Sombong terhadap orang lain adalah termasuk perkara yang dibenci Syari’at.
Banyak ayat dan hadits yang memerintahkan manusia agar menjauhi sikap yang
tercela ini. Jika seorang muslim saja wajib menjauhi sikap sombong kepada
seseorang, apalagi jika dia seorang Salafi? Dimana dia dituntut untuk mengikuti
manhajnya para Salafush Shalih dalam beragama, termasuk aqidah maupun adab dan
akhlaqnya. Begitu halnya sikap kepada seekor anjing, hendaknya seorang Salafi
menghindari sikap sombong walaupun kepada seekor anjing.
Salah satu sifat rendah diri seorang imam yang pantas dicontoh adalah apa
yang dilakukan oleh tokoh pembesar madzhab syafi’i Abu Ishaq asy-Syirazi
-rahimahullah-. Pada suatu hari beliau berjalan di suatu jalan umum bersama
para sahabatnya. Ketika sedang berjalan, tiba-tiba beliau berpapasan dengan
seekor anjing. Lalu pemiliknya mengusir anjing itu (sebagai bentuk penghormatan
untuk beliau). Melihat perlakuan orang itu, beliau melarangnya dan mengatakan:
”Biarkanlah anjing itu, tidakkah engkau mengerti bahwa jalan ini adalah milik
bersama, untukku dan untuk anjing itu ?!” (Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, jilid 1,
hlm. 6).
Ada sebuah ungkapan yang berbunyi :
Ada sebuah ungkapan yang berbunyi :
مَنْ ظَنَّ أَنَّهُ خَيْرٌ مِنَ الْكَلْبِ
فَالْكَلْبُ خَيْرٌ مِنْهُ
Artinya : "Barangsiapa yang menyangka bahwa dia lebih baik daripada anjing, maka anjing
lebih baik daripada orang itu".
Ungkapan tersebut biasa dipakai oleh orang-orang Shufi. Makna ungkapan
tersebut adalah:
Al-’Allâmah Zakariya bin Muhammad al-Anshari asy-Syafi’i t (wafat 926 H)
pernah ditanya tentang perkataan sebagian orang sufi:
Barangsiapa yang menyangka bahwa dia lebih baik daripada anjing, maka anjing lebih baik daripada orang itu.
Barangsiapa yang menyangka bahwa dia lebih baik daripada anjing, maka anjing lebih baik daripada orang itu.
Kemudian beliau menjawab: ”Maknanya yaitu, tidak sepantasnya bagi siapapun
menyangka bahwa ia lebih baik daripada anjing, dan tidak pula sepadan
dengannya, karena akhir dari urusan kehidupan orang itu tidak diketahui, apakah
ia akan tinggal selamanya di neraka ataukah tidak? Sekiranya tidak kekal di
neraka, apakah ia akan diadzab ataukah tidak? Kapan saja orang itu menyangka
demikian (yaitu merasa lebih tinggi, lebih baik dan utama dari anjing secara
mutlak, pen), maka anjinglah yang lebih baik darinya. Hal itu karena anjing itu
tidak mukallaf (tidak terbebani untuk menjalankan syari’at) dan tidak
mendapatkan adzab. Allâhu a’lam”. (al-I’lâm wa al-Ihtimâm bi Jam’ Fatâwâ Syaikh
al-Islam Abu Yahya Zakariya al-Anshari, dikumpulkan oleh Ahmad Ubaid).
Masih seputar tentang anjing. Ada seorang kafir yang menghina seorang muslim
yang berjenggot. Orang kafir itu berkata ”Mana yang lebih utama, jenggot itu
ataukah ekor anjing?”
Orang muslim yang bijak dan sabar tersebut menjawab: ”Apabila jenggot ini
akan berada di surga, maka ia lebih baik daripada ekor seekor anjing. Akan
tetapi apabila jenggot ini akan berada di neraka, maka ekor seekor anjing lebih
utama dari jenggot ini.”
Orang kafir itu pun segera mengatakan: ”Asyhadu alla ilâha illallah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullâh (Saya bersaksi bahwa tiada ilâh yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah).”
Orang kafir itu pun segera mengatakan: ”Asyhadu alla ilâha illallah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullâh (Saya bersaksi bahwa tiada ilâh yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah).”
Segala puji bagi Allah, akhirnya ia memeluk agama Islam dan termasuk
orang-orang yang komitmen dalam menjalankannya. Semoga Allah memberi kita semua
ketegaran dan istiqamah dalam memegang satu-satunya agama yang haq dan mulia
ini. (Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Ed 48, hal. 55-58).
- Sahabat Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah bersabda:
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي فَاشْتَدَّ عَلَيْهِ
الْعَطْشُ فَنَزَلَ بِئْرًا فَشَرِبَ مِنْهَا ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا هُوَ بِكَلْبٍ
يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ الْعَطْشِ فَقَالَ: لَقَدْ بَلَغَ هَذَا مِثْلُ
الَّذِي بَلَغَ بِـي. فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ ثُمَّ رَقى
فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ،
إِنَّ لَنَـا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا؟ قَالَ: فِي كُلِّ كَبِدٍ رَطبَةٍ أَجْرٌ
Ketika tengah berjalan, seorang laki-laki mengalami kehausan yang sangat.
Dia turun ke suatu sumur dan meminum darinya. Tatkala ia keluar tiba-tiba ia
melihat seeokor anjing yang sedang kehausan sehingga menjulurkan lidahnya
menjilat-jilat tanah yang basah. Orang itu berkata: “Sungguh anjing ini telah
tertimpa (dahaga) seperti yang telah menimpaku.” Ia (turun lagi ke sumur) untuk
memenuhi sepatu kulitnya (dengan air) kemudian memegang sepatu itu dengan
mulutnya lalu naik dan memberi minum anjing tersebut. Maka Allah berterima
kasih terhadap perbuatannya dan memberikan ampunan kepadanya.” Para sahabat
bertanya: “Wahai Rasullulah, apakah kita mendapat pahala (bila berbuat baik) pada
binatang?” Beliau bersabda: “Pada setiap yang memiliki hati yang basah maka ada
pahala.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
- Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Dahulu ada seekor anjing yang berputar-putar mengelilingi sumur, anjing
tersebut hampir-hampir mati karena kehausan, kemudian hal tersebut dilihat oleh
salah seorang pelacur dari bani israil, ia pun mengisi sepatunya dengan air
dari sumur dan memberikan minum kepada anjing tersebut, maka Allah pun
mengampuni dosanya.” (HR Bukhari Muslim).
- عُذِّبَتِ امْرَأَةٌ فِى
هِرَّةٍ سَجَنَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ ، فَدَخَلَتْ فِيهَا النَّارَ ، لاَ هِىَ
أَطْعَمَتْهَا وَلاَ سَقَتْهَا إِذْ حَبَسَتْهَا ، وَلاَ هِىَ تَرَكَتْهَا
تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الأَرْضِ متفق عليه
“Ada seorang wanita yang disiksa karena seekor kucing, wanita itu mengurung
seekor kucing hingga mati, akibatnya wanita itupun masuk ke neraka. Tatkala
wanita itu mengurung kucing, ia tidak memberinya makan, tidak juga memberinya
minum, tidak juga ia membiarkannya pergi mencari makanan sendiri dengan
menangkap serangga.” (Muttafaqun ‘alaih).
- “Barangsiapa yang tidak belas kasih niscaya tidak dibelaskasihi” [HR
Al-Bukhari ; 5997, Muslim : 2318].
- ارحموا من فى الاض ير حمكم من فى السماء
“Kasihanilah siapa yang ada di bumi ini, niscaya kalian dikasihani oleh yang
ada di langit” [HR At-Tirmdzi : 1924].
- Dari sahabat Abdullah bin Ja’far, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah masuk pada suatu kebun dari kebun-kebun milik orang Anshar untuk
suatu keperluan. Tiba-tiba di sana ada seekor unta. Ketika unta itu melihat
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia datang dan duduk di sisi Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berlinang air matanya. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Siapa pemilik unta ini?” Maka datang
(pemiliknya) seorang pemuda dari Anshar. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Tidakkah kamu takut kepada Allah dalam (memperlakukan) binatang ini
yang Allah menjadikanmu memilikinya?! Sesungguhnya unta ini mengeluh kepadaku bahwa
kamu meletihkannya dengan banyak bekerja.” (HR. Abu Dawud dll, Asy-Syaikh
Al-Albani menshahihkannya dalam Ash-Shahihah no. 20).
- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah bersabda berkenaan
dengan kuda : “Kuda itu ada tiga macam. Kuda bagi seseorang menjadi pahala,
kuda bagi seseorang menjadi pelindung dan kuda bagi seseorang menjadi dosa.
Adapun kuda yang mendatangkan pahala adalah kuda seseorang yang dipangkal untuk
fisabilillah, ia banyak berdiam di padang rumput atau di taman. Maka apa saja
yang dimakan oleh kuda itu selama dipangkal di padang rumput atau di taman itu,
maka pemiliknya mendapat pahala-pahala kebajikan. Dan sekiranya ia
meninggalkannya lalu mendaki satu atau dua tempat tinggi, maka jejak dan
kotorannya menjadi pahala-pahala kebajikan baginya. Maka dari itu kuda seperti
itu menjadi pahala bagi pemiliknya. Kuda yang diikat oleh seseorang karena
ingin menjaga kehormatan diri (tidak minta-minta) dan ia tidak lupa akan hak
Allah Subhanahu wa Ta’ala pada leher ataupun punggung kuda itu, maka kuda itu
menjadi pelindung baginya. Dan kuda yang diikat (dipangkal) oleh seseorang
karena kebanggaan, riya dan memusuhi orang-orang Islam, maka kuda itu
mendatangkan dosa baginya” [HR Al-Bukhari : 2371]
- Adalah sahabat Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu ketika beliau
mengetahui ada seorang mengangkut barang menggunakan unta yang melebihi
kemampuan binatang tersebut, maka Umar sebagai penguasa memukul orang tersebut
sebagai bentuk hukuman. Beliau menegurnya dengan mengatakan, “Mengapa kamu mengangkut
barang di atas untamu sesuatu yang dia tidak mampu?” (Atsar ini diriwayatkan
oleh Ibnu Sa’d).
- Adalah sahabat Abud Darda radhiyallahu anhu dahulu punya unta yang
dipanggil Dimun. Apabila orang-orang hendak meminjamnya, maka ia berpesan untuk
tidak membebaninya kecuali sekian dan sekian (yakni batas kemampuan unta)
karena unta itu tidak mampu membawa yang lebih dari itu. Maka ketika kematian
telah datang menjemput Abud Darda, beliau berkata: “Wahai Dimun, janganlah kamu
mengadukanku besok (di hari kiamat) di sisi Rabbku, karena aku tidaklah
membebanimu kecuali apa yang kamu mampu.” (Lihat Ash-Shahihah, 1/67-69).
- Al-Imam Ibnu Muflih dalam kitabnya ‘Al-Adab Asy-Syar’iyah (jilid 3)
menyebutkan pembahasan tentang makruhnya berlama-lama memberdirikan binatang
tunggangan dan binatang pengangkut barang melampaui kebutuhannya. Hal ini
berdasarkan hadits Nabi (yang artinya): “Naikilah binatang itu dalam keadaan
baik dan biarkanlah ia dalam keadaan bagus, serta janganlah kamu jadikan
binatang itu sebagai kursi.” (HR. Ahmad dll, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani t dalam Shahih Al-Jami’).
Maksudnya, janganlah salah seorang dari kalian duduk di atas punggung
binatang tunggangan untuk berbincang-bincang bersama temannya, dalam keadaan
kendaraan itu berdiri seperti kalian berbincang-bincang di atas kursi. Namun
larangan dari berlama-lama di atas punggung binatang ini bila tidak ada
keperluan. Sedangkan bila diperlukan seperti di saat perang atau wukuf di
padang Arafah ketika haji maka tidak mengapa. (Faidhul Qadir 1/611).
- Mar’i Al-Hanbali berkata: “Wajib atas pemilik binatang untuk memberi
makanan dan minumannya. Jika dia tidak mau memberinya maka dipaksa (oleh
penguasa) untuk memberinya. Bila dia tetap menolak atau sudah tidak mampu lagi
memberikan hak binatangnya maka ia dipaksa untuk menjualnya, menyewakannya,
atau menyembelihnya bila binatang tersebut termasuk yang halal dagingnya.
Diharamkan untuk mengutuk binatang, membebaninya dengan sesuatu yang
memberatkan, memerah susunya sampai pada tingkatan memudharati anaknya, memukul
dan memberi cap pada wajah, serta diharamkan menyembelihnya bila tidak untuk
dimakan.”
- Sebagian ahli fiqih menyebutkan bahwa apabila ada kucing buta berlindung
di rumah seseorang, maka wajib atas pemilik rumah itu untuk menafkahi kucing
itu karena ia tidak mampu pergi.
- Ibnu As-Subki berkata ketika menyebutkan tukang bangunan yang biasa
menembok dengan tanah dan semisalnya: “Termasuk kewajiban tukang bangunan untuk
tidak menembok suatu tempat kecuali setelah memeriksanya apakah padanya ada
binatang atau tidak. Karena kamu sering melihat kebanyakan pekerja bangunan itu
terburu-buru menembok, padahal terkadang mengenai sesuatu yang tidak boleh
dibunuh kecuali untuk dimakan, seperti burung kecil dan semisalnya. Dia
membunuh binatang tadi dan memasukannya ke dalam lumpur tembok. Dengan ini ia
telah berkhianat kepada Allah l dari sisi membunuh binatang ini.”
- Asy-Syaikh Abu Ali bin Ar-Rabbal berkata: “Apa yang disebutkan tentang
(bolehnya mengurung burung dan semisalnya) hanyalah bila padanya tidak ada
bentuk menyiksa, membikin lapar dan haus meski tanpa sengaja. Atau mengurungnya
dengan burung lain yang akan mematuk kepala burung yang sekandang, seperti yang
dilakukan oleh ayam-ayam jantan (bila) berada di kurungan, sebagiannya mematuk
sebagian yang lain sampai terkadang yang dipatuk mati. Ini semua, menurut
kesepakatan ulama, adalah haram.” (Lihat Arba’un Haditsan fit Tarbiyati wal
Manhaj hal. 32-33 karya Dr. Abdul Aziz As-Sadhan).
Referensi :
- Lima Faidah Penting Seputar Anjing, oleh Abu Ashim Muhtar Arifin Lc.
- Kitab Minhajul Muslim, Edisi Indonesia Konsep Hidup Ideal Dalam Islam, Penulis Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, Penerjemah Musthofa Aini, Amir Hamzah, Penerbit Darul Haq
- Menyayangi Binatang, oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Abdulmu’thi, Lc.
- dan lainnya.
- Lima Faidah Penting Seputar Anjing, oleh Abu Ashim Muhtar Arifin Lc.
- Kitab Minhajul Muslim, Edisi Indonesia Konsep Hidup Ideal Dalam Islam, Penulis Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, Penerjemah Musthofa Aini, Amir Hamzah, Penerbit Darul Haq
- Menyayangi Binatang, oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Abdulmu’thi, Lc.
- dan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar