh, Abdul Ghani Aziz, Agus Dasaad, Djohan Soetan,
Perpatih, Jhohan Soelaiman, Haji Samanhudi, Haji Syamsuddin, Niti Semito, dan
Rahman Tamin.
Apa yang tergambar di atas, setidaknya dapat
menjadi bukti nyata bahwa etos bisnis yang dimiliki oleh umat Islam sangatlah
tinggi, atau dengan kata lain Islam dan berdagang ibarat dua sisi dari satu
keping mata uang. Benarlah apa yang disabdakan oleh Nabi, “Hendaklah kamu
berdagang karena di dalamnya terdapat 90 persen pintu rizki” (HR. Ahmad).
a.
Motif
berwirausaha di bidang perdagangan :
- Berdagang untuk cari untung.
Pekerjaan
berdagang adalah sebagian dari pekerjaan bisnis yang sebagian besar bertujuan
untuk mencari laba sehingga seringkali untuk mencapainya dilakukan hal-hal yang
tidak baik. Padahal ini sangat dilarang dalam agama Islam. Seperti diungkapkan
dalam hadis : “ Allah mengasihi orang yang bermurah hati waktu menjual,
waktu membeli, dan waktu menagih piutang.”
Pekerjaan
berdagang masih dianggap sebagai suatu pekerjaan yang rendahan karena biasanya
berdagang dilakukan dengan penuh trik, penipuan, ketidakjujuran. Penyelewengan
seperti ini berdampak buruk kepada perdangan, padahal perdangan adalah salah
satu usaha dan pekerjaaan Rasulullah SAW.
2. Berdagang
adalah Hobi
Konsep
berdagang adalah hobi banyak dianut oleh para pedagang dari Cina. Mereka
menekuni kegiatan berdagang ini dengan sebaik-baiknya dengan melakukan berbagai
macam terobosan.Yaitu dengan open display (melakukan pajangan di halaman
terbuka untuk menarik minat orang), window display (melakukan pajangan
di depan toko), interior display (pajangan yang disusun didalam toko),
dan close display (pajangan khusus barang-barang berharga agar tidak
dicuri oleh orang yang jahat).
3. Berdagang
Adalah Ibadah
Bagi
umat Islam berdagang lebih kepada bentuk Ibadah kepada Allah swt. Karena apapun
yang kita lakukan harus memiliki niat untuk beribadah agar mendapat berkah.
Berdagang dengan niat ini akan mempermudah jalan kita mendapatkan rezeki. Para
pedagang dapat mengambil barang dari tempat grosir dan menjual ditempatnya.
Dengan demikian masyarakat yang ada disekitarnya tidak perlu jauh untuk membeli
barang yang sama. Sehingga nantinya akan terbentuk patronage buying motive
yaitu suatu motif berbelanja ketoko tertentu saja.
4. Perdagangan
Pekerjaan Mulia Dalam Islam
Pekerjaan
berdagang ini mendapat tempat terhormat dalam ajaran Islam, seperti disabdakan
Rasul yang artinya :
“Mata pencarian apakah yang paling baik, Ya
Rasulullah?”Jawab beliau: Ialah seseorang yang bekerja dengan tangannya sendiri
dan setiap jual beli yang bersih.” (HR. Al-Bazzar).
Dalam
QS.Al-Baqarah:275 dijelaskan bahwa Allah swt telah menghalalkan kegiatan jual
beli dan mengharamkan riba. Kegiatan riba ini sangat merugikan karena membuat
kegiatan perdagangan tidak berkembang. Hal ini disebabkan karena uang dan modal
hanya berputar pada satu pihak saja yang akhirnya dapat mengeksploitasi
masyarakat yang terdesak kebutuhan hidup.
b.
Sifat-sifat
yang harus dimiliki pedagang
Dalam
perdagangan, seorang pedagang berorientasi kepada laba yang akan diperoleh dari
hasil perdagangan. Akan tetapi pedagang juga harus memperhatikan beberapa etika
dan perilaku terpuji dalam Perdagangan.
Menurut
Imam Ghazali, ada 8 sifat dan perilaku yang terpuji dalam perdagangan, yaitu :
1.
Sifat Takwa, Tawakkal, Zikir, dan Syukur
Sifat
ini harus dimiliki oleh wirausahawan karena dengan sifat-sifat itu kita akan
diberi kemudahan dalam menjalankan setiap usaha yang kita lakukan. Dengan
adanya sifat takwa maka kita akan diberi jalan keluar penyelesaian dari suatu
masalah dan mendapat rizki yang tidak disangka. Dengan sikap tawakkal, kita
akan mengalami kemudahan dalam menjalankan usaha walaupun usaha yang kita
jalani memiliki banyak saingan. Dengan bertakwa dan bertawakkal maka kita akan
senantiasa berzikir untuk mengingat Allah dan bersyukur sebagai ungkapan terima
kasih atas segala kemudahan yang kita terima. Dengan begitu, maka kita akan
merasakan tenang dan melaksanakan segala usaha dengan kepala dingin dan tidak
stress.
2.
Tidak mengambil laba lebih banyak.
Membayar
harga yang sedikit lebih mahal kepada pedagang yang miskin. Memurahkan harga
dan memberi potongan kepada pembeli yang miskin sehingga akan melipatgandakan
pahala. Bila membayar hutang, maka bayarlah lebih cepat dari waktu yang telah
ditetapkan. Membatalkan jual beli bila pihak pembeli menginginkannya. Bila
menjual bahan pangan kepada orang miskin secara cicilan, maka jangan ditagih
apabila orang tersebut tidak mampu membayarnya dan membebaskan ia dari hutang
apabila meninggal dunia.
3.
Jujur
Dalam suatu
hadist diriwayatkan bahwa :”Kejujuran akan membawa ketenangan dan
ketidakjujuran akan menimbulkan keragu-raguan.”(HR. Tirmidzi).
Jujur dalam segala kegiatan yang berhubungan
dengan orang lain maka akan membuat tenang lahir dan batin.
4.
Niat Suci dan Ibadah
Bagi
seorang muslim kegiatan bisnis senantiasa diniatkan untuk beribadah kepada
Allah sehingga hasil yang didapat nanti juga akan digunakan untuk kepentingan
dijalan Allah.
5.
Azzam dan bangun Lebih Pagi
Rasul
saw mengajarkan agar kita berusaha mencari rezeki mulai pagi hari setelah
shalat subuh. Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa :
”Hai anakku, bangunlah!sambutlah rizki dari
Rabb-mu dan janganlah kamu tergolong orang yang lalai, karena sesungguhnya Allah
membagikan rizki manusia antara terbitnya fajar sampai menjelang terbitnya
matahari.”(HR. Baihaqi)
6.
Toleransi
Sikap
toleransi diperlukan dalam bisnis sehingga kita dapat menjadi pribadi bisnis
yang mudah bergaul, supel, fleksibel, toleransi terhadap langganan dan tidak
kaku.
7.
Berzakat dan Berinfak
Hadits Rasulullhah :
Artinya :“Tidaklah
harta itu akan berkurang karena disedekahkan dan Allah tidak akan akan
menambahkan orang yang suka memberi maaf kecuali kemuliaan. Dan tidaklah
seorang yang suka merendahkan diri karena Allah melainkan Allah akan
meninggikan derajatnya.”(HR. Muslim).
Dalam
hadist tersebut telah diungkapkan bahwa dengan berzakat dan berinfak maka kita
tidak akan miskin, melainkan Allah akan melipat gandakan rizki kita. Dengan
berzakat, hal itu juga akan membersihkan harta kita sehingga harta yang kita
peroleh memang benar-benar harta yang halal.
8.
Silaturahmi
Dalam
usaha, adanya seorang partner sangat dibutuhkan demi lancarnya usaha yang kita
lakukan. Silaturrahmi ini dapat mempererat ikatan kekeluargaan dan memberikan
peluang-peluang bisnis baru. Pentingnya silaturahmi ini juga dapat dilihat dari
hadist berikut :
Artinya :”Siapa
yang ingin murah rizkinya dan panjang umurnya, maka hendaklah ia mempererat
hubungan silaturahmi.”(HR. Bukhari)
c.
Masalah-masalah yang berkaitan dengan jual beli:
1.
Tas'ir: yaitu
menentukan harga yang terbatas untuk komoditi, selama pemilik tidak dizalimi
dan pembeli tidak tercekik.
Diharamkan tas'ir (penentuan harga)
apabila mengandung kezaliman kepada manusia, atau memaksa mereka dengan cara
yang tidak benar dengan sesuatu yang tidak mereka senangi, atau menghalangi
mereka dari sesuatu yang Allah SWT bolehkan untuk mereka.
Boleh menentukan harga apabila tidak
sempurna kepentingan manusia (orang banyak) kecuali dengannya, seperti pemilik
komoditi tidak mau menjualnya kecuali dengan harga lebih, padahal orang banyak
sangat membutuhkannya. Maka ditentukan harga dengan nilai standar, tidak
berbahaya dan tidak membahayakan orang lain.
2.
Ihtikar (monopoli): yaitu membeli komoditi dan menahannya supaya
menjadi sedikit di tengah-tengah manusia, lalu harganya menjadi naik.
Ihtikar hukumnya haram, karena mengandung sifat serakah, rakus dan
mencekik manusia, dan barang siapa yang melakukan ihtikar maka ia melakukan
kesalahan.
3.
Tawarruq: Apabila
seseorang membutuhkan uang kontan dan ia tidak menemukan orang yang memberikan
pinjaman, maka ia boleh membeli suatu komoditi/barang secara bertempo, kemudian
ia menjualnya bukan kepada yang pertama dan mengambil manfaat dengan harganya.
Jual beli 'arbuun (uang muka):
yaitu menjual suatu komoditi disertai penyerahan uang dari pembeli kepada
penjual, bahwa jika ia mengambil komoditi itu, uang itu sudah termasuk harga,
dan jika meninggalkannya, maka uang yang diserahkan menjadi milik penjual, yang
merupakan uang muka. Jual beli ini hukumnya boleh, apabila dibatasi masa
menunggu dengan masa yang sudah ditentukan.
d.
Pembagian-pembagian khiyar:
Khiyar adalah pembatalan jual beli yang disebabkan oleh beberapa
factor. khiyar terdiri dari beberapa bagian, di antaranya adalah:
1.
Khiyar majelis:
dan ia ada pada jual beli, berdamai, sewa-menyewa, dan selainnya dari penukaran
yang tujuannya adalah harta. Ia adalah hak dua orang yang melakukan jual beli
secara bersamaan. Dan waktunya adalah dari saat transaksi sampai berpisah
dengan badan. Jika keduanya menggugurkannya, gugurlah ia. Jika salah satu dari
keduanya menggugurkannya, niscaya tersisa khiyar yang lain. Maka apabila
keduanya berpisah, terjadilah jual beli. Dan haram berpisah dari majelis karena
takut ia mengundurkan diri.
2.
Khiyar syarat: yaitu dua orang yang melakukan jual beli atau salah satunya
mensyaratkan khiyar hingga masa yang sudah diketahui, maka sah syarat itu,
sekalipun lama. Masanya dari saat transaksi hingga berakhirnya masa yang
disyaratkan. Dan apabila berlalu masa khiyar dan yang mensyaratkan tidak
membatalkan penjualan, niscaya tetaplah jual beli. Dan jika keduanya memutuskan
khiyar saat masa itu, niscaya batalah, karena hak untuk keduanya.
3.
Khiyar perbedaan
penjual dan pembeli: seperti
jikalau keduanya berbeda pada kadar harga, atau benda yang dijual, atau
sifatnya, dan tidak ada saksi, maka ucapan adalah ucapan penjual disertai
sumpahnya, dan pemberi diberi pilihan antara menerima atau membatalkan.
4.
Khiyar 'aib: yaitu sesuatu
yang mengurangi nilai yang dijual. Apabila (seseorang) membeli suatu komoditi
dan ia menemukan cacat padanya, maka boleh memilih (khiyar), bisa jadi ia
mengembalikannya dan mengambil harganya, atau menahannya dan mengambil tambalan
cacat itu. Maka dinilai komoditi yang tanpa cacat, kemudian dinilai yang cacat
dan ia mengambil perbedaan di antara keduanya. Dan jika keduanya berbeda
pendapat di sisi siapa terjadinya cacat itu seperti pincang (bagi binatang),
dan rusaknya makanan, maka ucapan (yang diterima adalah) ucapan penjual diserta
sumpahnya, atau keduanya saling mengembalikan.
5.
Khiyar ghubn (penipuan,
kecurangan): yaitu pembeli atau penjual melakukan penipuan/kecurangan pada
komoditi, kecurangan yang keluar dari kebiasaan atau 'uruf. Hukumnya adalah
haram. Apabila seseorang merasa dicurangi, maka ia mempunyai hak khiyar di
antara menahan dan membatalkan, seperti orang yang tertipu dengan orang yang
menghadap rombongan (yang mau memasuki pasar), atau tambahan orang yang
meninggikan harga (najisy) yang tidak ingin membeli, atau ia tidak
mengetahui nilai dan tidak pandai menawar dalam jual beli, maka ia mempunyai
hak khiyar.
6.
Khiyar tadlis
(penyamaran): yaitu penjual menampakkan (memperlihatkan, memajang) suatu
komoditi dengan penampilan yang disenangi padanya, padahal ia kosong darinya.
seperti membiarkan laban (susu) di tetek (kambing, sapi, unta) saat menjual
supaya pembeli mengira banyak susunya, dan semisal yang demikian itu. Perbuatan
ini hukumnya haram. Maka apabila hal itu terjadi, maka ia (pembeli) memiliki
hak khiyar di antara menahan atau membatalkan. Apabila ia telah memerah
susunya, kemudian mengembalikannya, ia mengembalikan bersamanya satu sha' kurma
sebagai gantian susu.
7.
Khiyar mengabarkan
harga apabila nyata perbedaan kenyataan (realita), atau kurang dari yang dia
kabarkan, maka pembeli memiliki hak khiyar
di antara menahan dan mengambil (harga) perbedaan atau membatalkan. Sebagaimana
jikalau ia membeli pulpen dengan harga seratus (100). Lalu datanglah kepadanya
seseorang dan berkata, 'Juallah kepadaku dengan harga pokoknya.' Ia berkata,
'Harga pokoknya (modalnya) adalah seratus lima
puluh (150).' Lalu ia menjual kepadanya. Kemudian jelas kebohongan penjual,
maka pembeli mempunyai hak khiyar. Dan tetapi khiyar ini pada tauliyah (pemberian hak wali), syarikah (perusahaan bersama), murabahah, muwadha'ah. Dan dalam semua
itu, pembeli dan penjual harus mengetahui modal harta.
Apabila telah nampak bahwa pembeli
itu susah atau curang, maka pembeli mempunyak hak membatalkan jika ia
menghendaki untuk memelihara hartanya.
B.
Perintah Kerja
Keras
Dalam Islam digunakan istilah kerja keras, kemandirian
(بيده),
dan tidak cengeng. Setidaknya terdapat beberapa ayat al-Qur’an maupun Hadits
yang dapat menjadi rujukan pesan tentang semangat kerja keras dan kemandirian
ini, seperti;
1.
Firman Allah SWT :
وقل اعملوا فسيرى الله عملكم...الأيات
Artinya : “Bekerjalah kamu, maka Allah dan
orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan kamu”(Q.S. At-Taubah : 105)
2.
Sabda Rasulullah SAW :
عمل الرجال بيده
Artinya :“Amal yang paling baik adalah
pekerjaan yang dilakukan dengan cucuran keringatnya sendiri” (HR. Abu
Dawud)
3.
Sabda Rasulullah SAW :
اليد العليا خير من يد السفلى
Artinya : “Tangan di atas lebih baik dari
tangan di bawah”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan
bahasa yang sangat simbolik ini Nabi mendorong umatnya untuk kerja keras supaya
memiliki kekayaan, sehingga dapat memberikan sesuatu pada orang lain. “Manusia
harus membayar zakat (Allah mewajibkan manusia untuk bekerja keras agar kaya
dan dapat menjalankan kewajiban membayar zakat)”. Oleh karena itu, apabila shalat telah
ditunaikan maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia (rizki)
Allah. (Q.S. al-Jumu’ah : 10)
4.
Sabda Rasulullah SAW :
إن طلب الرزق الحلال فريضة بعد فراغ
الفرض
Artinya : “Sesungguhnya bekerja mencari
rizki yang halal itu merupakan kewajiban setelah ibadah fardlu” (HR.Tabrani
dan Baihaqi).
Nash-Nahs
tersebut di
atas jelas memberikan isyarat agar manusia bekerja keras dan hidup mandiri.
Bekerja keras merupakan esensi dari kewirausahaan. Prinsip kerja keras, menurut
Wafiduddin, adalah suatu langkah nyata yang dapat menghasilkan kesuksesan (rezeki),
tetapi harus melalui proses yang penuh dengan tantangan (reziko). Dengan
kata lain, orang yang berani melewati resiko akan memperoleh peluang rizki yang
besar. Kata rizki memiliki makna bersayap, rezeki sekaligus resiko.
Kemauan
yang keras dapat menggerakkan motivasi untuk bekerja dengan sungguh-sungguh.
Orang akan berhasil apabila mau bekerja keras, tahan menderita, dan mampu
berjuang untuk memperbaiki nasibnya. Menurut Murphy dan Peck, untuk mencapai
sukses dalam karir seseorang, maka harus dimulai dengan kerja keras. Kemudian
diikuti dengan mencapai tujuan dengan orang lain, penampilan yang baik,
keyakinan diri, membuat keputusan, pendidikan, dorongan ambisi, dan pintar
berkomunikasi. Allah memerintahkan kita untuk tawakkal dan bekerja keras untuk
dapat mengubah nasib. Jadi intinya adalah inisiatif, motivasi, kreatif yang
akan menumbuhkan kreativitas untuk perbaikan hidup. Selain itu kita juga
dianjurkan untuk tetap berdoa dan memohon perlindungan kepada Allah swt sesibuk
apapun kita berusaha karena Dialah yang menentukan akhir dari setiap usaha.
C.
Manajemen Utang
Piutang
1.
Konsep Sosial (muamalah)
Dalam Islam
Manusia
dalam hidup dan kehidupannya tidak dapat melepaskan diri dari hidup berkelompok,
yang demikian sudah terlihat semenjak manusia itu lahir. Pakar sosiologi
Ellwood menyatakan; kehidupan sosial harus dipandang sebagai satuan tabiat
kejiwaan yang lebih tinggi dan lebih sesuai yang telah tumbuh dari satuan
biologi.[1]
Unsur-unsur
keharusan biologi manusia untuk hidup dan berkehidupan sosial dapat diketahui
dari berbagai macam pendekatan di antaranya ialah; kebutuhan untuk
perlindungan; kebutuhan untuk makan; kebutuhan untuk berkembang biak; dan kebutuhan
untuk bermasyarakat.[2]
Memenuhi
kebutuhan tersebut, manusia dengan segenap potensi yang ada berupaya memperoleh
kebutuhan mereka berdasarkan kemampuan masing-masing. Hal demikian
teridentifikasi dari hasil usaha manusia yang variatif dan berimplikasi kepada
tingkatan sosial mereka.
2.
Konsep hutang
piutang menurut Al-Quran
Tingkatan
sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia akan menyebabkan kebaikan bagi
mereka jika satu dengan yang lain saling mengisi dan tidak saling menzalimi.
Konsep sosial seperti itulah yang diatur dalam Al-Quran untuk terjaga
keharmonisan sosial sebagai kebutuhan dasar bagi umat manusia. Perbedaan
tingkatan sosial manusia antara lain adalah terjadi dalam aspek perekonomian.
Perbedaan itulah yang melatari perbuatan utang piutang kerap terjadi dalam
kehidupan manusia. Al-Quran sebagai pedoman umat Islam menjelaskan secara rinci
tentang perbuatan tersebut yaitu pada ayat 282 dari surat Al-Baqarah.
Mengawali
ayat tersebut, Allah SWT. berfirman :
$ygr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#þqãZtB#uä
#sÎ)
LäêZt#ys?
AûøïyÎ/
#n<Î)
9@y_r&
wK|¡B
çnqç7çFò2$$sù
4
=çGõ3uø9ur
öNä3uZ÷/
7=Ï?$2
ÉAôyèø9$$Î/
4
wur
z>ù't
ë=Ï?%x.
br&
|=çFõ3t
$yJ2
çmyJ¯=tã
ª!$#
4
ó=çGò6uù=sù
È@Î=ôJãø9ur
Ï%©!$#
Ïmøn=tã
,ysø9$#
È,Guø9ur
©!$#
¼çm/u
wur
ó§yö7t
çm÷ZÏB
$\«øx©
4
bÎ*sù
tb%x.
Ï%©!$#
Ïmøn=tã
,ysø9$#
$·gÏÿy
÷rr&
$¸ÿÏè|Ê
÷rr&
w
ßìÏÜtGó¡o
br&
¨@ÏJã
uqèd
ö@Î=ôJãù=sù
¼çmÏ9ur
ÉAôyèø9$$Î/
4
(#rßÎhô±tFó$#ur
ÈûøïyÍky
`ÏB
öNà6Ï9%y`Íh
(
bÎ*sù
öN©9
$tRqä3t
Èû÷ün=ã_u
×@ã_tsù
Èb$s?r&zöD$#ur
`£JÏB
tböq|Êös?
z`ÏB
Ïä!#ypk¶9$#
br&
¨@ÅÒs?
$yJßg1y÷nÎ)
tÅe2xçFsù
$yJßg1y÷nÎ)
3t÷zW{$#
4
wur
z>ù't
âä!#ypk¶9$#
#sÎ)
$tB
(#qããß
4
wur
(#þqßJt«ó¡s?
br&
çnqç7çFõ3s?
#·Éó|¹
÷rr&
#·Î72
#n<Î)
¾Ï&Î#y_r&
4
Artinya :“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa
yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu
orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang
seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik
kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya”...Al-Ayah. (QS.
Al-Baqarah : 282)
Dalam
penafsiran ini, tadaayantum diartikan dengan muamalah karena
utang piutang merupakan perbuatan sosial manusia yang di dalamnya
terlibat debitor (pemberi utang) dan kreditor (orang yang
berutang).
Ayat
tersebut, Allah SWT. menuntun hamba-Nya yang mukmin, jika mereka bermuamalah
hutang piutang hendaknya ditulis supaya jelas jumlahnya, waktunya, dan
memudahkan untuk persaksian.
Ibnu
Abbas r.a. mengatakan bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan hutang
piutang yang terjamin, jelas masanya dan telah dihalalkan oleh Allah SWT.
Beliau juga mengatakan, ketika Rasulullah SAW. sampai di kota Madinah dijumpai
di sana orang biasa meminjamkan buah untuk setahun, dua tahun atau tiga tahun,
maka Rasulullah SAW. bersabda,
Artinya : “ Barangsiapa meminjamkan harus
meminjamkan dengan takaran yang tertentu, timbangan yang tertentu dan masa yang
tertentu. (HR. Bukhari – Muslim).
Pada
ayat di atas “hendaklah kamu menuliskannya”, Ibnu Katsir memahami
perintah menulis di sini hanya merupakan petunjuk ke jalan yang baik dan
terjaminnya keselamatan yang diharapkan, bukan perintah wajib. Ibnu Juraij
berkata, “pada mulanya perintah menulis itu wajib, kemudian kewajiban itu di-nasakh
dengan ayat 283 QS. Al-Baqarah :[3]
bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B (
÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u 3
wur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4
`tBur $ygôJçGò6t ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3
ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOÎ=tæ ÇËÑÌÈ
Artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang
penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al-Baqarah :283)
Di
akhir ayat tersebut nyata bahwa tidak ada tulis menulis lanjut Ibnu Juraij. Menuliskan
utang piutang sebagai manajemen sosial manusia berdasarkan ayat di atas dalam
bentuk “anjuran” dan bukan sebuah “kewajiban” adalah sebuah
petunjuk yang melegitimasikan bahwa dalam diri manusia mempunyai dua
kecenderungan yang berbeda yaitu baik (taqwa) dan buruk (fujur).
Hal
tersebut sebagaimana firman Allah SWT. dalam Al – Quran surat Asy-Syamsu ayat
8-10 yang artinya :
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa manusia
sifat fujur dan takwa. Sungguh bahagia orang yang mensucikan jiwanya, dan
sungguh celaka orang yang mengotori jiwanya”.
Berdasarkan
kecenderungan jiwa manusia sebagaimana yang tertuang dalam QS. Asy-Syamsu ayat
8-10 dan telah dibuktikan secara ilmiah melalui ilmu psykologi manusia. Maka
perintah Allah SWT. kepada manusia untuk mencatat utang piutang merupakan
sebuah konsep yang terbaik untuk keutuhan kehidupan sosial manusia sendiri.
Dengan konsep demikianlah kenyamanan (prudential) manusia terwujud.
Kendatipun
pencatatan utang piutang bukan sebuah kewajiban, akan tetapi dalam keadaan tertentu,
pencatatan tersebut menjadi wajib apalagi berkaitan dengan kepentingan manusia
secara umum (maslahah ‘ammah). Karena hukum Islam sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Hal
demikian didasarkan kepada kaidah ushul fiqh, “al-Maslahatul ‘ammah
muqaddimatun minal maslahatil syakhsiyah (kepentingan umum lebih diutamakan
daripada kepentingan pribadi)”.
Pencatatan
utang piutang sebagai sebuah konsep yang dibutuhkan oleh manusia juga diperkuat
oleh keberadaan ilmu akuntansi sebagai sebuah pengetahuan yang sangat
dibutuhkan oleh manusia. Ilmu tersebut berkonsentrasi tentang proses mengenali,
mengukur dan mengkomunikasikan informasi ekonomi untuk memperoleh pertimbangan
dan keputusan yang tepat oleh pemakai informasi yang bersangkutan. Kemudian output-output
dari pengetahuan tersebut diintegrasikan menjadi sebuah definisi akuntansi
secara luas.[4]
Ayat
selanjutnya Allah SWT. berfirman, artinya : “ Dan hendaklah seorang penulis
di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan (menolak)
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia
menulis.[5]
Maksud
dari firman tersebut, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah SWT. mengajarkan
supaya antara orang yang berhutang dan yang mengutang ada pencatat, yaitu
seorang yang adil, jujur dan tidak memiliki kepentingan, hanya semata-mata
memberikan tenaga yang dibutuhkan oleh saudara sesama muslim.
Sedangkan
orang yang dimintakan bantuan untuk menuliskan transaksi tersebut adalah sebuah
kewajiban untuk ditunaikan menurut Ibnu Katsir. Hal demikian terpahami dari
hadis Rasulullah SAW. yang artinya: “Sesungguhnya setengah daripada sedaqah
adalah membantu pekerjaan orang yang tidak mampu dikerjakan”.
Dalam
hadis yang lain, artinya : “Barangsiapa yang menyembunyikan ilmu yang diketahuinya,
akan dikendalikan di hari kiamat dengan kendali api neraka”.[6]
Dalam
dunia akuntansi, pengajaran Allah SWT. tersebut telah diterapkan secara utuh.
Sebagai sebuah disiplin ilmu, mengaplikasikan sebuah metode atau konsep adalah
berangkat dari proses-proses eksperimen ilmiah. Begitu juga dengan akuntansi
sebagai sebuah ilmu.
Hasil
dari sebuah penelitian, pakar akuntansi Marcus Aurelius melaporkan bahwa,
karakter ideal para akuntan adalah, “Seseorang hendaknya berkepribadian
jujur; bukan diperintahkan jujur”.[7]
Pandangan Marcus tersebut menjadi nyata bahwa ajaran Al-Quran sangat memahami
konsep sosial berdasarkan kebutuhan manusia.
Masih dalam
ayat yang sama, Allah melanjutkan firman yang artinya: “ Dan hendaklah orang
yang berhutang itu mendiktekan (apa yang ditulis), dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya”.
Firman
Allah SWT. di atas bermaksud bahwa dalam proses pencatatan utang, data – data
tersebut bersumber dari pihak pengutang bukan dari pemberi hutang. Karena
posisi orang yang berhutang adalah pihak yang lemah dibandingkan dengan pemberi
utang. Kendati pun demikian, Allah tetap memperingatkan orang yang berhutang
untuk bertakwa kepada-Nya, jangan sampai mengurangi atau merugikan pihak
pemberi utang dan jangan menyembunyikan apa pun dalam perjanjian tersebut.
Firman
Allah SWT. di atas mengingatkan kita kepada diskripsi Kelly tentang psychopathology
manusia yang cenderungan menerapkan konsep hostility yaitu seseorang
mencoba untuk membuat orang lain berbuat dengan cara yang sesuai dengan harapan
dia. Dan dalam firman Allah SWT. di atas memberikan sinyal tentang eksistensi hostility
dalam diri manusia yaitu dengan melindungi pihak yang berhutang dari tekanan (pressure)
pemberi hutang dengan cara menjadikan data-data pengutang sebagai data primer
dalam transaksi hutang piutang. Dan begitu juga untuk melindungi pemberi hutang
dari pressure pengutang yaitu Allah SWT. mewajibkan kepada pengutang
untuk memelihara komitmen berdasarkan perjanjian yang telah dibuat.
Dan firman
Allah SWT., artinya : “Jika orang yang berhutang itu orang yang lemah
akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mendiktekan, maka
hendaklah walinya mendiktekan dengan jujur”.[8]
Firman
Allah SWT. sangat jelas kepada kita bahwa jika yang berhutang itu orang bodoh
atau tidak sempurna akal, maka keterlibatan wali pengutang untuk menuliskan
hutang tersebut adalah sebuah kewajiban dalam sebuah transaksi hutang piutang.
Masih
dalam ayat yang sama Allah berfirman, artinya: “ Dan persaksikanlah dengan
dua orang saksi dari orang-orang laki di antaramu. Jika tidak ada dua orang
laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi
mengingatkannya”.
Ibnu
Katsir menerangkan maksud firman Allah SWT. di atas dengan hadis yang bersumber
(sanad) dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah bersabda, artinya:
“Wahai para wanita, bersedekahlah kalian dan
perbanyaklah meminta ampunan (istighfar) karena aku melihat kebanyakan ahli
neraka adalah wanita. Salah seorang wanita bertanya, mengapa wanita banyak
menghuni neraka ya Rasulullah?, Rasul menjawab, karena banyak mengomel dan
memungkiri budi suami. Aku tidak melihat orang yang kurang akal dan agamanya
yang dapat mengalahkan orang yang sempurna akal selain kalian. Ditanya, apakah
kekurangan akal dan agama kami?, jawab Rasul, adapun kurang akal, maka terbukti
dalam kesaksian dua wanita sama dengan satu lelaki, dan pada hari-hari tertentu
tidak melaksanakan salat dan tidak puasa, maka ini termasuk kurang agamanya”.
(HR. Muslim).[9]
Hadis
di atas merupakan sebuah jawaban yang digunakan oleh Ibnu Katsir terhadap
pertanyaan, kenapa kesaksian dua wanita sama dengan satu lelaki?. Menurut penulis,
jika hanya berpegang kepada hadis tersebut, maka jawaban dari pertanyaan itu
belum terjawab. Karena hadis itu justru menjadikan ayat di atas sebagai
referensi Rasulullah SAW. dalam menjawab pertanyaan kalangan sahabat wanita
bahwa akal perempuan tidak sekuat dengan akal laki-laki.
Tentang
firman Allah SWT. ini, Zaid bin Khalid mengatakan, Rasulullah SAW. bersabda,
artinya:
“Sukakah aku beritakan kepadamu sebaik-baik
saksi, ialah yang memberikan kesaksiannya sebelum diminta”. (HR. Bukhari –
Muslim).
Berdasarkan
hadis di atas, kriteria saksi yang jujur adalah saksi yang menerangkan apa yang
ia ketahui, dan menyampaikan apa yang diketahui ketika diperlukan dalam
menyelesaikan suatu persengketaan.
Dalam
hadis lain Rasulullah SAW. bersabda, artinya: “Sukakah aku beritahukan
kepadamu sejahat-jahat saksi, ialah mereka yang memberikan kesaksian
sebelum diminta”. (HR. Bukhari – Muslim).[10]
Hadis
yang kedua ini, Rasulullah SAW. memberitahukan kepada kita bahwa kriteria saksi
yang tidak jujur adalah menyampaikan kesaksian ketika tidak diperlukan dalam
menyelesaikan sebuah persoalan.
Lanjutan firman
Allah SWT. dengan artinya: “ Dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu,
baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih
adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak (menimbulkan) keraguanmu”.
Kemudian di
akhir ayat 282 QS. Al Baqarah Allah SWT. berfirman, artinya: “Kecuali
jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka
tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menuliskannya. Dan persaksikanlah
apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit
menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya itu adalah
suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu;
dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Al-Qurtubi
dalam tafsirnya berkenaan ayat 282 QS. Al-Baqarah mengatakan :
“Ketika Allah SWT. memerintahkan penulisan,
penyaksian, dan pegadaian, ini merupakan teks qat’i (pasti) yang
berbicara mengenai pemeliharaan dan pengembangan harta, serta sebagai
penyangkal terhadap orang-orang yang jahil yang tidak mengetahui hal itu. Mereka
mengeluarkan seluruh harta dan tidak meninggalkan kecukupan untuk diri keluarga
dan perbuatan semacam ini sangat dibenci oleh Allah SWT.”[11] Wallahu
a’lam.
D.
Membina Tenaga
Kerja Bawahan
Hubungan
antara pengusaha dan pekerja harus dilandasi oleh rasa kasih sayang, saling
membutuhkan, dan tolong menolong. Hal ini dapat dilihat dari hubungan dalam
bidang pekerjaan. Pengusaha menyadiakan lapangan kerja dan pekerja menerima
rezeki berupa upah dari pengusaha. Pekerja menyediakan tenaga dan kemampuannya
untuk membantu pengusaha untuk menyelesaikan pekerjaan yang diperintahkan.
Majikan mempunyai hak untuk memerintah bawahan dan mendapat keuntungan.
Majikan juga mnemiliki kewajiban yaitu membayar upah karyawan sesegera mungkin
dan melindungi karyawannya. Seperi dalam Hadist Rasulullah:
Artinya :“Berikanlah kepada karyawanmu
upahnya sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah
Disamping
itu, keberhasilah suatu badan usaha yang dikololah oleh pengusaha sangat
tergantung kepada para pekerjanya. Jika para pekerja ulet dalam pekerjaannya,
maka keberhasilan itu akan semakin cepat dan pesat. Maka, dalam hal ini peran
penting seorang pengusaha dalam memmbina tenaga kerja bawahannya juga tidak
bisa di abaikan. Kedua belah pihak harus mampu membangun solidaritas dalam
bekerja. Baik itu antara pekerja dan atasan, mau pun sesama para pekerja. Jika
terjadi kesenjangan, maka seorang atasan yang mengelolah usaha yang
bersangkutan harus cepat tanggap, mengidentifikasi permasalahan, dan mengambil tindakan serta melakukan
pembinaan terhadap bawahannya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berwirausaha
adalah merupakan kegiatan sosial yang dapat membantu sesama makhluk yang saling
ketergantungan antara satu sama lain. Islam sangat menganjurakan manusia untuk
berusaha memperoleh rezki yang telah Allah janjikan dengan jalan usaha.
Diantara sekian banyak cara dalam berwirausaha, perdagangan adalah salah
satunya yang juga merupakan dunia usaha yang pernah ditekuni oleh Rasulullah
SAW. Beliau telah memberikan contoh terhadap ummat bagaimana pedagang itu
semestinya. Bahkan dalam Al-Quran secara tidak langsung telah dituangkan
tuntunan dalam bemuamalah khususnya dalam perdagangan.
Disamping berdagang adalah untuk menjawab
kebutuhan ekonomi, ada beberapa motif seseorang dalam menggeluti dunia
perdagangan. Diantaranya adalah : Bedagang untuk cari untung, berdagang
merupakan hobi, berdagang adalah ibadah, berdagang merupakan pekerjaan mulian
dalam Islam. Namun demikian, sepantasnyalah seorang pedagang melestarikan
sifat-sifat terpuji seperti yang dikemukan oleh Imam Al-Ghazali, yaitu : sifat
taqwa, zikir dan syukur, tidak mengambil laba secara berlebihan, sifat jujur,
niat untuk ibadah, azzam dan bangun lebih pagi, toleransi, silaturrahim, dan
sebagainya.
Didalam
bertransaksi adakalanya pembeli tidak selalu membayar saat bertransaksi dalam
arti kata transaksi hutang piutang. Maka dalam hal ini, Al-Quran telah
memberikan solusi tentangnya. Yaitu, dengan menuliskan disertai dengan dua
orang saksi laki-laki yang adil. Jika ditempat itu tidak ada orang laki-laki,
maka boleh perempuan dengan catatan satu orang laki-laki bandingannya adalah
dua orang perempuan. Selanjutnya, didalam jual beli, juga ada istilah khiyar
yang berarti pembatalan atau pengembalian barang yang sudah dibeli sesuai
dengan ketentuan dan kesepakatan antara kedua belah pihak yaitu : penjual dan
pembeli. Karenanya, ada khiyar yang dibolehkan dan ada juga khiyar yang
dilarang.
Dalam
sebuah usaha, seorang atasan harus mampu membina tenaga kerja bawahannya dengan
baik demi terwujudnya hasil usaha yang lebih baik. Tiak hanya mementingkan
kepentingan pribadi, tapi juga harus memperhatikan dan membina hubungan yang
baik, membangun solidaritas yang tinggi.
B.
Saran
Tidak
dapat kita pungkiri, bahwa tuntutan ekonomi sering membawa kesenjangan dalam
berbagai hal menyangkut perdagangan. Tidak jarang pedagang yang melakukan
kecurangan dalam berdagang, serta melanggar etika-etika perdagangan yang telah
di ajarkan oleh Alla dan RasulNya. Disamping itu, ada pula orang yang pesimis
dalam berusaha dan bekerja. Sementara Allah dan RasulNya sangat mencintai
orang-orang yang giat dalam bekerja dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan
mereka. Oleh sebab itu, melalui makalah ini kami menyarankan kepada para
pembaca agar mempedomani Al-Quran dan Hadits serta berpedoman kepada disiplin
ilmu fiqih tentang tata cara bermuamalah.
Menyarankan
kepada para wirausaha untuk meluruskan niat dalam berusaha agar usaha yang
digeluti bernilai ibadah, sehingga tidak hanya mendapat imbalan renzi yang
mulia, tetapi juga mendapat imbalan pahala disisi Allah.
DFTAR
KEPUSTAKAAN
Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulum Ad-Din, Toha putra
semarang.
Almaktabatusy-Syamiilah.
Bouman,
P.J., Sosiologi Pengertian dan Masalah, trj : Sugito-Sujitno, Penerbit
Yayasan Kanisius, cetakan XII tahun 1971.
Departemen Agama RI, al-Qur’an
dan Terjemahnya, (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Peterjemahan al-Qur’an,
1983)
Departemen
Agama RI, Al-Quran Tajwid Dan Terjemahannya, Bandung : PT. Syaamil Cipta
Mulia.
Ibn
As-Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyati,Hasyiah ianat Ath-Thaalibiin ala halli
Al-Fazh Fath Al-Mu’in, Dar Al-Fikr, Bairut.
Muhammad ‘Abd al-Azhim al-Zarqani, Manahil
al-Irfan, Mesir , al-Bab al-Halabi, I.
Muhammad
as-Sayyid Yusuf, Ahmad Durrah, Manhaj al-Quran al-Karim fi Islah al-Mujtama’,
Qasas al-Ilm fi al-Quran, Mesir : Dar as-Salam Maktabah al-Usrah, t.t., terj :
Abu Akbar Ahmad, Pustaka Pengetahuan Al-Quran, Edisi Indonesia : PT.
Rehal Publika.
Philip
E. Fess dkk., Accounting Principles, terj : Hyginus Ruswinarto, Prinsip
– Prinsip Akuntansi Jilid 1, Jakarta : Erlangga, edisi 14, 1988.
Prof. DR. H. Rachmat Syafei, Fiqih
Muaamalah, Pustaka Setia
Syahid
Mu’ammar Pulungan, Manusia Dalam Al Quran, Surabaya : PT.Bina Ilmu,
cetakan pertama, 1984.
Syamsu
Yusuf, Juntika Nurihsan, Teori Kepribadian, Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, cetakan pertama, 2007.
Tafsir Ibnu Katsir Jilid I, Surabaya :
PT. Bina Ilmu, cetakan keempat, 2004.
[1] Bouman, P.J., Sosiologi Pengertian dan Masalah, trj :
Sugito-Sujitno, Penerbit Yayasan Kanisius, cetakan XII tahun 1971, hlm.
31.
[2] Syahid Mu’ammar Pulungan, loc.cit., hlm. 57.
[4] Philip E. Fess dkk., Accounting Principles, terj :
Hyginus Ruswinarto, Prinsip – Prinsip Akuntansi Jilid 1, Jakarta :
Erlangga, edisi 14, 1988, hlm. 2.
[5] Departemen
Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta : Yayasan Penyelenggara
Peterjemahan al-Qur’an, 1983)
[6] Ibnu Katsir, op.cit., hlm. 558
[7] Philip E. Fess dkk., op.cit., hlm. 7.
[8] Departemen
Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta : Yayasan Penyelenggara
Peterjemahan al-Qur’an, 1983), h. 389
[9] Ibnu Katsir, op.cit., hlm. 560.
[10] Ibnu Katsir, op.cit., hlm. 561.
[11]
Muhammad as-Sayyid Yusuf, Ahmad Durrah, Manhaj al-Quran
al-Karim fi Islah al-Mujtama’, Qasas al-Ilm fi al-Quran, Mesir : Dar as-Salam
Maktabah al-Usrah, t.t., terj : Abu Akbar Ahmad, Pustaka Pengetahuan
Al-Quran, Edisi Indonesia : PT. Rehal Publika, t.t., hlm. 152.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar